Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENTAH kebetulan entah tidak, Aulia Pohan kerap dirundung "sial". Selalu saja namanya dikaitkan dengan berbagai kabar miring. Beberapa waktu lalu, sebagai Deputi Gubernur BI Bidang Peredaran Uang, ia kencang dituding terlibat skandal tender pengadaan kertas uang senilai US$ 7 juta, yang dimenangi PT Pura Barutama, dan kemudian berbuntut sengketa panjang. Kini namanya kembali disebut-sebut dalam dugaan korupsi proyek pengadaan mesin kliring.
Selama ini, terhadap tuduhan terakhir, Aulia memilih tutup mulut. "Habis, pertanyaannya nembak terus, sih," kata pria kelahiran Palembang, 57 tahun silam, itu. Syukurlah, Rabu pekan lalu, master lulusan Boston University, AS, ini bersedia menjelaskan duduk soalnya kepada Febrina Siahaan dari TEMPO. Petikannya:
Bagaimana keterlibatan Anda dalam pengadaan mesin kliring BI tahun 1997?
Saya tidak mengerti karena tidak ikut dalam proses pengadaannya. Yang melakukan analisis adalah tim. Aulia Pohan tidak ikut. Siapa yang memilih mesin pun saya tidak tahu karena saya tidak diikutkan. Saya juga tidak mengerti mesin. Tugas saya hanya membuat blueprint sistem pembayaran.
Mesin itu kan diadakan oleh anak perusahaan Yayasan Karyawan BI?
Sungguh, saya tidak mengerti soal itu.
Anda kabarnya dekat dengan PT Praweda, yang memasok mesin itu ke Yayasan?
Anda tanya deh ke Pak Darpo (Sudarpo, pendiri PT Praweda—Red.). Tanya ke dia, apa benar saya punya saham di sana. Minta dia melihat akta Praweda, apa betul Aulia Pohan adalah pemegang saham. Tidak ada. Bahwa saya kenal dia, memang iya.
Tapi kabar tentang keterlibatan Anda sangat santer.
Ya, tidak tahu. Salah apa gua? Saya ingin menegakkan citra BI. Saya rapikan semua. Tidak tahu ya kalau ada pihak-pihak yang terganggu kenikmatannya. Saya tahu siapa yang tidak suka sama saya. Orangnya itu-itu juga.
Siapa dia?
Saya tidak mau menyebut nama. Yang mengadu ke Kejaksaan Agung dia juga, kok.
Mengadu soal apa?
Soal (mesin kliring—Red.) ini juga. Cuma, kejaksaan tidak pernah memanggil saya. Soalnya, tidak ada dokumen yang menyebut nama saya dan menyatakan saya ikut mengadakan mesin itu. Polisi juga begitu. Malah ada polisi yang sampai bilang, "Kasihan ini bapak dipanggil melulu."
Memangnya banyak yang sakit hati ke Anda?
Ah, tidak. Orangnya paling yang itu-itu saja. Kalau saya hitung-hitung jumlahnya cuma empat orang. Tapi saya tidak pernah merasa dendam meski selalu dizalimi. Gua survive, enggak pernah sakit.
Saat Anda menjadi deputi gubernur, yang mendemo Anda jelas lebih dari empat orang.
Karena ada yang menggerakkan mereka. Kalau saya, apa pernah menggerakkan massa? Kan, tidak. Bukan karena tidak bisa, tapi karena saya cinta lembaga ini. Beberapa bulan lalu, saya diisukan menyebar duit supaya dipilih jadi gubernur. Saya mendapat duit dari mana? Lihat dong pola hidup saya. Saya bukan tipe orang yang flamboyan.
Anda juga dituding telah berkolusi dengan PT Pura dalam pengadaan uang.
Pura itu kompetitor Peruri. Kalau saya menetapkan pemenang tender yang menawarkan harga lebih murah, apa salah? Kalau lebih mahal, boleh jadi saya mendapat duit. Dokumennya semua ada. Kau lihat di mana saya ada main. Dipikir selama ini saya tidak sakit hati? Saya sabar-sabarkan saja. Kalau pakai cara orang Batak, bisa-bisa saya libas semua. Tapi buat apa?
Isu Pura dituduhkan orang yang sama?
Sama. Tidak usah saya sebut namanya, tapi memang sama orangnya. Masa, saya dituduh mendapat US$ 40 juta? Bagaimana mungkin dalam proyek yang cuma hitungan miliar saya mendapat sampai US$ 40 juta? Bingung gua.
Anda disebut-sebut sulit disentuh hukum karena dekat sekali dengan Golkar.
Akbar Tandjung kan teman sekampung saya, sama-sama Batak. Di mana salahnya? Lucu nih orang-orang. Sama siapa saja kita kan harus berkawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo