LIEM Sioe Liong, orang No. 1 di belakang PT Salim Economic Development Corporation, kembali dibicarakan pekan lalu. Bukan karena PT Indocement milik kelompok Liem akan go public - menjual sebagian sahamnya ke khalayak ramai. Tapi karena Liem Sioe Liong yang disebut-sebut sebagai pengusaha terkaya No. 6 di dunia, membacakan pidatonya di depan sejumlah tokoh bisnis dan beberapa pejabat penting, dalam Temu Wicara sehari yang diselenggarakan oleh Kadin, di Golden Ballroom, Hotel Hilton, Jakarta, Kamis pekan lalu. Bagi Liem, 68, kelahiran Fukien, RRC, mungkin itu merupakan "siksaan" juga. Sebab, selain bahasa Indonesia-nya masih patah-patah, beraksen sana, laki-laki yang konon bertangan dingin itu memang tak pintar bicara. Sehari sebelumnya, di kantornya, lantai 11 Wisma Metropolitan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Liem Sioe Liong didampingi oleh Anthony Salim, putra kedua dari empat anaknya, menerima Fikri Jutri dari TEMPO. "Ini merupakan wawancara pertama kami dengan pers di dalam negeri", kata Anthony, 34, Direktur Pelaksana PT Salim Economic Development Corporation. "Ya, apa boleh buat, kami sudah go public", kata Liem Sioe Liong. Beberapa petikan dari wawancara yang hampir dua jam: Nama Liem Sioe Liong sekarang sudah "dinobatkan" menjadi salah, seorang paling kaya di dunia. Bagaimana sebenarnya falsafah bisnis Anda? Liem: Itu lihat keadaannya. Setiap pengusaha itu pikirannya sama: ini hari kita dagang ini, dan besok pagi ada policy lain, kita kemungkinan dagang lain. Dunia usaha mempunyai dalil-dalil dan jalannya sendiri, yang tidak mudah, tapi tidak mustahil kita kuasai. Di negara maju, perusahaan besar itu biasanya menjual sahamnya ke publik. Tapi kelompok Liem, yang semakin besar sahamnya masih dimiliki keluarga dan para partner. Liem: Saya tahu maksudnya. Eropa lain dengan Timur. Di Timur, kalau kaya, dari bapak mesti kasi anak, dan anak kasi cucu. Itu ada baik, ada jeleknya. Kalau anak tidak mampu, bahaya. Tapi Eropa dan Amerika sudah pakai manajemen profesional. Sehingga, ganti orang tidak apa-apa: pergi satu, masuk satu. Anthonn Struktur dari PT Salim Economic Development Corporation sebenarnya bukan milik pribadi keluarga Liem. Kami melihat semua usaha itu bagus, sepanjang bisa dikelola dengan baik. Kami menganut suatu prinsip: tidak akan mampu memegang semua bisnis itu sendirian. Tapi perlu partner. Di bidang perbankan misalnya, kami barpartner dengan Mochtar Ryadi, di bidang real estate, kami pilih Ciputra. Kedua orang itu kami anggap mahir dan menguasai bidangnya masing-masing. Jadi, yang disebut kelompok besar itu terdiri dari macam-macam partner. Mana yang Anda dahulukan: kepercayaan atau kemampuan dari partner? Liem: Kepercayaan dulu, baru kemampuan. Tapi, yang penting, harus ada kecocokan. Kalau sama-sama happy, sama-sama senang, baru kami jalan. Kabarnya, kelompok Liem juga sudah memasuki bisnis supermarket dan film. Apa itu tidak menimbulkan bahaya monopoli? Liern: Tidak betul itu. Proyek Golden Supermarket itu punya partner, bukan punya kami. Juga Suptan Film, itu punya Sudwikatmono, partner di Indocement. Kalau mereka buka bisnis lain, ya itu 'kan bukan urusan kami. Orang suka bilang ini itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa? Jadi, kalian tidak ingin masuk sampai ke bawah? Anthony: Persis. Kami tidak mau masuk ke industri hilir. Dalam hal semen, kami tidak masuk ke industri pengaduk beton. Kami juga tidak masuk asbes. Sekalipun punya Bogasari, kami tidak mau bikin pabrik biskuit. Tapi Anda 'kan punya pabrik mie? Anhony: Kami tahu sudah ada pabrik mie lain. Sehingga, ketika kami memutuskan untuk bikin Sarimie, seakan-akan tukang terigu merangkap jadi tukang mie. Tapi keputusan itu diambil ketika Indonesia mengalami kesulitan pangan, sehingga impor banyak beras. Nah, dengan perhitungan untuk mengurangi impor beras itulah kami bikin Sarimie. Ternyata, kami salah hitung: produksi beras di Indonesia membaik, dan pemerintah tak mau beli mie dari kami. Tapi pabrik kami 'kan sudah jalan. Maka, kami minta Indomie mengambil oper saham kami yang 70%. Mula-mula memang sulit, tapi akhirnya terjadi kecocokan dengan Indomie. Selain Sarimie, apalagi yang meleset? Anthony: Dihitung-hitung ada sekitar 10 perusahaan yang kami tutup, karena kalah bersaing. Kami antara lain mulai dengan tekstil, tapi karena kemudian merasa kalah dengan perusahaan lain, kami pertahankan apa adanya. Bila perlu, ya diamputasi. Lalu pabrik crumb rubber (karet bongkah) di Palembang kami tutup, karena tidak bisa bersaing dengan mereka yang hidup dan punya keahlian di situ. Apa lapisan manajemen Anda sudah profesional, atau masih sistem famili? Anthony: Dalam perusahaan sebesar kelompok Liem, famili tidak cukup untuk memegang semuanya. Di sini kami sudah memecahkan faktor pemilikan dan manajemen. Pemilikan memang masih dipegang oleh keluarga dan partner, dan pelan-pelan bisa ke publik. Tapi manajemen kami sudah profesional. Saya kira, kami merupakan salah satu grup di Indonesia yang sudah berani menyerahkan manajemen dan operasi secara profesional. Kalau ada famili yang mau jadi manajer dan sama baiknya dengan orang luar, ya tentu kami memilih famili. Apa kelompok Liem banyak memakai tenaga manajer yang pribumi? Anthony: Untuk tenaga administrasi dan manajemen menengah boleh dibilang fifty-fifty antara yang pribumi dan nonpribumi. Tapi untuk lapisan atas, top manajemen, masih banyak yang nonpribumi. Apa sebabnya? Apa yang pribumi kurang mampu, atau bagaimana? Anthony: Bukan begitu. Beberapa tenaga yang pribumi setelah kami didik, dan berhasil, mereka keluar, karena diajak menjadi partner oleh orang luar untuk mendirikan usaha sendiri. Mereka umumnya cenderung untuk berdiri sendiri. Mobilitas mereka lebih besar dibandingkan dengan yang nonpri. Bagaimana perusahaan merekrut manajer? Anthony: Kalau untuk pabrik mudah: kami punya banyak lulusan STM dan insinyur. Untuk manajemen menengah ada dua: melatih dari bawah ke atas, dan mencari yang sudah siap pakai di pasaran. Tapi yang paling langka adalah top eksekutif: tak ada yang siap pakai di Indonesia. Untuk mengisi kesosongan kami menggunakan orang luar, misalnya dari Filipina dan India. Sulitnya, mereka kurang mengenal suasana di sini. Akan lebih baik kalau itu bisa diisi oleh tenaga dari dalam negeri sendiri. Kelompok Liem sudah merentangkan sayap usahanya ke luar negeri bahkan sampai membeli Hagemeier di Belanda dan sebuah bank di Amerika. Orang bilang, itu upaya pelarian modal ke luar. Apa komentar Anda? Liemn: Orang banyak salah sangka. Hagemeier itu perusahaan yang punya pengalaman puluhan tahun dalam distribusi. Tujuan kami supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi. Kami memiliki Hagemeier 51% jadi bisa menentukan policy, tidak tergantung pada lain orang dalam soal jasa di luar negeri. Anthony: Saya ingin menambahkan apa yang tadi Pak Liem katakan. Kita perlu melihatnya secara struktural. Kalau mau berhasil dalam ekspor dan impor, kita perlu memiliki jaringan sendiri di luar negeri. Industri di Indonesia ini masih bertaraf substitusi impor, dan pasarannya 90%O di dalam negeri. Kita belum seperti Taiwan dan Korea Selatan, yang mengekspor 90%, hasil industrinya ke luar negeri. Untuk bisa kesana, kita perlu memiliki jaringan distribusi di luar, Yang dikaitkan dengan distribusi dan pengumpulan komoditi di Indonesia. Dengan demikian, kita bisa memilih dan memproses barang ekspor itu sesuai dengan keinginan konsumen di luar negeri. Kita belum mampu bersaing dalam modal. Maka itu kita harus bisa bersaing dalam jasa-jasa. Di mana sebenarnya markas besar kelompok Liem: Jakarta atau Hong Kong? Anthony: Pusatnya adalah Jakarta, tapi untuk usaha dl luar negeri, kami gerakkan dari Hong Kong. Peraturan di Indonesia belum mengijinkan investasi langsung ke luar negeri. Pencarian dana juga lebih mudah di sana. Bagaimana kalau Hong Kong nanti masuk RRC? Apa Pak Liem mau pindah? Liem: Saya kira Hong Kong akan dikasi hak istimewa oleh RRC. Kalau nanti di bawah RRC, banyak peraturan ini itu yang bikin sulit, kapital akan lari semua. Hong Kong tinggal kosong tidak ada artinya. Jangan lupa, RRC untung besar kalau nanti punya Hong Kong. Di Hong Kong pula, Anda telah menandatangani kontrak pinjaman untuk PT Cold Rolling Mill Indonesia, berjumlah US$ 552 juta. Kenapa berani masuk ke Krakatau Steel yang rugi terus? Liem: Kami masuk Kraktau Steel karena mau membantu pemerintah. Setiap tahun Indonesia impor besi tipis dari Jepang, kalau tidak salah US$ 700 juta. Itu sudah jalan lima tahun, dan tidak ada itu transfer teknologi. Jepang sudah diminta untuk tanam di sini, tapi tidak mau. Itu pikiran ekonomis: bantu ya bantu, dagang ya dagang. Pemerintah juga keberatan kalau mesti investasi, karena keuangan negara masih sulit. Kami kemudian bersedia, dan untuk mencari utangnya butuh waktu satu tahun. Kami kontak kenalan di luar, dan kasi jaminan. Bank di luar negeri akhirnya bersedia kasi pinjaman dengan syarat 40% dipegang oleh swasta yang sudah mereka kenal. Anthony: Oleh luar negeri kami dipercaya bisa mengembalikan apa yang kami janjikan. Maka, kami harus memiliki teknologi yang memadai. Untuk itu, kami minta perusahaan US Steel untuk menjadi konsultan, juga operatornya. Kami juga mengajak kelompok yang kuat untuk pembangunan: kelompok Pak Ciputra. Kenapa ambil US Steel, kenapa tidak Nippon Steel? Liem: Kalau Amerika mau kasi seratus persen alih teknologinya. Kalau Jepang sulit kasi. Juga Amerika dengan Indonesia itu tidak merupakan saingan. Lain dengan Jepang, yang masih melihat Indonesia sebagai saingan. Dan Amerika, kalau sudah janji, betul-betul seratus persen dipenuhi. Apa segalanya sudah diperhitungkan? Liem: Semuanya sudah dlperhitungkan matang-matang. Anthony: Dari segi bisnis, kalau menanam sampai 800 juta dolar, memang lebih mudah ke pabrik-pabrik lain, yang lebih cepat untung. Tapi ini merupakan suatu penugasan khusus. Apa bisa untung? Liem: Tentu kami punya pertimbangan ekonomis: melihat marketing di Indonesia. Bahan mentah untuk bikin besi, hot roll sudah dibikin di sini. Indonesia juga sudah punya industri yang siap pakai, misalnya pabrik seng, pipa, dan mobll. Kabarnya, harga besi tipis dari Krakatau akan jatuh lebih mahal dibandingkan dengan impor dari Jepang? Liem: Ya, untuk sementara, sampai tiga-empat tahun, terpaksa jual lebih mahal. Tapi, kalau impor terus, pemerintah ruginya lebih besar dibandingkan kalau bikin sendiri. Setiap tahun devisa harus keluar US$ 700 juta. Tapi kalau nanti sudah bikin sendiri, devisa yang keluar US$ 200 juta. Berarti bisa hemat setengah milyar dolar setahun. Berapa bayar bunga satu tahun? Liem: Kalau pikir itu pusing, bisa sampai US$ 50 juta satu tahun. Rasanya tangan, kaki, pinggang sudah diikat sekarang. Kapan mau pensiun? Sebenarnya, sudah harus pensiun. Tapi tidak bisa, sebelum utang selesai dibayar. Sekarang saya maslh harus mengawasi anak-anak. Siapa yang bakal menggantikan Pak Liem? Anthony? Liem: Semua anak sama. Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini