ADA alasan cukup kuat bagi Kadin mengundang sekitar 400 usahawan pribumi dan nonpribumi dalam Temu Wicara Pengusaha Nasional Menyambut Repelita IV di Hotel Hilton, Jakarta, pekan lalu. Dari mereka inilah hampir separuh investasi selama Repelita IV (1984-1989), yang diperkirakan membutuhkan dana seluruhnya Rp 145,2 trilyun diharapkan datang. Pemerintah memang bermaksud membagi beban investasi itu mengingat dana-dana yang bisa disedot kini semakin terbatas, terutama sesudah penerimaan minyak tidak lagi melimpah. Sasaran pertumbuhan rata-rata 5% setahun dan investasi sebesar Rp 145,2 trilyun harus dicapai untuk menyerap sembiian juta angkatan kerja baru selama periode itu. Tapi swasta mana yang sanggup melakukan investasl sebesar Rp 67,5 trilyun itu? Mampukah pribumi memikul sebagian beban tadi ? Bagian terbesar investasi tampaknya akan dipercayakan pada pengusaha raksasa, seperti Liem Sioe Liong (grup Indocement), William Soeryadjaya (grup Astra), Lie Siong Thay raja kayu (grup Setia Djaja Raja), The Nin King raja tekstil (grup Daya Manunggal), dan Agus Nursalim raja gelas dari grup Kedaung, kongsi Probosutedjo, yang tidak tampak hadir. Untuk pertama kalinya "raja-raja" yang menguasai penyediaan bahan baku sampai alur perdagangan itu dikumpulkan, bertemu wicara, dengan pengusaha menengah dan kecil, baik pri maupun nonpri selama 12 jam lebih. Tentu tidak keliru ketika seorang pejabat tinggi pemerintah menyebut mereka ini secara ekonomis - sebagai assets (kekayaan) nasional. Nilai kekayaan mereka secara kasar, menurut taksiran, lebih dari Rp 30 trilyun. Tenaga kerja yang mereka serap ratusan ribu jumlahnya - Gudang Garam saja menyedot 45.000 buruh dari sekitar Kediri. Kemampuan mereka mengerahkan dana pun, baik dari dalam maupun luar negeri sudah tak bisa dianggap enteng lagi. Lihat sala ketika Liem Sioe Liong, tahun lalu, mampu menggaet kredit ekspor dan pinjaman komersial US$ 500 juta lebih dari luar negeri untuk mendirikan pabrik baja lembaran tipis di Cilegon. Likuiditas mereka rata-rata juga cukup mantap, hingga untuk menyediakan modal sendiri (equity) bagi kepentingan ekspansi usaha atau melakukan proyek patungan bukan merupakan soal berat. Ambil contoh Pabrik Rokok Gudang Garam, Kediri, yang ternyata belum memanfaatkan seluruh pinjamannya yang US$ 75 juta dari Singapura, untuk pengadaan cadangan tembakau dan cengkihnya. Juga dalam memanfaatkan manajer profesional untuk mengelola banyak cabang usaha, mereka tak bisa diremehkan lagi. Beberapa di antara mereka, seperti Liem Sioe Liong dan Hendra Rahardja, bahkan sudah pula membuka cabang usaha di luar negeri. Untuk itulah sejumlah pengusaha kuat nonpribumi diundang, "Mereka sesungguhnya mempunyai kekuatan dana untuk selalu memperluas usaha," kata Sofyan Wanandi. "Tapi mereka masih takut, apakah masyarakat sudah bisa menerima." Karena sejumlah alasan itulah, Kadin memprakarsai temu wicara. Pada mulanya memang, kata seorang pengusaha, pertemuan itu hanya akan membicarakan kesiagaan para pengusaha menyongsong Repelita IV. Soal pri dan nonpri mulai muncul, ketika seorang pengusaha mempersoalkan siapa yang kuat memikul rencana investasi besar itu. Atas desakan sejumlah pengusaha, pengurus Kadin akhirnya setuju untuk menyelesaikan secara tuntas soal pri dan nonpri. Besar kemungkinan, jika soal pri dan nonpri bisa diselesaikan secara konsepsional, sekalipun baru di atas kertas. Para pengusaha nonpri itu akan lebih mantap melakukan investasi di dalam negeri. Maklum, pemerintah, seperti kata seorang pengusaha nonpri, terkesan mendewakan para penanam modal asing daripada, misalnya, menerima dengan terbuka investasi nonpri. "Berapa besar, sih, jumlah tenaga kerja yang bisa diserap perusahaan minyak asing itu? Kalau Liem Sioe Liong bikin pabrik semen, dia 'kan nggak bakalan bisa membawa lari," katanya. Tapi, dalam temu wicara itu ada semacam hawa segar ditiupkan kalangan pemerintah. Dengar saja pengarahan Pangab Jenderal L.B. Moerdani di situ, yang menganggap sebutan pri dan nonpri merupakan wujud "sikap eksklusivisme, dan memberi makna diskriminatif". Gayung pun bersambut. Dalam pernyataan bersama, yang dikeluarkan beberapa jam kemudian, Kadin sepakat tidak lagi "membedakan keturunan pribumi dan nonpribumi, kesukuan, maupun asal-usul" untuk menyongsong Repelita IV. Secara tegas Ketua Kadin, Sukamdani Sahid Gitosardjono, menyebut bahwa istilah pri dan nonpri "sudah tidak ada lagi." Pendeknya, dengan kebulatan tekad yang ditandatangani 16 pengusaha pri dan nonpri itu, "para pengusaha terikat untuk melaksanakannya," kata Sukamdani. Kesepakatan itu kemudian diserahkan pada Ketua Golkar Sudharmono. Memang ada juga yang tidak setuju dengan cara Kadin menyelesaikan soal itu. Sugeng Saryadi, Direktur Parama Bina Tani dan tokoh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), misalnya, menganggap cara itu tidak konsepsional dan bisa menjadi soal politik. Secara de-facto dia beranggapan, soal pri dan nonpri itu ada, "dan biarlah kalangan pengusaha menyelesaikan sendiri soal tadi secara alamiah." Menurut dia, Kadin lebih pantas menyelenggarakan pertemuan untuk merintis pembauran, misalnya di bidang otomotif. Siapa saja yang mau menanam modal membuat pelbagai komponen di situ. "Baru, sesudah proposal masing-masing tadi sesuai dengan program pemerintah, akhirnya bakal ditemukan satu paket pembauran di industri mobil," katanya. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Paling tidak bagi pemerintah, yang sudah habis-habisan berusaha memperkuat posisi pengusaha pribumi lemah modal dan manajemen, untuk menghadapi pengusaha nonpri. Cukup besar dana pemerintah disalurkan: lewat kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP), misalnya, yang sampai Desember tahun lalu sudah berjumlah Rp 2,6 trilyun. Proteksi pun sudah cukup diberikan, baik melalui proyek pengadaan barang pemerintah (tim Keppres 10), maupun proyek-proyek konstruksi di daerah (Keppres 14A dan 18). Sayang, dari sana hanya muncul nama beberapa gelintir pengusaha pribumi, yang ternyata masih perlu minta kredit murah dan fasilitas. Dalam keadaan sekarang, sumber dana pemerintah makin terbatas, fasilitas dan pembiayaan yang dianggap "berbau rasialis", menurut seorang pengusaha, harus dihentikan. Johnny Widjaja, Presiden Komisaris PT Tiga Raksa, juga melihat usaha pemerintah memperkuat pengusaha pribumi menengah sekalipun tidak banyak bermanfaat. "Kalau memang tidak mampu, jangan terlalu dipaksakan," katanya. Tapi Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana - juga pejabat lain yang enggan menggunakan istilah pri dan nonpri masih merasa perlu mengingatkan pentingnya pengusaha kuat mengajak pengusaha lemah dalam rantai produksi "demi keselarasan pembangunan". Mereka, kata Ali Wardhana, mampu memberikan dukungan berarti dengan menjadi pensuplai barang jadi dan produsen barang setengah jadi. Peringatan itu sendiri memang perlu dikemukakan, mengingat kini tampak tanda-tanda bahwa grup perusahaan nonpri tertentu cenderung melakukan pemusatan modal dan kepemilikan. Guna mengurangi kecenderungan itu, Sekjen Kadin Prof. Mohamad Sadli menganjurkan agar pemerintah memberi insentif untuk mendorong mereka go public. Sebagai tujuan antara, pemerintah dapat menunjuk atau membangun suatu dana (trust fund), yang dapat membeli dan menahan saham-saham tadi sebelum dijual ke masyarakat. Perlu juga dikembangkan usaha patungan, baik antara persero pemerintah, pengusaha kuat, lemah, maupun asing. Persoalannya apakah ekonomi kita nanti tidak akan dikuasai PMA dan PMDN yang kuat. "Kemungkinan demikian memang ada," kata Sadli. Tapi pihak pemerintah dan lembaga dana, katanya, bisa juga diharapkan berfungsi sebagai kekuatan imbangan. "Sudah waktunya kita memikirkan dan mempersiapkan suatu undang-undang antimonopoli atau antikonsentrasi (antitrust) seperti terdapat di banyak negara maju," ujar Sadli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini