DUDUK di sofa kantornya di Wisma Metropolitan, berkemeja batik lengan panjang, dan bicara dalam bahasa Indonesia yang patah-patah, ia tak mengesan. kan sebagai 10 pengusaha terkaya di dunia, jauh mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Tidak merokok, dan tidak suka minuman keras, kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, konon, mengunjungi klub malam. Itulah Liem Sioe Liong, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong dan PT Salim Economic Development Corporation di Jakarta. la juga mengaku tak lagi bekerja terlalu keras. "Setiap hari saya masuk kantor jam 10 pagi, lalu terima tamu," katanya. "Saya juga sudah jarang sekali teken cek." Tapi, di balik geraknya yang santai itu, ada yang membuat dia was-was. "Itu utang-utang harus lunas dulu, baru saya bisa tidur nyenyak," katanya (Lihat: Box). Tidak disebutkan utang yang mana. Pada awal Juli tahun lalu, Liem meneken sejumlah kontrak untuk membangun PT Cold Rolling Mill Indonesia. Proyek baja tipis di kompleks Krakatau Steel, yang akan menelan US$ 800 juta itu, sebanyak US$ 552 juta dipegang oleh kelompoknya. Keputusannya untuk masuk di kompleks baja Cilegon itu oleh banyak orang dianggap berani. Tapi yang agaknya merupakan tindakan berani yang lain adalah: ia siap menjual sebagian sahamnya ke publik. Menurut Anthony Salim, putranya, PT Indocement akan menjual sahamnya ke masyarakat sebanyak 30%-35% secara bertahap. Saham keluarga Liem dalam pabrik semen raksasa, yang tahun ini menurut rencana akan memiliki 8 tanur dengan kapasitas terpasang sekitar 4.7 juta ton, tercatat 45%. Saham keluarga Djuhar Sutanto (Lin Wen Chiang), kongsi kekal keluarga Liem, juga sama besarnya. Sedang Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad masing-masing memiliki saham 5%. "Siapa yang beli nanti pasti untung," kata Liem. Ada betulnya. Pembangunan, sekalipun kena rem penjadwalan kembali sejumlah proyek, akan berjalan terus. Presiden Soeharto dalam amanatnya sudah memperkirakan pertumbuhan selama Repelita IV ini diharapkan rata-rata bisa mencapai 5% setahun. Dengan sendirinya, Indocement akan di atas angin. Apalagi kalau tanur kesembilan dengan kapasitas terpasang 1,5 juta ton setahun sudah selesai. Selain dikenal sebagai raja bank, kelompok Liem tampaknya juga sudah tampil sebagai salah satu raja semen di dunia. Sebanyak 60% dari proyek Semen Madura sudah jatuh ke tangan kelompoknya. Demikian pula pabrik semen Tri Daya Manunggal di Cirebon, sebagian besar sahamnya dikuasai kelompok Liem. Pabrik itu, yang semula dirintis Sukamdani S. Gitosardjono, kini Ketua Umum Kadin Indonesia, lama tersendat-sendat. "Mulanya, Pak Sukamdani mau partner sama orang luar negeri, dan dia dapat 250.000 ton dari rencana kapasitas pabrik yang setengah juta ton. Tapi tidak jalan," kata Liem Sioe Liong. "Lalu saya bilang sama dia, kita bikin menjadi kapasitas 1,2 juta ton setahun, dan bagian 'kamu' tetap." Pabrik semen itu sudah akan mulai berproduksi akhir tahun ini. Membeli yang sudah ada, dan membesarkannya, merupakan suatu keahlian dari kelompok Liem. "Dengan demikian, saya bisa menekan ongkos," katanya. Langkah itu pula menunjukkan bahwa kelompoknya dipandang bonafide oleh bank. Dalam setiap usaha patungan, kelompok Liem selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, "kami bisa menentukan policy perusahaan," katanya. Kunci sukses baginya adalah jasa. "Yang pertama harus diperhatikan adalah jasa. Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar." Ia bicara dari pengalaman ketika memulai usahanya sebagai pedagang minyak kacang kecil-kecilan di Kudus, 45 tahun silam. Lalu mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota kretek itu. Alkisah, hoki (keberuntungan) Liem muda lahir pada saat pecah Revolusi 45. Ia waktu itu membantu Republik, yang butuh banyak dana untuk melawan Belanda. Ia pun berkembang menjadi pensuplai cengkih besar, dengan menyelundupkan bahan utama rokok kretek itu dari daerah Maluku, Sumatera, dan Sulawesi Utara. Kapan kenal Pak Harto? "Wah, baru setelah tahun 1950-an, di Semarang," katanya polos. Tapi, jauh sebelum itu, setelah Jepang menyerah, ia mendapat musibah. "Saya punya berkarung-karung uang Jepang. Tapi pemerintah kasi keluar uang baru, dan uang Jepang tidak laku. Satu orang dapat satu rupiah. Dan saya dengan delapan jiwa, dapat delapan rupiah. Wah, edan, uang kok tidak laku," katanya mengenang. Liem, yang ketika itu berusia 28 tahun mengubah taktik dagangnya. "Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang." Sejak itu pula ia lebih memusatkan pada usaha diversifikasi. Toh dia merasa tak bisa bergerak lincah pada zaman Bung Karno. "Dulu dagang susah. Orang banyak bicara," katanya. "Tapi semenjak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil satu keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang." Apa itu? Ia melihat ada tiga hal yang pasti untung. Dan itu sejalan dengan program pemerintah: pangan, sandang, dan papan. "Di situ kami mulai pikir untuk bangun pabrik terigu, tekstil, dan kemudian semen," katanya. Ketika itu, ia sudah memiliki pabrik seng, sampai sekarang. Modal? "Waktu itu, kita cuma punya pengalaman." Pada tahun 1968, PT Mega, miliknya, mendapat hak monopoli impor cengkih, di samping PT Mercu Buana punya Probosutejo. Dari sanalah, agaknya, modal mulai datang, lalu lahirlah PT Waringin, perusahaan dagang besar yang kemudian tampil sebagai Waringin Group. Berapa kekayaannya sekarang, tak satu pun yang tahu pasti. Seorang pengusaha yang mengikuti perkembangan kelompok Liem menduga seluruh kekayaan (assets) kelompok itu, termasuk utang dari bank, mencapai US$ 7 milyar. Kalau benar demikian, itu sama artinya dengan seluruh uang yang beredar di Indonesia sekarang, yang menurut beberapa sumber sekitar Rp 7 trilyun. Rencana penjualan saham Indocement yang 30%, menurut sebuah sumber yang mengetahui, berjumlah US$ 500 juta. Sebab, demikian sumber tadi, seluruh kekayaan Indocement kini mencapai US$ 2,5 milyar. Ditambah dengan kekayaan di bank, lembaga keuangan nonbank, industri, perdagangan, asuransi, perkapalan, perhotelan, perumahan dan lain-lain, yang meliputi sekitar 60 kegiatan bisnis di dalam dan luar negeri, bisa jadi angkanya naik di atas US$ 7 milyar. Ia juga terkenal pandai memilih partner. Pertemuannya dengan Mochtar Riady, pada tahun 1972, berhasil mengorbitkan Bank Central Asia, miliknya, menjadi bank terbesar No. 6 di dunia, dengan kekayaan yang kini kabarnya berkisar antara US$ 1,5 dan 2 milyar. "Saya kebetulan satu pesawat dengan Mochtar, sama-sama mau ke Hong Kong. Lalu omong-omong tentang bank. Dia baru berhenti sebagai direktur utama Panin bank, dan masih pikir-pikir mau ke mana. Saya bilang, kalau urus bank saya, bagaimana. Dia setuju dan minta 25%. Saya minta kurang, karena saya punya famili banyak. Saya tahu dia di Panin punya 23%. Saya tawari 15%, akhirnya cocok dengan 17,5%", katanya. Pada awal 1982, kelompok Liem kembali merebut perhatian banyak orang: Mereka berhasil menguasai 80% saham Hibernia Bancshares Corporation di San Francisco, konon salah satu dari 12 bank yang top di California. Pembelian itu dilakukan melalui lembaga keuangan nonbank yang terkenal di Hong Kong, First Facific Group. Sedangkan Hibernia Bancshares merupakan perusahaan induk dari Hibernia Bank. FPG sendiri, yang sebagian besar sahamnya dikuasai kelompok Liem, sebenarnya merupakan jatung kegiatan bisnis mereka. Lembaga keuangan nonbank yang bermarkas di Hong Kong itu, tapi terdaftar di Liberia, juga bergerak di bidang perbankan Asia. Kalau ada bidang yang sama sekali tak akan dijamahnya, itu adalah dunia pers. "Itu bidang yang tak mau kami masuki. Biarlah orang lain bicara tentang kami. Sebab, kalau kami mulai masuk ke pers, biased (cenderung memihak) jadinya", kata Anthony Salim. Ia juga tak percaya akan pentingnya humas. "Kurang lebih akan sama, biased, untuk perusahaan lain yang masih dimiliki keluarga. Lain dengan di Barat, yang sudah ke publik." Figur Liem Sioe Liong memang disegani kawan dan lawan. bagi pengusaha muda, dia tampaknya merupakan kebanggaan. Tak sedikit yang menyodorkan kartu namanya, atau meminta tanda tangan "Om Liem" - demikian ia dipanggil - ketika Temu Wicara di Hotel Hilton, pekan lalu. Tak seorang pun dari ketiga putranya hadir dalam acara Kadin itu. "Bos sudah mau datang kesana sudah cukup," kata Anthony Salim. Putranya yang tertua, Albert, kabarnya lebih suka berdiri sendiri. Sedangkan yang termuda, Andre, sibuk mengurusi bank kelompok Liem. Apa petuahnya pada anak-anaknya? "Saya selalu bilang sama mereka: Kami tanam pohon supaya besar di satu tempat. Jangan pohon yang sudah besar, nanti diangkat ke tempat lain. Itu tidak bisa, karena pohon akan mati."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini