SEBUTAN nonpribumi ternyata diperkenalkan pertama kali oleh Ketua dan Wakil Ketua Forum Swasta Nasional, Aminuddin Aziz dan H.E. Kowara, pada Juni 1974. Kata Kowara, sebutan itu mereka pergunakan untuk pengusaha bukan WNI: pengusaha asing atau bisa juga yang tidak punya kewarganegaraan. "Pribumi" dalam bahasa Sunda memang berarti "yang empunya rumah". Yang bukan "pri" secara sosial karena itu "non-pribumi", bukan jalmi urang alias "orang kita". Belakangan dia mengakui, sesudah muncul berbagai pergolakan sosial dan politik, sebutan nonpri digunakan untuk memojokkan pengusaha keturunan Cina. Tanpa disadari, sebuah organisasi bernama Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi), yang berlindung dibawah Kadin, didirikan pula. Kowara sangat setuju sebutan nonpri dihapus. Sebutan demikian, katanya mengutip pesan Kepala Negara, sudah tidak cocok lagi dengan keadaan. Karena itu, Kowara, Presiden Komisaris PT Teknik Umum, mengaku "lega dan puas" setelah sebutan itu dihapus lewat kesepakatan bersama Kadin. Pengaruh penghapusan tentu diharapkan baik. Misalnya, pengusaha nonpri (eh, lalu bagaimana menyebutkan kini?) lebih banyak lagi mengangkat karyawan pri duduk di top manajemen. Paling tidak, Johnny Widjaja, Presiden Komisaris PT Tiga Raksa, ingin melihat perusahaan lain mencontoh dia. "Di manajemen puncak, kami punya tiga pri dan tiga nonpri, dan distributor kami pun tidak seluruhnya nonpri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini