Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muladno Bashar buru-buru mengumpulkan anak buahnya. Sehabis menonton siaran televisi pada suatu siang pertengahan September lalu, guru besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ini melontarkan idenya untuk berangkat ke India. Bukan mau pelesir, melainkan mencari peluang baru negara pemasok sapi ke Tanah Air.
Ia mesti bergegas karena yang dilihatnya di televisi siang itu adalah keluhan Presiden Joko Widodo perihal harga daging sapi. "Pak Presiden sepertinya kecewa. Kenapa impor sapi dikurangi, harga mahal. Tapi impor sudah ditambah, harga masih mahal. Apakah mungkin mencari dari sumber lain yang harganya murah?" kata Muladno saat dihubungi, Kamis pekan lalu. Alternatif pemasok itu dianggap vital karena selama ini pasar dalam negeri terlalu bergantung pada sapi dari Australia.
Tak mesti dari India. Peluang bisa dari mana saja, sepanjang semua aturan dipenuhi. Salah satunya bebas penyakit kuku dan mulut. "Termasuk India, Meksiko, dan Brasil," ucap Muladno. Tapi keberangkatannya ke India pada Ahad akhir September lalu punya alasan tambahan. Negara dengan mayoritas penganut Hindu itu punya stok berlimpah, karena kebanyakan penduduknya tak mengkonsumsi sapi.
Selama tiga hari di New Delhi, Muladno menghabiskan waktu untuk mengunjungi lembaga penelitian hewan, badan karantina, dan rumah potong hewan. Ia mengaku sempat berdiskusi dengan pelaku usaha mengenai peluang kerja sama yang bisa digarap. "Tapi saya masih harus menunggu hasil penilaian tim audit. Lagipula Meksiko sudah mengajukan proposal. Brasil juga sudah minta dilihat," ujarnya.
Gagasan Muladno ini secara tak langsung didukung oleh Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti. Pada Rabu awal September lalu, Djarot sempat usul agar pemerintah melirik negara pemasok sapi selain Australia dan Selandia Baru. Semakin banyak sumber, harga lebih mudah dijaga. "Supaya kita enggak didikte," katanya di kompleks Istana Kepresidenan.
Pencarian pasokan di luar Australia ini dianggap mendesak, apalagi ketika harga daging sapi tak kunjung turun, bahkan setelah musim Lebaran berlalu. Rata-rata masih tembus ke level Rp 120 ribu per kilogram. Sejumlah pengusaha menuding kebijakan mengetatkan impor sapi bakalan pada kuartal ketiga sebagai penyebabnya. Pada Juli-September lalu, pemerintah memang hanya membuka impor sapi bakalan sebanyak 50 ribu ekor. Ini turun drastis dari kuota pada kuartal I dan II, masing-masing 100 ribu dan 250 ribu ekor.
Pemogokan besar-besaran para penjual daging sapi di pasar menambah tekanan ke pemerintah, yang kemudian melonggarkan keran impor. Impor pada kuartal keempat diizinkan sebanyak 200 ribu ekor. Angka ini berkurang dari rencana awal, yakni 300 ribu ekor. Menurut Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, untuk sementara, Australia masih menjadi satu-satunya sumber.
Rupanya, bukan cuma gejolak harga di dalam negeri yang bikin pemerintah melunak. Pejabat di Kementerian Pertanian menyebutkan ada desakan dari Australia agar Indonesia kembali mengimpor dalam jumlah besar. Perwakilan negara tersebut bahkan sampai delapan kali melobi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Alasannya, eksportir di Negeri Kanguru ketar-ketir pengetatan impor di Indonesia bakal mengulang kejadian pada 2011.
Ketika itu, para aktivis Animal Welfare berhasil meyakinkan Canberra untuk menyetop pengiriman sapi ke Indonesia. Desakan itu mencuat setelah ada tayangan televisi yang menunjukkan perlakuan kejam pada sapi di selusin rumah potong hewan di Indonesia. Meski kebijakan Australia itu hanya berlaku sebulan, harga ternak sapi potong di negara tersebut sempat anjlok dari setara dengan Rp 16 ribu menjadi Rp 10 ribu per kilogram bobot hidup.
Kantor berita ABC juga melansir, para eksportir sapi di Australia sempat pula merana lantaran pemerintah Indonesia terlambat memutuskan kuota impor sapi pada kuartal ketiga lalu. Dan ternyata hanya 50 ribu ekor. Menurut Andy Gray dari Asosiasi Eksportir Ternak Northern Territory (NTLEA), penundaan izin impor di Indonesia telah berdampak bagi seluruh rangkaian pasokan sapi yang sudah menunggu di pelabuhan. Akibatnya, biaya kapal yang menganggur di pelabuhan Darwin melonjak.
Menteri Amran menyangkal adanya tekanan atau lobi apa pun dari Australia, sehingga pemerintah memperlebar keran impor sapi. Sebaliknya, justru dia berusaha mengerem kuota untuk tiga bulan terakhir pada 2015. Dalam hitungannya, permintaan pada Oktober-November semestinya sampai 400 ribu ekor. "Tapi hanya saya izinkan 200 ribu ekor," ujarnya di sela-sela kunjungan kerja di Sukabumi, Jawa Barat, Selasa pekan lalu. "Tidak ada tekanan dari siapa-siapa. Hitungan kebutuhannya memang segitu."
Dalam wawancara khusus dengan Tempo di sela-sela lawatannya ke Indonesia, Rabu pekan lalu, Menteri Pertanian dan Sumber Daya Air Australia Barnaby Joyce mengatakan pemerintahnya tak pernah bisa mengintervensi siapa pun di sini. Tapi, menurut dia, ketahanan pangan adalah tugas utama pemerintah. "Sebab, seperti hukum ekonomi, ketika pasokan berlimpah, harga jatuh. Tapi, ketika suplai diturunkan, harga akan melambung," katanya. "Kalau menurut Anda tidak perlu beli sapi impor, tebak apa yang bakal terjadi di Jakarta. Harga akan melonjak."
Bayu Krisnamurthi maklum jika ada usaha dari Australia untuk mendekati pejabat di Jakarta. Wakil Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatakan lobi semacam itu tak perlu dicurigai. "Memang begitu tugas pemerintah: memperjuangkan supaya produknya bisa diterima mitra dagangnya."
Menurut dia, apa yang dilakukan pemerintah Australia dilakukan juga oleh pemerintah Indonesia, meskipun dalam produk yang berbeda. "Saya pernah harus datang berkali-kali ke pemerintah Cina untuk mengusahakan furnitur kita. Kami dekati terus-menerus sampai akhirnya Indonesia punya toko di sana. Ini bagian dari usaha yang harus dilakukan pemerintah," ujarnya.
Australia-Indonesia memang saling membutuhkan. Iklim dan kondisi geografis di sana sangat ideal untuk pembibitan lembu, plus terbebas dari penyakit kuku dan mulut. Dengan daratan 7,69 juta kilometer persegi, Australia adalah negara dengan tanah terluas keenam di dunia. Ternak lazim dibiarkan berkeliaran bebas.
Australia pun perlu Indonesia sebagai pasar dan lahan menggemukkan sapi. Biasanya lembu usia 2,5-3 tahun yang berbobot 280-300 kilogram bakal dilego. Pakannya berupa rumput, sisa olahan jagung, padi, tebu, kopra, ampas kelapa sawit, dan nanas. Peternak di Australia bakal tekor jika harus memelihara ternaknya sampai berat potong 450 kilogram. Maklum, Australia hanya subur di pesisir timur Queensland, New South Wales, dan selatan Victoria, yang dikenal dengan green belt. Sisanya kawasan kering.
Karena itu, menurut Muladno, Australia semestinya tak perlu kelewat risau. Apakah Indonesia akan kembali mengencangkan keran impor atau membuka peluang pasokan dari negara lain sepenuhnya kita yang menentukan. "Ini bisnis. Yang tidak kompetitif bakal tutup. Kalau sumber baru bisa menjual dengan harga lebih murah, akan kami lihat. Yang penting kita harus mengurai, apa yang membuat daging mahal."
Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo