Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendadak kuat, rupiah membingungkan banyak orang. Kamis pekan lalu, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, rupiah bertengger di level 13.809 per dolar Amerika Serikat. Padahal, menjelang akhir September, kurs rupiah sempat begitu lemah di angka 14.728 per dolar. Ada apa gerangan?
Pertama, bankir dan analis pasar melihat aliran dolar masuk secara signifikan. Mereka menengarai ini berhubungan dengan penjualan saham baru HM Sampoerna dengan hak memesan efek lebih dulu (rights issue) senilai Rp 20,77 triliun. Pasokan dolar membuat pasar yang sangat tipis cepat bereaksi positif terhadap rupiah.
Kedua, ada perbaikan manajemen pembelian valuta asing oleh perusahaan negara. Pembelian dalam skala ratusan juta dolar Amerika per transaksi untuk membiayai impor minyak, misalnya, kini langsung kepada Bank Indonesia. Walhasil, BI dapat mengelola pasokan dan permintaan dolar di pasar valas.
Ketiga, ada pembalikan lain yang amat penting di tataran global. Tak sampai tiga pekan lalu, The Federal Reserve (The Fed) sudah tinggal menekan tombol untuk menaikkan suku bunga patokannya. Bank sentral Amerika ini menilai suku bunga harus naikkarena ekonomi Amerika membaik. Kenyataannya, dua pekan lalu data ketenagakerjaan Amerika berkata sebaliknya. Penyerapan tenaga kerja yang buruk menandakan masih lesunya ekonomi. The Fed Atlanta bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Amerika cuma 1 persen tahun ini. The Fed nyaris mustahil menaikkan bunga pada 2015.
Kemungkinan naiknya bunga The Fed sebelumnya masuk sebagai faktor penentu mengapa nilai rupiah begitu rendah pada akhir September. Maka, ketika The Fed hampir pasti tak jadi mengerek bunga tahun ini, tak ayal rupiah pun menguat.
Lalu,quo vadis?Mau ke mana setelah ini? Ada faktor plus dan minus. Faktor plusnya adalah jika pemerintah mampu memanfaatkan momentum ini untuk menarik dana milik entitas Indonesia yang diparkir di luar negeri. Ini memerlukan perbaikan kredibilitas pemerintah yang belakangan ini menurun karena serangkaian kebijakan buruk.
Misalnya kontroversi pembangunan kereta cepat. Juga pengendalian harga beras yang belum berhasil. Aparat pajak yang sangat agresif mengejar setoran juga turut memperburuk keyakinan dan kenyamanan pemilik uang. Perbaikan kebijakan, plus persuasi yang meyakinkan, semestinya dapat menarik pulang dolar Amerika milik entitas Indonesia ke Tanah Air.
Sedangkan faktor negatif yang patut kita perhatikan adalah gunung utang luar negeri korporasi Indonesia yang sungguh luar biasa. Sejak 2010, utang perusahaan-perusahaan kita meningkat dua kali lipat menjadi US$ 169,2 miliar per Juli lalu. Dari gunung utang sebesar itu, tercatat US$ 42 miliar akan jatuh tempo dalam 12 bulan mendatang.
Sebagian korporasi mungkin tak punya masalah,terutama eksportir yang penghasilannya juga dolar Amerika.Yang bisa menjadi perkara besar adalah perusahaan yang terpapar utang dolar tapi hanya mampu menghasilkan rupiah. Perusahaan semacam ini akan kian tercekik saat melakukan refinancing atau mengambil jurus gali lubang tutup lubang. Jika sampai ada yang gagal bayar, rentetan dampaknya dapat menyeret jatuh ekonomi kita.
Sudah saatnya pemerintah dan BI secara ketat menghitung kembali utang-utang komersial swasta. Tim pemantau pinjaman komersial luar negeri harus meluaskan mandat: tak hanya meneropong perusahaan negara. Sebelum terlambat, tengoklah utang-utang privat.
Kontributor Tempo
KURS
Rp per US$ Pekan lalu 14.691
13.809 Penutupan 8 Oktober 2015
IHSG
Pekan lalu 4.255
4.491
Penutupan 8 Oktober 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 7,16%
6,83%
September 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
31 Agustus 2015 US$ 105,4 miliar
US$ miliar 101,72
30 September 2015
PERTUMBUHAN PDB
2014 5,0%
5,1%
Target Pemerintah 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo