Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLN habis-habisan mengurangi beban bahan bakar minyak.
Sebagian sektor industri ketiban pulung, juga mencari untung.
Sektor logistik menjerit akibat solar yang mulai langka.
AGUNG Murdifi selalu bungah setiap kali menjabarkan hasil sementara program dedieselisasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Program ini merupakan upaya perseroan untuk melikuidasi ribuan unit pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) mereka yang rakus bahan bakar minyak (BBM) solar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu bagian program dedieselisasi yang disorong-sorong Agung adalah penyambungan jaringan PLN di Pulau Sumatera ke Pulau Bangka pada Sabtu, 26 Maret lalu. Dengan interkoneksi itu, Pulau Bangka tak perlu lagi menggunakan listrik mahal dari sejumlah PLTD di pulau timah tersebut, cukup mengandalkan gelontoran setrum berlebih dari aneka jenis pembangkit di Pulau Sumatera, seperti tenaga batu bara, gas, dan air. “Menggeser tenaga listrik dari berbasis impor (bahan bakar minyak) menjadi tenaga domestik,” kata Agung, Wakil Presiden Eksekutif Komunikasi Korporat dan Tanjung Jawab Sosial Lingkungan PLN, pada Sabtu, 9 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi PLN tak boleh cepat puas. Mereka harus beradu gesit dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga akhir tahun lalu, sesuai dengan dokumen Statistik PLN 2021, perusahaan setrum pelat merah ini masih menghidupi 5.258 PLTD dengan kapasitas total 3.532 megawatt. Kebanyakan berada di luar Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.
Jumlah PLTD itu membuat PLN keluar sebagai juara, sektornya paling haus solar, jauh mengungguli sektor minyak dan gas bumi, pertambangan, kertas, keramik, baja, juga perkebunan. Saban tahun, PLN membutuhkan tidak kurang dari 2 juta kiloliter BBM buat menghidupi ribuan PLTD mereka.
Memang, angka konsumsi BBM PLN turun terus setiap tahun. Pada 2018, misalnya, PLN meminum 3,5 juta kiloliter BBM senilai Rp 31,74 triliun. Setahun kemudian jumlahnya turun menjadi 2,6 juta kiloliter atau senilai Rp 24,73 triliun. Pada 2020, ketika konsumsi listrik turun seiring dengan pandemi Covid-19, konsumsi BBM PLN anjlok jauh tinggal 2,2 juta kiloliter atau senilai Rp 15,8 triliun.
Namun tahun lalu konsumsi BBM PLN naik lagi menjadi 3,09 juta kiloliter. Dan semuanya BBM nonsubsidi, yang harganya sudah naik gila-gilaan.
Belum ada laporan resmi dari PLN berapa duit yang mereka keluarkan untuk memenuhi kebutuhan BBM itu pada tahun lalu. Namun, berdasarkan laporan keuangan perusahaan semester pertama 2021, belanja BBM PLN selama enam bulan pertama 2021 sudah mencapai Rp 9,9 triliun.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengakui transisi PLTD ke pembangkit energi lain kini menjadi langkah strategis di tengah kenaikan harga minyak dunia. Selain menyambungkan pulau-pulau yang masih disuplai PLTD dengan sistem interkoneksi yang punya pasokan setrum berlebih, seperti Pulau Bangka dengan Pulau Sumatera tersebut, PLN menempuh jalur lelang proyek penggantian PLTD dengan pembangkit listrik tenaga surya plus baterai.
Hitung-hitungan PLN, dalam interkoneksi Sumatera-Bangka yang menggunakan kabel bawah laut sepanjang 65 kilometer itu saja, mereka bisa mengurangi 92 ribu kiloliter solar dan 137 ribu kiloliter biosolar per tahun. Biaya pokok produksi bisa dihemat sebesar Rp 795 per kilowatt-jam atau Rp 1,03 triliun per tahun.
Saat ini PLN sedang membuka lelang konversi PLTD menjadi PLTS plus baterai sampai 250 megawatt (MW) di sejumlah daerah. Target kapasitas terpasang di tahap pertama ini sekitar 350 MW. Baru kelak, pada tahap kedua, PLN akan mengkonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit energi baru dan terbarukan lain.
Darmawan menargetkan proyek ini rampung pada 2026. “Program dedieselisasi ini bisa menghemat 67 ribu kiloliter BBM,” ujar Darmawan pada Rabu, 23 Maret lalu.
•••
SEMENTARA Perusahaan Listrik Negara masih dibayangi kenaikan harga bahan bakar minyak, tidak demikian dengan industri sektor lain. Sejumlah pelaku industri, terutama berskala besar, rupanya telah mengalihkan sumber energi mereka dari BBM ke bahan bakar yang lebih murah, seperti batu bara dan gas, sejak beberapa tahun lalu.
Sebelum mereka beralih, BBM industri kerap digunakan untuk menghidupkan genset pabrik sebagai cadangan jika listrik PLN mati. Atau genset itu hanya dipakai buat menghidupkan ketel uap, seperti yang dilakukan PT Krakatau Steel Tbk. “Kini kami dominannya sudah pakai gas dan listrik,” kata Silmy Karim, Direktur Utama Krakatau Steel, kepada Tempo pada Kamis, 7 April lalu. “Intinya, industri baja enggak terpengaruh. Jikapun ada, hanya dari sisi logistik.”
Ada juga sektor bisnis yang ketiban pulung akibat kenaikan harga minyak mentah dunia dan BBM. Bisnis pelayaran salah satunya. Bagi sektor ini, kenaikan harga BBM seperti obeng, ada mata plus dan minusnya. “Meskipun secara optimistis saya melihat efeknya cenderung ke positif,” ujar Bani Maulana Mulia, generasi ketiga pendiri PT Samudera Indonesia Tbk yang kini menjabat direktur utama perusahaan, pada Sabtu, 9 April lalu.
Tanda pemberitahuan bahan bakar solar habis di SPBU Rest Area KM 754 Tol Surabaya-Gempol di Sidoarjo, Jawa Timur, 5 April 2022. ANTARA/Umarul Faruq
Begitulah enaknya punya bisnis beragam seperti Samudera Indonesia. Ketika harga BBM naik, lini usaha pelayaran peti kemas hingga curah milik Samudera Indonesia memang terkena dampak. Kapal-kapal mereka masih menggunakan bahan bakar rendah sulfur (low sulphur fuel oil) dan sedikit solar.
Namun mereka sudah punya perjanjian bunker adjustment factor dengan pelanggan—inilah yang tidak dimiliki PLN dan industri lain yang tak bisa meneruskan beban kenaikan harga BBM itu langsung kepada pelanggan. “Ada surcharge jika terjadi kenaikan harga bahan bakar,” ucap Bani. “Sebaliknya, ada potongan ke pelanggan bila ada penurunan harga bahan bakar.”
Namun Samudera Indonesia juga menangguk untung. Dengan naiknya harga BBM, otomatis harga bahan bakunya, yaitu minyak mentah, juga naik. Walhasil, kegiatan eksplorasi hingga eksploitasi blok minyak dan gas juga bergairah. Dampaknya, bisnis Samudera yang menyediakan pelayaran tanker hingga offshore laris manis tanjung kimpul. “Pekerjaan rumah kami itu selalu mencari cara agar lebih efisien saja dalam operasi,” tutur Bani.
Sementara di kalangan industri ada yang menikmati dan menangisi kenaikan harga BBM, sektor bisnis logistik kompak meratapi kenaikan ini. Memang, harga solar bersubsidi belum naik, masih Rp 5.150 per liter. Namun perbedaan besar antara solar nonsubsidi, seperti Dexlite yang dihargai Rp 12.950 per liter, dan solar bersubsidi yang harganya mencapai Rp 7.800 per liter memicu potensi penggelapan solar bersubsidi yang berujung pada kelangkaan.
Sudah sepekan terakhir sopir-sopir truk di seantero Jawa Timur kesulitan mendapatkan solar bersubsidi. Menurut Koordinator 1 Gabungan Sopir Jawa Timur Supriyono, kelangkaan solar terjadi merata di kota-kota Jawa Timur, seperti Pasuruan, Probolinggo, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Ngawi, Madiun, Mojokerto, Lumajang, dan Banyuwangi. “Salah satu kawan di Gresik sudah antre dua jam, sampai mulut SPBU rupanya solar sudah habis,” kata Supriyono kepada Tempo pada Jumat, 8 April lalu. “Di Banyuwangi juga begitu, tiga harian lalu.”
Supriyono menunjukkan foto-foto antrean kendaraan di sejumlah lokasi, seperti stasiun pengisian bahan bakar umum Jalan Raya Sedarum di Pasuruan dan SPBU Jalan Raya Awang Awang Mojosari di Mojokerto.
Menurut Direktur Utama PT Lookman Djaja Logistics Kyatmaja Lookman, kelangkaan solar biasanya terjadi menjelang akhir tahun, November-Desember, ketika anggaran subsidi solar sudah habis, dan kuotanya telah mepet. Namun kali ini muncul anomali. Kelangkaan sudah terjadi pada awal tahun.
Kyatmaja menduga meningkatnya geliat ekonomi yang berujung naiknya konsumsi solar tak seimbang dengan kuota bulanan solar bersubsidi. Disparitas harga solar bersubsidi dan nonsubsidi juga disinyalir sebagai biangnya, yang membuat sejumlah orang menimbun solar bersubsidi. “Ini memperparah kelangkaan solar yang ada di pasar,” ujar Kyatmaja pada Kamis, 7 April lalu.
Gara-gara kelangkaan itu, kata Kyat, perjalanan logistik makin lama. Truk yang seharusnya sampai dalam satu hari baru tiba dalam dua hari. Tambahan perjalanan ini, menurut Kyat, memberatkan pengusaha truk dan sopir. Tambahan biaya perjalanan tidak bisa semuanya dibebankan kepada pelanggan.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati juga sempat menyinggung permasalahan ini ketika mengikuti rapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi badan usaha milik negara dan perdagangan, pada Senin, 28 Maret lalu, dan Komisi VII DPR, yang membidangi energi, esoknya. Nicke mensinyalir biang kelangkaan solar bersubsidi adalah truk-truk pengangkut buah sawit dan batu bara.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM, industri perkebunan dan pertambangan dilarang meminum solar bersubsidi. Namun kedua industri ini ditengarai malah menggelontori tangki dan unit transportasinya dengan solar murah. “Kami melihat antrean solar di SPBU itu justru dari industri besar seperti sawit dan tambang,” ucap Nicke pada Senin, 28 Maret lalu. “Seharusnya solar bersubsidi itu tidak meng-cover industri tambang dan perkebunan sawit.”
Gara-gara kebocoran solar bersubsidi ini, kuota solar murah sudah jebol pada bulan kedua 2022. Tahun ini, pemerintah hanya mengalokasikan kuota solar bersubsidi sebesar 14,05 juta kiloliter. Pada dua bulan pertama 2022, semestinya kuota solar bersubsidi yang mengalir hanya 2,27 juta kiloliter. Namun realisasinya telah menembus 2,49 juta kiloliter alias 110 persen dari kuota.
Kelebihan kuota terbesar berada di Jawa bagian barat (115 persen), Sumatera bagian selatan (113 persen), Sulawesi (112 persen), Jawa bagian timur (111 persen), Sumatera bagian utara (109 persen), dan Kalimantan (107 persen). Hanya konsumsi solar bersubsidi di Maluku-Papua yang tidak melebihi kuota.
Ihwal masalah kekurangan kuota subsidi BBM ini, parlemen sudah menyiapkan solusi klasik: mendorong pemerintah menambah kuota subsidi solar sampai 2 juta kiloliter. Entah duit dari mana lagi itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo