Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tengah mengkaji penjaminan dana nasabah uang elektronik dan dompet elektronik (e-money dan e-wallet). "Sampai sekarang belum masuk penjaminan. Jika ingin dijamin, harus mengubah undang-undang dulu," kata Sekretaris Perusahaan LPS, Samsu Adi Nugroho, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsu menuturkan upaya itu merupakan bagian untuk mendukung gerakan transaksi non-tunai yang semakin berkembang. Selain produk e-money dan e-wallet perbankan, produk milik penyelenggara non-bank, seperti perusahaan teknologi finansial (fintech), masuk dalam kajian tersebut. "Pada prinsipnya mereka belum terjamin karena belum semua terawasi dan teregulasi. Ini fenomena baru dan kami harus melihat dampaknya kepada perekonomian," katanya. "Penjaminan baru dilakukan jika pengawasan sudah baik dan mapan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Komisioner LPS, Destry Damayanti, sebelumnya mengungkapkan lembaganya telah membentuk tim kecil dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendiskusikan inisiatif penjaminan e-money dan e-wallet. "Karena sifatnya bukan tabungan, kami pun belum bisa masuk ke ranah itu," ucapnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, simpanan yang bisa dijamin oleh LPS adalah dana nasabah bank berbentuk tabungan, deposito, dan giro. Batas maksimal simpanan yang dijamin sebesar Rp 2 miliar. Destry mengatakan saat ini kajian yang dilakukan masih tahap awal, yaitu tentang definisi dana simpanan dalam uang elektronik hingga dana di perusahaan penghimpunan dana (crowdfunding). "Kami mengkaji apakah bisa masuk sebagai simpanan, dan tentunya ada implikasi pada undang-undang," katanya.
Kajian regulator tersebut mendapat sambutan positif dari penyelenggara uang elektronik. Menurut Senior Vice President Transaction Banking Retail Sales PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Thomas Wahyudi, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, status simpanan uang elektronik saat ini dikategorikan sebagai kewajiban yang disegerakan. "Karena itu, kami tidak dapat memperlakukan dana tersebut seperti dana pihak ketiga (DPK) yang mendapatkan penjaminan sesuai dengan ketentuan LPS," ucapnya kepada Tempo. Untuk memastikan nasabah pengguna e-money dapat menggunakan dananya dengan aman dan nyaman, dia mengatakan perbankan harus mengutamakan dana tersebut.
General Manager Electronic Banking PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Anang Fauzie, pun mendukung kajian tersebut. Dia menyampaikan sejumlah usul yang dapat dipertimbangkan dalam implementasinya nanti. "Pertama hanya menjamin e-money yang disediakan oleh penyedia platform e-money yang memiliki lisensi Bank Indonesia," katanya kepada Tempo.
Usul kedua, kata Anang, terkait dengan sifat e-money sebagai pengganti uang tunai fisik yang memiliki kemungkinan tercecer atau hilang yang disebabkan oleh keteledoran atau kelalaian pengguna. Hal itu sama sifatnya dengan uang tunai yang tercecer atau hilang oleh pemiliknya, dan dapat diambil atau dipakai oleh orang lain. "E-money kan berbasis kartu (card-based) dan server (server-based), sehingga LPS tidak bisa menjamin e-money jika diakibatkan keteledoran nasabah." Sebelum menerapkan penjaminan, kepemilikan dari akun individu e-money pun harus jelas. "Artinya, proses know your customer saat registrasi harus bisa dilaksanakan dengan baik," ujar Anang.
Rencana ini juga direspons oleh penyelenggara e-money dan e-wallet non-perbankan. Saat ini terdapat beberapa penyelenggara non-bank yang beredar, seperti platform OVO, Go-Pay, dan DANA. Direktur OVO, Harianto Gunawan, menyambut baik kajian penjaminan e-money. "Kami senantiasa mengikuti pedoman Bank Indonesia untuk menjaga kepercayaan masyarakat dari aspek finansial dan menjalankan good corporate governance," katanya.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo