Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad-interim. Erick akan menggantikan sementara jabatan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang sedang menjalani perawatan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena saat ini Pak LBP Menko Marves sedang menjalani kesehatan, maka Presiden telah menunjuk Erick Thohir, Menteri BUMN menjadi Menko Marves Ad-interim,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden, AAGN Ari Dwipayana saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 11 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, sebenarnya apa itu ad-interim? Dan apa perbedaannya dengan pelaksana tugas (Plt), pelaksana harian (Plh), penjabat (Pj), dan pejabat sementara (Pjs)?
Ad-interim
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ad-interim berarti untuk sementara waktu. Istilah ad-interim diambil dari ungkapan bahasa Latin.
Terkait dasar hukum pengangkatan pejabat ad-interim, tidak ada aturan pasti yang ditetapkan oleh negara, karena hal itu murni sebagai kewenangan presiden sejak era Sukarno. Misalnya, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 2 Tahun 1956 tentang Pengangkatan Menteri Ad Interim, Sukarno menunjuk Perdana Menteri (PM) Boerhanoedin Harahap sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) Ad-Interim pada 8 Desember 1955.
Dikutip dari Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah (2022), menteri dibagi menjadi dua jenis, yaitu menteri plenipotentiary dan menteri ad-interim. Menteri plenipotentiary diberikan kuasa penuh dalam menjalankan tugas di kementerian. Sedangkan menteri ad-interim merupakan orang yang melaksanakan tugas untuk memimpin suatu kementerian dengan masa jabatan dan kewenangan terbatas, serta dalam waktu singkat.
Keberadaan menteri ad-interim dianggap tidak begitu berarti, sebab kedudukan dan wewenangnya yang tidak terlalu jelas. Selain itu, menteri ad-interim tidak mempunyai hak untuk membuat keputusan yang bersifat strategis, sehingga kedudukannya sama sebagai pejabat di bidang administratif saja.
Plt
Sementara itu, Menurut Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Hubungan Antarlembaga (FKDH) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik Piliang menjelaskan, payung hukum terkait Plt tercantum pada Pasal 65 dan 66 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Adapun Plt dijabat oleh wakil gubernur (wagub), wakil bupati (wabup), dan wakil wali kota. Penunjukan Plt, kata dia, dilakukan apabila gubernur, bupati, atau wali kota di suatu daerah sedang berhalangan sementara.
Akmal menegaskan, otoritas wakil kepala daerah sama dengan kepala daerah. “Harus diingat, wakil kepala daerah itu merupakan hasil dari proses politik,” ucap Akmal, seperti dilansir laman Pemkab Bone, Sulawesi Selatan.
Plh
Sedangkan mengenai Plh, jabatan ini diisi oleh sekretaris daerah (sekda) saat masa jabatan kepala daerah kurang dari suatu bulan. Posisi Plh kepala daerah adalah hasil dari proses administrasi, sama halnya dengan posisi Pj dan Pjs.
Pj
Untuk penggunaan istilah Pj, Akmal mengatakan, telah diatur dalam Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Ketika akhir masa jabatan (AMJ) selesai, lanjut dia, ditambah kepala daerah yang bersangkutan tidak cuti kampanye, maka sampai dilantik kepala daerah batu, posisinya diisi oleh pejabat tinggi madya sebagai pejabat.
Dia juga menjelaskan, pejabat adalah pegawai pemerintah yang menduduki jabatan penting. Sedangkan pejabat adalah orang yang melaksanakan jabatan orang lain untuk sementara waktu. Oleh karena itu, menurut dia, orang yang memegang jabatan tetap disebut sebagai pejabat.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menyampaikan, setiap penjabat gubernur dipilih langsung oleh presiden atas pengajuan nama dari Kemendagri. Sedangkan untuk Pj bupati dan Pj wali kota ditunjuk langsung oleh Kemendagri. Hal itu, menurut dia, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Sesuai amanat UU No. 10 Tahun 2016, Pj gubernur diajukan Kemendagri, kemudian dipilih oleh presiden. Sementara Pj bupati dan wali kota diajukan oleh gubernur dan dipilih Kemendagri,” ujar Junimart dalam keterangannya, Rabu, 5 Januari 2022.
Pjs
Untuk istilah Pjs, Akmal menuturkan bahwa hal itu merupakan turunan dari Pasal 70 UU No. 10 Tahun 2016. Pada saat pasangan kepada daerah maju kembali dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), pihak yang bersangkutan wajib untuk cuti selama masa kampanye.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Pjs dulunya dikenal dengan istilah Plt. Akan tetapi, mengacu pada Permendagri No. 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 74 Tahun 2016, istilah Plt berganti menjadi Pjs.
Hal itu, kata Akmal, bertujuan agar terdapat pembeda antara cuti kampanye dan berhalangan sementara. “Sesuai Permendagri No. 1 Tahun 2018, istilah berubah menjadi Pjs,” ujar dia.
Salah satu poin lain dari perubahan Permendagri tersebut, Pjs sebelumnya berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kemendagri atau pemda provinsi. Kini, Pjs disebutkan dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkungan pemerintah pusat atau pemda provinsi. “Sejauh dia pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat maupun pemda provinsi,” tutur Akmal.
MELYNDA DWI PUSPITA