UNDANG-undang Pokok Pers 1966 pasal 15 memaparkan kedudukan,
tanggung jawab dan hak pemimpin redaksi sehubungan dengan suatu
tulisan dalam penerbitannya. Dialah penanggung jawab tunggal
(keluar) terhadap seluruh tulisan yang telah disiarkan. Ternyata
belum semua aparat kepolisian dan kejaksaan memahaminya.
Di Samarinda, Kalimantan Timur, misalnya, peranan pemimpin
redaksi, seperti diatur dalam UU yang bersifat khusus itu,
memang benar tidak dihiraukan kepolisian dan kejaksaan setempat.
Buktinya, mereka tetap menuntut pertanggung jawaban Johansyah
Balham, koresponden majalah Detik (Jakarta) di Samarinda. Karena
suatu tulisannya di majalah itu (12 Februari), ia diseret ke
pengadilan dengan tuduhan menista nama baik dr. Bambang
Rudiyanto, dr. H. Soepangat dan dr. Thamrinsyah. Ketiganya,
tulis Johansyah, telah menjalankan praktek rentenir gelap yang
menyebabkan Tan Tjin Tong terjerat hutang menumpuk.
Masih Keliru
Berpegang pada UU Pokok Pers tadi, tentu saja pemimpin
redaksi yang harus dipanggil bila ada pengaduan karena suatu
tulisan--bukan penulisnya. "Semua manusia Indonesia mestinya
sudah harus tahu dan dianggap tahu isi undang-undang itu," kata
M.A. Tomaseuw SH, Kepala Humas Kejaksaan Agung.
Tapi kenapa Johansyah diadili (mulai 15 Oktober)? Abdul
Aziz's, Pemimpin Redaksi Detik, ternyata belum memindahkan
tanggung jawabnya pada Johansyah. "Seharusnya kejaksaan
Samarinda menanyakan dulu kepada saya tentang siapa yang akan
bertanggung jawab terhadap tulisan tersebut," katanya. Ia
menyebut tindakan kepolisian dan kejaksaan tadi jelas melanggar
UU Pokok Pers 1966.
Dalam hal ini ternyata juga telah diabaikan konsensus PWI
dengan Kejaksaan Agung (8 Februari 1977). Menurut konsensus itu,
hanya instansi kejaksaan (bukan kepolisian) yang melakukan
pemanggilan (pada tingkat pertama) terhadap wartawan yang
disangka melakukan delik pers.
Tidak jelas mengapa kejaksaan Samarinda masih keliru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini