Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Garuda Mas dan Akal-akalannya

Raja Garuda Mas tak menyetor hasil penjualan perusahaannya di Cina kepada BPPN. Trik apa lagi?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAJA Garuda Mas memang lihai. Perusahaan milik Sukanto Tanoto ini berkali-kali berhasil ''mengakali" pemerintah dan lolos (untuk sementara) dari kewajiban membayar utang—seluruhnya senilai US$ 2,6 miliar. Maret lalu, grup ini mendapatkan penundaan pembayaran bunga senilai US$ 165 juta. Pekan lalu, si Raja Garuda Mas berkelit lagi walaupun baru saja meraup duit US$ 103 juta (sekitar Rp 850 miliar), hasil menjual pabrik kertas di Cina.

''Akal-akalan" Raja Garuda Mas terlihat jelas dalam penjualan pabrik kertas di Cina tadi. Adalah Riau Andalan Pulp & Paper, anak perusahaan Raja Garuda Mas, yang berkirim surat kepada Bank Mandiri, BNI, dan Danamon—ketiganya pemberi kredit untuk Andalan—tentang lakunya pabrik kertas di Cina seharga US$ 103 juta. Surat ini ditembuskan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)—lembaga di bawah Departemen Keuangan yang menangani soal-soal yang ''macet" di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Isi surat: uang hasil penjualan pabrik kertas di Changshu ini akan dipakai untuk mendanai pembangunan pabrik pulp line 2A (milik Andalan) sebagai pengganti pinjaman siaga (bridging financing) yang telah diterima pemegang saham.

''Ini terang menyalahi nota kesepakatan (MOU) yang diteken akhir Agustus tahun lalu. Dalam MOU itu tidak pernah disebut-sebut penjualan pabrik kertas di Cina sebagai bagian dari setoran pemegang saham," kata sumber TEMPO di KKSK. Dia mengungkapkan, dalam MOU itu disebutkan bahwa biaya pembangunan pabrik bubur kertas line 2A sebesar US$ 350 juta akan ditutup oleh pemegang saham senilai US$ 100 juta, pinjaman pihak lain US$ 85 juta, dan yang US$ 165 juta lagi berupa penundaan pembayaran bunga (deferred interest). Skema restrukturisasi utang ini diteken setelah BPPN mengalah untuk tidak memasukkan klausul penjualan pabrik kertas milik induk perusahaan Raja Garuda Mas di luar negeri, Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (APRIL), di Cina sebagai bagian dari MOU tersebut. Sebelumnya, BPPN melihat penjualan itu sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mempercepat pembayaran utang dan pelunasan bunga utang Raja Garuda Mas.

Tak tahunya, penjualan itu ternyata dilakukan juga oleh APRIL. Pada Rabu dua pekan lalu, perusahaan yang sudah masuk bursa New York ini menjual 51 persen sahamnya di pabrik kertas di Changshu senilai US$ 150 juta kepada pemegang saham yang lain, UPM-Kymenne, Finlandia. Namun, hasil bersih yang diterima APRIL hanya US$ 103 juta—yang US$ 100 juta disetorkan untuk pembangunan pabrik pulp line 2A sebagai bagian pemegang saham. ''Padahal, dulu Sukanto Tanoto benar-benar ingin mempertahankan pabrik kertas itu dan menolak rencana BPPN. Dia mengatakan bahwa prospek bisnis kertas di Asia sangat bagus, sehingga pabrik itu tidak perlu dijual. Lo, kok, sekarang menjualnya?" kata sumber TEMPO.

Cacuk Sudarijanto agaknya kecolongan. Dalam wawancaranya dengan TEMPO belum lama ini, Cacuk menafikan kemungkinan penjualan pabrik kertas itu. ''Itu kan masih kemungkinan besar," katanya. Menurut dia, restrukturisasi kredit Raja Garuda Mas yang dirancang para kreditor sudah tepat. Selain itu, posisi BPPN sebagai kreditor minoritas memang menyulitkannya dalam negosiasi utang dengan Raja Garuda Mas. BPPN hanya punya 20 persen saham di Raja Garuda Mas. Itu sebabnya Cacuk ''kalah suara" walaupun BPPN menolak skema tersebut.

Nah, kata sumber TEMPO tadi, mestinya BPPN tidak memberikan peluang yang sama untuk kedua kalinya. Setelah kejeblos pada negosiasi yang pertama, BPPN kali ini seharusnya meminta uang hasil penjualan itu sebagai pembayaran utang, bukan membiarkannya sebagai setoran pemegang saham untuk pembangunan pabrik pulp tersebut. Jika dilihat secara teliti, pembenaran langkah Sukanto Tanoto itu sama saja dengan memberikan utang baru kepada perusahaan tersebut. ''Pemerintah memberikan keistimewaan yang terlalu banyak kepada Raja Garuda Mas," katanya jengkel.

Kekesalan itu bukan hal yang aneh. Sebab, Raja Garuda Mas sudah mendapatkan penundaan pembayaran bunga sampai US$ 165 juta. ''Kalau hasil penjualan itu dianggap sebagai setoran, pemegang saham perusahaan itu modalnya apa?" kata sumber TEMPO. Itu artinya, ''Seluruh dana yang diperlukan untuk pembangunan pabrik pulp berasal dari utang."

Repotnya, para pejabat BPPN tampaknya tidak merasa dikibuli. Staf Ahli Kepala BPPN, Amir Sambodo, dan juru bicara BPPN, Danang Kemayan Jati, sama-sama mengatakan bahwa jika Raja Garuda Mas mendapatkan dana tunai, duit itu akan dipakai untuk mempercepat pembayaran utang. Padahal, dalam surat Raja Garuda Mas yang diteken oleh Direktur Utama Riau Andalan Pulp & Paper, Protasius Daritan, dengan jelas disebutkan bahwa hasil penjualan itu dipakai sebagai setoran pemegang saham. Kok, BPPN gampang diakali, ya?

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus