Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU masih bisa memilih, Indonesia tentu mengutamakan investasi langsung ketimbang investasi tak langsung yang dilakukan lewat bursa saham. Investasi langsung itu sosoknya jelas, dan manfaatnya pun segera bisa dirasakan. Berbeda dengan investasi tak langsung, yang acap kali disebut sebagai investasi jangka pendek. Namun, dalam krisis berkepanjangan ini, jangankan investasi langsung, investasi tak langsung pun terpukul lesu berat. Apalagi setelah indeks harga saham gabungan (IHSG) meluncur ke bawah 500 poin, banyak pengamat berkesimpulan bahwa pasar modal Indonesia sudah kehilangan daya tariknya.
Dan memang, hal itulah yang mencengkeram Bursa Efek Jakarta belakangan ini. Soalnya, para investor asing, yang biasa memeriahkan lantai bursa dengan tawaran jual atau beli saham, sejak beberapa bulan lalu secara bertahap meninggalkan Indonesia. Seperti gerombolan unggas di musim dingin, mereka terbang mencari lahan lain yang lebih menyenangkan dan menguntungkan. Negara yang dituju adalah Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Cinasemua di Asia Timuryang ekonominya lebih menjanjikan.
Kepergian investor asing erat kaitannya dengan iklim investasi di Indonesia. Mereka agaknya waswas karena setelah dua tahun, negeri ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda awal dari proses pemulihan ekonomi. Kenyataan yang suram itu diperburuk oleh gonjang-ganjing di pentas politik. Akibatnya, risiko investasi menjadi lebih besar. Kalau menurut tamsil Laksono Widodo dari ING Baring, "Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya."
Kondisi makin parah lantaran melorotnya bobot saham di lantai bursa Jakarta, seperti yang bisa dipantau dari Morgan Stanley Capital Index (MSCI). Tanpa banyak cingcong, sejak awal Agustus lalu tiga sekuritas asing langsung menurunkan bobot investasi di Indonesia ke level nol. Ini berarti tiga sekuritas ituPT Credit Lyonnais Indonesia, PT ABN Amro, dan PT ING Baringbenar-benar hengkang dari bursa Jakarta. Kabarnya, "PT Jardine Flemming Indonesia juga tengah mempertimbangkan untuk mengambil langkah yang sama," ujar Presiden Direktur Investment & Business Advisory Specialist, Baradita Katoppo.
Kenyataan itu tak terlalu mengagetkan bagi Kepala Riset Nomura Securities, Goei Siauw Hong. Ia bahkan memastikan, sejak Februari dan Maret lalu, bobot investasi di sini memang sudah payah. Waktu itu angkanya cuma 1,5 hingga 1,6ini bobot yang sangat ringan untuk ukuran fund manager asing. "Tidak nyaman bagi para fund manager asing," ujarnya, "menginvestasikan uangnya pada pasar yang demikian kecil." Soalnya, bobot yang mungil membuat laba ikut mengerut. Apalagi pada saat yang bersamaan rupiah terpuruk, sehingga kapitalisasi dalam dolar makin kecil. "Ini yang menyebabkan jatuhnya nilai saham Indonesia sejak Maret, April, hingga Mei," Hong melanjutkan.
Dengan alasan yang sama, para fund manager asing itu juga menganjurkan untuk tidak membeli saham di Thailand dan Filipina. Pendeknya, Indonesia, Thailand, dan Filipina sudah keluar dari jangkauan radar mereka. "Kita sudah dilupakan sementara dari portofolio investasi saham," ujar Mirza Adityaswara, analis di sebuah sekuritas asing. Kalaupun ada saham Indonesia yang masih dilirik, ujarnya, paling-paling saham sektor makanan dan telekomunikasi.
Sekalipun suram, Laksono yakin kepercayaan pasar akan kembali bila pemerintah bisa menunjukkan kinerja yang oke. Untuk itu, ia berharap kabinet bisa kompak dan satu suara. "Jangan si A ngomong X, dan si B ngomong Y," ujarnya.
Langkah lain adalah mendorong perubahan utang perusahaan menjadi penyertaan modal alias debt-to-equity swap. Soalnya, sejak krisis merebak, banyak perusahaan yang masih digelayuti utang nilai ekuitasnya merosot tajam. Nah, bila utang tersebut bisa diubah menjadi saham, nilai perusahaan akan naik dan kapitalisasi pasar pun terdongkrak. Namun, harus diakui, proses ini tidak mudah. "Tergantung perundingan antara debitor dan kreditor," ujar Hong.
Upaya mendongkrak bobot saham di MSCI sebenarnya bisa dilakukan dengan menyediakan lebih banyak saham bagi publik. Untuk itu, ujar Hong, pemerintah bisa membuat peraturan yang mengarahkan peningkatan saham yang tersedia untuk publik. Pemerintah juga dapat memberi insentif agar pemegang saham mayoritas mau melepaskan sahamnya, sehingga otomatis terjadi peningkatan jumlah saham yang beredar. Langkah ini akan membuat bobot saham di MSCI, dan pada gilirannya di Indonesia, melonjak.
Kini layak dipertanyakan, apakah pemerintah mampu memenuhi harapan itu? Kemampuan itu diragukan. Sebab, jangankan bertindak memulihkan kepercayaan pasar, memahami masalahnya pun belum. Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, yang dihubungi TEMPO, misalnya, mengaku ia tidak tahu tentang merosotnya bobot investasi di Bursa Efek Jakarta. "Saya belum tahu sama sekali apa artinya, dampaknya, dan sebagainya," begitu Prijadi berkomentar, seadanya.
Nugroho Dewanto, Dwi Wiyana, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo