Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUKAN palu Wakil Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Said Abdullah menjadi jalan tengah dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis petang pekan lalu. Said dan anggota Badan Anggaran lain sepakat target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara perlu diturunkan. "Apa boleh buat, memang tidak bisa diotak-atik lagi?" kata Said setelah mengambil keputusan.
Hasil rapat memutuskan angka penerimaan negara nonpajak untuk pertambangan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan menjadi Rp 30,1 triliun saja-turun dari target awal tahun yang dipatok di angka Rp 40,8 triliun. Dalam nota keuangan RAPBN-P 2016, pemerintah sebenarnya mengusulkan target penerimaan negara bukan pajak pertambangan umum hanya Rp 16,54 triliun. Ini jauh lebih kecil dari angka yang disepakati di Badan Anggaran. Alasannya, bisnis di sektor ini sedang lesu. "Harga turun, permintaan juga turun," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono.
Tapi informasi dari seorang pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan penurunan target penerimaan tak semata-mata karena alasan kondisi bisnis pertambangan. "Menagih royalti tak semudah yang dibayangkan. Hambatannya banyak," katanya.
Pejabat tadi menuturkan, untuk mengejar target awal sebesar Rp 40,8 triliun, Direktorat Pertambangan sudah melakukan upaya optimal. Salah satunya menyiapkan langkah untuk optimalisasi penerimaan royalti dan mempercepat proses penyelesaian piutang iuran-iuran lain dari perusahaan tambang kepada pemerintah.
Jumlah piutang royalti dan iuran ini tidak main-main. Dalam rapat koordinasi dan supervisi sektor energi yang digelar di sejumlah daerah, setidaknya sudah empat kali Bambang Gatot menyebutkan angka piutang perusahaan tambang kepada pemerintah.
Terakhir, dalam rapat supervisi di Palembang, 11 Mei lalu, Bambang dengan jelas menayangkan presentasi yang mencantumkan jumlah piutang pelaku usaha ke negara mencapai Rp 25 triliun. "Angka ini termasuk batu bara, mineral, ataupun tambang-tambang di daerah," ucap Bambang.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini menyebutkan Rp 18 triliun dari jumlah piutang merupakan tagihan yang belum dibayar oleh 74 perjanjian karya pengusaha batu bara (PKP2B) dan 35 kontrak karya sejak beberapa tahun lalu.
Menurut seorang pemerhati pertambangan yang kerap mengikuti rapat koordinasi di sektor ini, masalah paling pelik yang sering dikeluhkan para pejabat direktorat adalah penagihan royalti kepada para pemegang kontrak PKP2B. "Dari jumlah piutang tadi, mayoritasnya tagihan ke PKP2B," ujarnya.
Para penambang batu bara ini, menurut dia, enggan membayar tagihan dengan alasan restitusi pajak mereka belum dikembalikan oleh pemerintah. "Mereka tidak mau bayar royalti kalau pemerintah belum mengembalikan kelebihan pajak yang mereka setor," katanya.
Bambang Gatot tidak menjawab tegas saat dimintai konfirmasi untuk masalah ini. Ia menyebutkan Kementerian Energi dan Kementerian Keuangan berusaha berkoordinasi menyelesaikan masalah yang terakumulasi sejak 2007. Hal ini, menurut dia, terjadi karena ada kontrak yang berbeda dari tiap pelaku usaha.
SALAH satu perusahaan batu bara yang tercatat belum menyetor royalti ke negara adalah PT Adaro Indonesia. Perusahaan ini tercatat memiliki utang pembayaran royalti hingga Rp 1,23 triliun. Angka ini merupakan rekor tertinggi dari 74 PKP2B yang ada di dalam daftar.
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Febrianti Nadira membantah kabar yang menyangkut bisnis anak usaha perusahaannya itu. "Adaro telah membayar kewajiban royalti sesuai dengan PKP2B dan tidak menahan pembayaran ke pemerintah," katanya.
Ira-sapaan akrab Febrianti-mengatakan penahanan royalti lebih banyak dilakukan oleh PKP2B generasi ketiga. Sedangkan Adaro, menurut Ira, masuk PKP2B generasi pertama. "Semua sudah kami cantumkan di laporan keuangan secara terbuka," ujarnya. "Kalau belum bayar royalti, pasti kami tidak bisa melakukan ekspor."
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia membenarkan kabar bahwa sejumlah anggota asosiasinya belum membayar royalti karena urusan pajak yang belum selesai.
Hendra menjelaskan, perkara ini bermula sejakPeraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 terbit. Peraturan ini menyatakan batu bara tidak termasuk barang kena pajak.Aturan ini bertentangan dengan ketentuan kontrak PKP2B generasi III, yang rata-rata diteken pada 1997. Kontrak ini menyebutkan batu bara dikenai pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yakni pajak pertambahan nilai.
Peraturan pemerintah ini, kata Hendra, memercikkan multitafsir di kalangan aparat pajak. Akibatnya, ada kantor wilayah pajak yang membolehkan kontraktor merestitusi pajak. Namun ada yang juga yang menolak sehingga menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha. "Jumlahnya besar. Bahkan ada satu perusahaan yang restitusinya bisa mencapai Rp 1 triliun," ujar Hendra.
Menurut dia, ketidakpastian ini terjadi berlarut-larut selama bertahun-tahun. Pemerintah tidak memberi kepastian hukum dan perlakuan sama bagi para pelaku usaha. Kewajiban pemerintah yang tertunda ini bersinggungan dengan kewajiban perusahaan membayar royalti. "Pasal perjumpaan utang itu yang dipakai pelaku usaha," kata Hendra. Pelaku usaha meminta kewajibannya membayar royalti dikurangi dari kewajiban pemerintah yang belum dipenuhi.
Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay Aryanto Nugroho menyayangkan terjadinya sandera royalti oleh kontraktor tambang akibat penundaan restitusi. "Sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah tegas. Apalagi kanal penerimaan pajak dan royalti berbeda," ucap Ary.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan institusinya sedang mendiskusikan sengketa pajak ini. Namun, ia menegaskan, Direktorat Jenderal Pajak memiliki dasar hukum yang jelas untuk menahan restitusi para pelaku usaha.
DARI piutang negara sebesar Rp 25 triliun, ada tagihan yang tak dibayarkan oleh pelaku usaha kontrak karya dan izin usaha pertambangan (IUP) di daerah. Status kewajiban pembayaran iuran dari 35 pelaku usaha kontrak karya yang tertunda hingga 4 Mei 2016 sekitar US$ 21 juta. PT Newmont Nusa Tenggara tercatat penunggak paling besar dengan jumlah US$ 16 juta atau sekitar Rp 212,96 miliar.
Juru bicara Newmont, Rubi Purnomo, menolak jika perusahaannya disebut sebagai penunggak royalti. "Tidak benar," katanya. Menurut Rubi, hingga Maret lalu, Newmont sudah menyetor kewajiban kepada negara Rp 34,7 triliun untuk pajak, royalti, ataupun iuran lain sejak awal operasi hingga Desember 2015. "Kami membayar royalti tahun lalu Rp 1,04 triliun."
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association Syahrir A.B. mengetahui kabar banyaknya kontrak karya yang menunggak royalti dan iuran. "Terjadi perbedaan tafsir antara pemerintah dan pengusaha," ujarnya.
Menurut Syahrir, perbedaan tafsir terjadi sejak Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 terbit. Peraturan ini mengatur jumlah persentase kenaikan royalti. Pemerintah meminta royalti emas naik menjadi 3,75 persen, perak menjadi 3,25 persen, dan tembaga menjadi 4 persen. Pemerintah menganggap belum dipenuhinya ketentuan ini sebagai piutang yang harus dibayar kontraktor. "Tapi kenaikan itu sepihak karena renegosiasi belum selesai" kata Syahrir. Menurut dia, perubahan kontrak karya harus ada kesepakatan dua belah pihak.
Staf Khusus Menteri Energi Said Didu mengatakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak di sektor tambang memang banyak tantangan. Ini belum termasuk penarikan piutang dari sejumlah pelaku usaha IUP yang mencapai Rp 7 triliun. "Potensi penerimaan memang besar, tapi eksekusinya susah. Terutama di daerah, karena kami tidak punya tangan sendiri," ujarnya.
Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian saat ini adalah membentuk direktur baru khusus menangani PNBP. "Sudah disetujui dan akan segera lelang untuk memilih direkturnya," kata Bambang Gatot.
Ia berharap pembentukan direktur baru membuat upaya pungutan PNBP lebih terfokus dan lebih cepat mengatasi kendala yang terjadi saat ini.
Gustidha Budiartie, Ghoida Rahmah, Destrianita Kusumastuti
Total Piutang Pelaku Usaha Tambang Rp 25 Triliun
Rincian 74 PKP2B:
-9 PKP2B Generasi I
-13 PKP2B Generasi II
-52 PKP2B Generasi III
5 Besar Penunggak Royalti
Kondisi Pertambangan Terakhir
Jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) per Februari 2016
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo