Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suhu politik boleh memanas menjelang pemilihan umum, tapi iklim ekonomi justru terasa semakin adem. Buktinya, Rabu pekan lalu bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk periode satu bulan kembali turun. Kali ini menjadi 7,86 persen, dari sebelumnya 8,06 persen. Pusat Informasi Pasar Uang melansir dana yang dapat diserap pada lelang hari itu mencapai Rp 55 triliun.
Hari-hari ini pasar memang sedang kebanjiran duit. Pekan lalu, banyak investor yang baru memanen pembayaran kupon ataupun pokok obligasi pemerintah yang jatuh tempo sebesar Rp 7 triliun. Bank-bank pun kelebihan uang karena masih kesulitan menyalurkan dana ke sektor riil. Kondisi ini memaksa mereka ramai-ramai memborong SBI, meski bunga terus menurun.
Belum lagi para nasabah kakap, yang tadinya menyimpan duitnya dalam bentuk deposito di bank-bank, sekarang ikut berburu SBI. Deposito, buat mereka, rupanya tak lagi menjadi wahana investasi yang menggiurkan. "Bagi mereka, deposito sekarang cuma berfungsi untuk transit arus kas," kata Kahlil Rowter, Kepala Riset PT Mandiri Sekuritas.
Lalu, mengapa data Bank Indonesia menunjukkan dana pihak ketiga di bank terus meningkat? "Itu karena bunga berbunga, bukan karena adanya deposito baru," kata Kahlil dengan yakin.
Para ekonom yang sebelumnya meramalkan bunga SBI akan membubung gara-gara demam pemilu pun terpaksa harus menelan kembali omongannya.
Suasana menjelang pemilu ternyata tak cukup panas untuk menyulut inflasi. Uang di tangan masyarakat memang meningkat. Tapi itu lebih untuk berjaga-jaga, bukan untuk berbelanja. "Masuk masa kampanye, biasanya situasi menjadi tak pasti. Saya harus siap uang kas lebih untuk mengantisipasi kalau ada apa-apa," kata Rosa, seorang wiraswastawati di Jakarta.
Kalaupun permintaan barang meningkat gara-gara pemilu, hal itu tak seketika mendorong naiknya harga. Maklum, di negeri dengan aneka tata niaga dan menjamurnya penyelundupan ini, pasokan barang senantiasa tersedia dalam jumlah melimpah. Alhasil, permintaan dan penawaran barang selalu bertemu dalam titik keseimbangan.
Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, berharap penurunan bunga SBI itu bisa membawa angin segar bagi perekonomian. Aslim Tadjudin, Deputi Gubernur BI, bahkan menyalakan tekad menjaga suku bunga SBI tetap rendah agar sektor riil dapat tumbuh dan bergerak. Sebuah harapan yang masuk akal. Selama angka inflasi masih di bawah 6 persen, rasanya memang tak ada alasan untuk menaikkan bunga SBI.
Bukan cuma sektor riil yang bakal kesetrum gara-gara penurunan SBI. Rendahnya bunga juga memicu kegairahan bagi pelaku pasar uang dan saham. Investor melihat ada kesempatan untuk mendapatkan capital gain, karena peluang penurunan bunga SBI masih terbuka kendati tak setajam tahun lalu.
Anton H. Gunawan, ekonom Citigroup Indonesia, berharap suku bunga SBI terus turun dan permintaan atas obligasi pemerintah oleh reksadana, dana pensiun, dan investor asing meningkat. Dengan demikian, dalam tiga bulan ia memperkirakan keuntungan surat utang jangka menengah pemerintah bisa mencapai 10,75 persen.
Bagi dana pensiun, surat utang pemerintah merupakan alternatif investasi yang menjanjikan. Terutama bila penjaminan deposito oleh pemerintah kelak berakhir.
Para pemain di lantai bursa juga tak mau ketinggalan kereta. Rendahnya keuntungan di SBI meletikkan harapan sebagian investor akan memindahkan portofolionya ke saham. "Terutama mereka yang berprinsip high risk, high return," kata Kahlil Rowter.
Nah, siapa bisa mengira bisnis ternyata masih bisa semanis madu menjelang pemilu?
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo