Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Bebas Sudah Terbuka

BPPN melekatkan predikat kooperatif terhadap Sjamsul Nursalim. Layakkah pendiri Gajah Tunggal Group ini mendapat surat lunas?

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun monyet baru saja berjalan hari, tapi berkah melimpah telah menaungi Sjamsul Nursalim. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menghadiahi Sjamsul status debitor kooperatif lantaran dia dianggap telah memenuhi kewajibannya dalam master of settlement and acquisition agreement (MSAA). Surat lunas, tiket bagi keluarnya release and discharge (pelepasan dari tuntutan hukum), pun terbayang di pelupuk mata Sjamsul. Nasib baik ini berkebalikan dengan yang diprediksi para peramal Cina. Mereka yang ber-shio Kuda diramalkan bakal menghadapi hari-hari yang melelahkan sepanjang tahun ini. Sjamsul lahir pada 1942 dan ber-shio Kuda.

Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Investasi, Taufik Mappaenre Ma'roef, membetulkan hal itu. "Mereka yang sudah melunasi kewajiban MSAA pantas mendapat surat keterangan lunas, termasuk Sjamsul," kata Taufik kepada Koran Tempo. Sjamsul tinggal selangkah lagi mendapatkan surat tersebut. Dia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 50 miliar sebelum mengantongi surat tersebut.

Kabar mengenai lempengnya jalan Sjamsul untuk mendapatkan surat lunas pertama kali tersibak oleh sebuah dokumen BPPN yang didapat Koran Tempo. Isinya, BPPN tengah mengkaji kesesuaian pemenuhan kewajiban bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu dengan yang diatur dalam MSAA. Sjamsul tersangkut perkara ini setelah BDNI mendapatkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sampai Rp 37 triliun—terbesar di antara bank penerima BLBI. Dan setelah penghitungan, Sjamsul punya kewajiban membayar Rp 28,4 triliun.

Pihak Sjamsul enggan mengomentari panjang-lebar surat lunas. Mereka hanya menyebut bahwa surat lunas belum pernah sampai ke atas meja mereka hingga akhir pekan lalu. "Kalau benar (Sjamsul) mendapat surat bebas, itu berita bagus," kata Marcello, staf di Divisi Komunikasi Gajah Tunggal Group.

Gelagat lepasnya Sjamsul dari jerat hukum mulai teraba ketika istrinya, Itjih Nursalim, meneken letter of undertaking (surat penyerahan aset pelunasan utang) dengan BPPN pada akhir 2002 lalu. Surat itu bisa disebut sebagai antiklimaks dari adu ngotot antara BPPN dan Sjamsul tentang aset dan kekurangan jumlah tunai yang harus disetor Sjamsul. Di satu pihak, BPPN menganggap Sjamsul baru membayar sekitar Rp 572 miliar dari seharusnya Rp 1 triliun dan nilai aset yang diserahkannya juga merosot jadi cuma Rp 5,83 triliun dari nilai awal Rp 27,5 triliun.

Dengan Itjih meneken surat kesanggupan, praktis jalan Sjamsul untuk mendapatkan release and discharge makin terbuka. Dan kebetulan, bersamaan dengan "sikap patuh" Sjamsul, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan instruksi presiden (inpres) tentang pemberian release and discharge bagi konglomerat bermasalah. Inpres inilah yang kemudian "mempermudah" penyelesaian utang para konglomerat pemilik bank ini. Dalam kasus Sjamsul, secara tersirat BPPN mengakui bahwa taipan kelahiran Lampung itu sudah menyelesaikan utangnya kendati nilai asetnya ambrol.

Kendati jalan Sjamsul mendapatkan surat lunas terlihat mulus, ini bukan berarti Sjamsul bisa melenggang begitu saja. Sejak tahun 2001, status hukum Sjamsul Nursalim tetap sebagai tersangka. Namun, sejauh ini, status itu cuma jadi pajangan. Sjamsul tak pernah lagi menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung. Meskipun dicegah ke luar negeri, Sjamsul bisa berobat ke Jepang dan kemudian ke Singapura setelah mengaku sakit. Sampai kini, Sjamsul tinggal di Singapura. Tak jelas apa yang membuat Sjamsul bisa bebas, sementara banyak bankir mesti berurusan dengan pengadilan dan sebagian malah sudah masuk tahanan.

Selain itu, kasus Sjamsul masih menyimpan bom waktu, yakni soal nilai aset. Sinyal peringatan atas nilai aset ini dikumandangkan Komite Pengawas (Oversight Committee) pada awal tahun lalu. Komite yang dipimpin Mar'ie Muhammad itu meminta BPPN memperluas cakupan uji tuntas keuangan atas aset-aset yang diserahkan Sjamsul. Tujuannya apa lagi kalau bukan mempertajam daya endus BPPN atas busuk-tidaknya aset yang diserahkan Sjamsul. Tanpa perluasan uji tuntas itu, Komite Pengawas mengingatkan, nilai aset Sjamsul bisa berisiko anjlok sampai di bawah 10 persen.

Sayang, BPPN bergeming. Uji tuntas yang dilaksanakan Ernst and Young, konsultan BPPN, tak memasukkan metode yang diminta Komite Pengawas. Tak aneh jika tak secuil pun misrepresentasi yang ditemukan. Aset Sjamsul bahkan dinilai lebih tinggi US$ 1,3 juta daripada utang yang masih harus ditutup dengan aset senilai Rp 27,4 triliun. Soal benar-tidaknya nilai itu, hanya sang waktu yang tahu. Yang pasti, BPPN memilih cara yang istimewa untuk menangani Dipasena, salah satu aset yang diserahkan Sjamsul, senilai Rp 20 triliun. Alih-alih dijual seperti aset yang lain, BPPN menyatakan, Dipasena perlu dirawat lebih dulu agar nilai jualnya terdongkrak.

Seperti telah luas diketahui, tambak terpadu ini sempat mandek pada tahun 2000. Pemicunya saat itu adalah ketidakpuasan petani atas ketidakjelasan penghitungan utang yang harus mereka tanggung. Baru di pertengahan tahun silam, Dipasena kembali berbenah. Dan Mandiri Sekuritas turun tangan dengan membeli surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) yang dikeluarkan Dipasena senilai Rp 50 miliar pada November silam. Surat berharga yang dijamin dengan hasil ekspor Dipasena itu dikenai bunga 17,75 persen. Bagi perusahaan sehat, pinjaman itu mungkin kelewat mahal. Namun, bagi Dipasena, yang masih terbelit utang, angka itu tetap istimewa.

Pembelian itu kemudian dikaitkan dengan Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati. Mandiri Sekuritas membantah adanya praktek injak kaki berkaitan dengan pengucuran pinjaman ke Dipasena. "Dasar pemberian fasilitas itu semata-mata komersial," ujar Zulfikar, Corporate Secretary Mandiri Sekuritas. Untuk meyakinkan bahwa pinjaman itu bukan pesanan, Zulfikar menyebut bahwa fasilitas MTN itu telah digarap sejak Juli tahun silam.

Meskipun demikian, yang tak bisa dimungkiri adalah jaminan Taufiq Kiemas atas petambak plasma Dipasena sehingga mereka akan mendapatkan pinjaman Rp 450 miliar dari Bank Mandiri. "Anda nilai sendiri Dipasena perlu dibantu atau tidak," katanya ketika berkunjung ke Dipasena awal Januari lalu. Namun Taufiq Kiemas membantah uluran tangannya itu terkait dengan rencana pemerintah memberikan release and discharge kepada Sjamsul. "Itu urusan orang lain," katanya. Susahnya, peristiwa itu sering seperti sekeping mata uang: dua sisinya berbeda, tapi wujudnya satu.

Thomas Hadiwinata, Retno Sulistyowati (TNR), Fadilasari (Lampung)


Bersiasat dengan Hukum

MENGIKUTI kisah Sjamsul Nursalim, selama lima tahun terakhir tak ubahnya menelusuri hukum yang berliku. Kendati menyandang status tersangka korupsi, toh Sjamsul bisa hidup tenang di Singapura tak tersentuh. Hati mereka yang menunggu datangnya keadilan kian teriris karena pemerintah akan segera memberikan sepucuk surat lunas kepada Sjamsul. Berikut ini lika-liku Sjamsul bersiasat dengan hukum.

Agustus 1998
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dibekukan pemerintah. "Kasir" Grup Gajah Tunggal ini mewariskan utang bantuan likuiditas BLBI sedikitnya Rp 28,4 triliun bagi Sjamsul Nursalim.

September 1998
Sjamsul menandatangani perjanjian master of settlement and acquisition agreement (MSAA) dengan BPPN. Inti perikatan itu adalah Sjamsul harus melunasi utang secara tunai sebesar Rp 1 triliun dan sisanya ditutup dengan aset. Tunas Sepadan Investama dibentuk sebagai perusahaan induk yang mengelola aset pelunasan utang Sjamsul senilai Rp 27,4 triliun, yang terbesar PT Dipasena Citra Darmaja senilai Rp 20 triliun.

Oktober 2000
Jaksa Agung Marzuki Darusman menjadikan Sjamsul tersangka kasus korupsi dana BLBI sebesar Rp 7 triliun. Namun selang beberapa hari, Presiden Abdurrahman Wahid justru meminta penundaan proses hukum terhadap Sjamsul, Marimutu Sinivasan, dan Prajogo Pangestu, dengan alasan ketiganya merupakan penggerak ekspor nasional.

November 2000
Pemerintah mengkaji kembali perjanjian MSAA para debitor kakap, termasuk Sjamsul. Dalam skema baru, mereka diminta menyerahkan jaminan pribadi untuk menambal kekurangan nilai aset yang telah diserahkan. Sjamsul bersama Liem Sioe Liong dan Bob Hasan menyerahkan surat kesanggupan penyetoran aset tambahan kepada BPPN sehari sebelum batas waktu yang ditetapkan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, 15 November. Namun Sjamsul juga menuntut agar jangka waktu pelunasan utangnya dalam skema baru diperpanjang menjadi 10 hingga 12 tahun.

April 2001
Sjamsul mulai diperiksa di Gedung Bundar (Kejaksaan Agung). Namun proses hukum Sjamsul terpotong setelah ia diizinkan berobat ke Jakarta, Tokyo, hingga Singapura. Di Negeri Singa itulah, Sjamsul bersembunyi hingga kini. Kejaksaan Agung tak pernah lagi mengungkit kasusnya.

Januari 2002
Kepala BPPN Putu Ary Suta melempar gagasan perpanjangan waktu pelunasan utang konglomerat. Gagasan nyeleneh itu sontak ditolak. BPPN pun membentuk tim bantuan hukum untuk meninjau proses pelunasan utang BLBI para pemilik bank bermasalah.

Juni 2002
Tim bantuan hukum BPPN menyimpulkan Sjamsul cedera janji. Untuk itu, pemerintah diminta mengambil tindakan tegas terhadap Sjamsul, termasuk menuntut secara pidana. Sjamsul dinilai cedera janji karena belum memenuhi kewajiban menyetor dana tunai Rp 1 triliun. Ia juga ditengarai sengaja menghalangi proses balik nama saham perusahaan yang dijaminkan, sehingga aset-aset itu tak bisa dijual.

Desember 2002
Presiden menerbitkan instruksi presiden mengenai tata cara pemberian release and discharge (R&D) bagi para konglomerat penunggak utang. Muncul perdebatan tentang kepantasan pemberian R&D bagi penandatanganan MSAA yang cedera janji, seperti Sjamsul. Pada bulan yang sama, BPPN mengaku telah meneken letter of undertaking (surat serah terima aset pelunasan utang) dengan Sjamsul. Antiklimaks dari perdebatan panjang tentang rendahnya nilai aset yang diserahkan Sjamsul ke pemerintah.

Februari 2003
Komite Pengawas memperingatkan BPPN bahwa tingkat pengembalian yang mereka peroleh dari utang Sjamsul Nursalim bisa jeblok di bawah 10 persen.

Juli 2003
BPPN menyatakan akan menghidupkan kembali Dipasena untuk mengatrol nilai jual tambak udang. Untuk itu, BPPN menyebut akan mengupayakan pinjaman bank bagi tambak terpadu yang sempat vakum beroperasi akibat perselisihan dengan para petambak.

Januari 2004
Beredar kabar Sjamsul bakal mendapatkan surat lunas. Berbarengan dengan itu, Bank Mandiri akan mengucurkan kredit untuk petambak plasma Dipasena senilai Rp 450 miliar. Taufiq Kiemas ikut menjamin kredit tersebut.

Sumber: Riset Majalah TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus