Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Mahasiswi PPDS Undip Tewas Diduga Korban Perundungan, Ini Reaksi Kampus sampai Kemenkes

Seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) FK Undip Semarang ditemukan tewas di kamar kosnya, diduga korban perundungan.

15 Agustus 2024 | 15.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gedung Rekrorat Undip Semarang. ANTARA/I.C. Senjaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus tewasnya seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menarik perhatian. Polisi menyelidiki kematian ini karena ada dugaan akibat bunuh diri dan perundungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kita selidiki dulu, karena ada informasi yang bersangkutan sakit," kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang Kompol Andika Dharma Sena di Semarang, Rabu, 14 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AR ditemukan tewas di kamar kosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin lalu, 12 Agustus 2024. Kamar indekos dalam kondisi terkunci saat korban ditemukan.

Menurut Kantor Berita Antara, dari informasi yang dihimpun, korban meninggal dunia akibat suntikan obat ke tubuhnya. Disebutkan juga korban diduga mengakhiri hidup akibat menjadi korban perundungan saat menjalani pendidikan.

Terkait dengan kabar itu, Kasat Reskrim Andika Dharma Sena mengatakan masih akan mendalami informasi tersebut. "Masih kami cek, benar atau tidak," tambahnya.

Universitas Diponegoro membantah kematian AR, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran,  diduga bunuh diri karena dipicu masalah perundungan.

"Berdasarkan hasil investigasi internal kami, hal tersebut tidak benar," kata Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip, Utami Setyowati, saat menyampaikan tanggapan tertulis Rektor Undip di Semarang, Kamis, 15 Agustus 2024.

Menurut dia, almarhumah merupakan mahasiswi yang berdedikasi terhadap pekerjaannya, namun memiliki permasalahan kesehatan yang memengaruhi proses belajar.

Meski demikian, kata dia, Undip tidak bisa menjelaskan lebih detil mengenai masalah kesehatan yang dialami korban.

Ia menuturkan, mahasiswinya itu sempat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri akibat kondisi tersebut.

"Namun almarhumah mengurungkan niat karena secara administratif terikat pada ketentuan penerima beasiswa," katanya.

Meski demikian, menurut dia, Undip sangat terbuka dengan fakta lain di luar hasil investigasi yang telah dilakukan.

"Undip siap berkoordinasi dengan pihak manapun untuk menindaklanjuti tujuan pendidikan dengan menerapkan 'zero bullying' di Fakultas Kedokteran," katanya.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mendorong aparat penegak hukum mengusut secara tuntas kasus tersebut.

"Miris mendengar berita di kampus seperti ini. Dulu kita pernah dengar, (di) STPDN (ada) perilaku kekerasan senior kepada yunior sampai ada korban. Sekarang, kita mendengar FK yang konon sudah dari dulu seperti ini, bahkan tidak hanya (terjadi) di satu kampus ini saja. Segera usut tuntas kasus ini," kata Fikri dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan apabila korban bunuh diri karena perundungan, aparat penegak hukum harus memberikan efek jera kepada pelaku.

Tidak ingin korban perundungan semakin banyak berjatuhan, Fikri juga mendorong pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait untuk membenahi seluruh sistem manajemen perguruan tinggi. Menurut dia, pendidikan Indonesia tidak akan bisa melahirkan generasi yang menerapkan penuh nilai-nilai Pancasila, tanpa pembenahan tersebut.

Ia pun memandang pembentukan satuan tugas khusus menangani perundungan bernilai penting untuk dibentuk.

“(Perundangan) ini tidak manusiawi di seluruh Indonesia. Kembalikan pendidikan yang humanistik dan sesuai budaya Indonesia yang sopan dan religius saling menghormati. Karena ini sudah lama dan membudaya, penyelesaiannya harus sistemik dan berkelanjutan dilakukan oleh satgas khusus. Ini darurat,” kata dia.

Berikutnya: Kementerian Kesehatan hentikan sementara program studi anestesi RSUP Kariadi

Kementerian Kesehatan menyatakan pihaknya bergerak cepat dan tegas mengusut kasus dugaan bunuh diri itu. "Untuk memastikan apakah ini ada unsur bullying atau tidak. Mudah-mudahan dalam seminggu ini sudah ada hasilnya," kata Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi.

Ia mengatakan, pembinaan dan pengawasan PPDS ada pada Pendidikan Dokter Spesialis FK Undip, bukan pada Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi. Namun demikian, Kemenkes tidak bisa lepas tangan, karena yang bersangkutan juga menempuh pendidikannya di lingkungan RSUP Kariadi sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemenkes.

"Investigasi Itjen mencakup kegiatan almarhumah selama di Rumah Sakit Kariadi," ujar dia

Selain itu, Nadia mengatakan kegiatan PPDS Anastesi Undip di RSUP Kariadi dihentikan sementara guna memastikan investigasi dapat dilakukan dengan baik, termasuk mencegah risiko intervensi dari senior dan dosen kepada juniornya, serta memperbaiki sistem yang ada.

"Kemenkes tidak sungkan melakukan tindakan tegas seperti mencabut SIP dan STR bila ada dokter senior yang melakukan praktik bullying yang berakibat kematian," kata dia.

Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai pembina Undip, juga dengan Dekan FK Undip dalam melakukan investigasi ini.

Nadia mengatakan, pihaknya juga meminta Undip dan Kemendikbud untuk turut membenahi sistem PPDS.

Menyusul kejadian tersebut, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya memberikan surat pemberhentian sementara program studi anestesi kepada RSUP Kariadi guna investigasi.

Praktik Senioritas dalam Profesi Dokter

Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur posisi pemerintah yang memiliki kendali soal kemungkinan terjadinya praktik senioritas dalam profesi dokter.

"Sekarang kan ada undang-undang yang baru, Undang-Undang Kesehatan yang baru 'kan posisi pemerintah sangat kuat untuk bisa mengendalikan, membatasi kemungkinan terjadi praktik senioritas kompleks itu," kata Muhadjir saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis. 

Menurut Muhadjir, profesi dokter memang tidak bisa dihindarkan dari praktik senioritas karena berkaitan dengan uji kompetensi yang harus dilakukan oleh dokter senior.  

Di sisi lain, Muhadjir menilai semua pekerjaan profesi di luar profesi dokter, pasti menghendaki adanya struktur senioritas dan adanya hierarki di dalam struktur organisasi dalam profesi tersebut.  

Namun, ia menegaskan bahwa harus ada etika dan norma yang ditegakkan dalam pekerjaan profesi.

"Memang harus ada etika, ada norma yang betul-betul ditegakkan di dalam profesi-profesi itu, termasuk kedokteran," kata Muhadjir.

Pemerintah pun sudah meluncurkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang berbasis di rumah sakit agar bisa mempercepat dan membuka lebar kesempatan pada dokter untuk menjadi dokter spesialis.  

"Mudah-mudahan akan bisa mempercepat dan juga semakin lebar lapangan peluang untuk dibuka itu bisa mengurangi beban stres dari mereka yang mengambil pendidikan spesialis," kata Muhadjir.

Pilihan Editor 
Kronologi Pro-Kontra Anggota Paskibraka Dilarang Berjilbab, Berakhir dengan Pernyataan Jokowi?

Jangan remehkan depresi. Untuk bantuan krisis kejiwaan atau tindak pencegahan bunuh diri di Indonesia, bisa menghubungi : Yayasan Pulih (021) 78842580

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus