Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Majalah untuk menyentuh umat

Majalah "amanah" untuk terbitan perdana dengan oplah 50 ribu eksemplar. dengan modal rp 250 juta & didukung 10 tenaga wartawan serta 20 karyawan. berisi 30% ajaran islam langsung, sisanya artikel populer. (md)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKMAN Umar menetaskan majalah baru lagi. Belum lagi tiga bulan majalah Kartini kembali ke pangkuannya, pertengahan bulan ini satu majalah lagi dilepaskannya ke pasar: Amanah. Sasaran media baru Lukman ini tetap keluarga, seperti yang biasa ia lakukan dengan Kartini atau Sarinah dan Asri, dulu. Tapi kali ini bidikannya lebih spesifik: keluarga Islam. "Informasi-informasi yang diberikan majalah-majalah Islam masih kurang menyentuh umat," ujar Pemimpin Umum dan Pemimpin Usaha Kartini yang kini juga menduduki jabatan yang sama di Amanah. Lukman tak menjelaskan lebih terinci bagaimana resep "menyentuh"-nya itu. Tetapi melihat penerbitan perdana Amanah, pengalaman 12 tahun mengelola majalah wanita sangat berperan "Amanah itu mirip Kartini yang ditambah Islam," komentar Endang Basri Ananda, 44, Pemimpin Redaksi Kiblat, sebuah majalah Islam yang lain. Dibuka-buka sekilas, tata muka Amanah memang mirip Kartini, baik pemilihan tipografi maupun pembagian ruangnya. Rubrik-rubrik dan gaya penulisan kedua majalah itu juga senada. Misalnya rubrik Ya Ilahi, Ya Ilahi di Amanah mengingatkan orang kepada Pengalaman Sejati di Kartini. Cara penyajian artikelnya juga serupa. Cerita-cerita mengenai tokoh sama-sama bisa ditemukan di kedua majalah ini. Dan tentu saja porsi religius lebih mendapat tekanan di majalah baru ini. Seperti artikel tentang bekas gubernur Ja-Tim Mohammad Noor yang diberi Quran oleh tukang sapu yang dimuat di nomor perdana. Yang membedakannya dengan kakaknya adalah tidak, atau belum, adanya ruang mode -- yang bisa saja diisi busana Muslim dan ruang horoskop. Kehadiran Amanah yang ingin tampil populer, ringan, dan semarak disambut gembira dan sekaligus khawatir. Di pasaran ada beberapa majalah Islam yang sudah lebih dulu hadir, seperti Kiblat dan Panji Masyarakat. Kekhawatiran ini mungkin terdorong oleh kabar burung bahwa terbitnya Amanah didukung oleh MDI (Majelis Dakwah Islamiyah) Golkar, hingga potensi pembacanya cukup besar. Namun, Muzayyin Arifin, Sekretaris MDI Pusat, membantah. Meski Lukman Umar pengurus MDI yang duduk di bagian media massa, "Itu secara pribadi. Amanah tak terkait dengan organisasi apa pun. Hanya kebetulan saja kalau banyak orang MDI yang duduk di Amanah." "Kami tak merasa tersaing," ujar Endang dari Kiblat. Sebab, menurut dia, seatraktif apa pun majalah buatan Lukman Umar itu tak akan mempengaruhi medianya. "Kami mempunyai pembaca fanatik, yang belum puas bila belum membaca Kiblat," ujarnya sedikit berpromosi. Endang yakin benar potensi pembacanya yang fanatik itu. Tetapi selain itu, "Sebenarnya masih banyak lubang untuk menerbitkan majalah Islam." la memberi contoh majalah remaja Islam yang belum tergarap. "Orangtua Islam, meski membiarkan anaknya membaca Hai atau Bobo, tentu menginginkan juga anak-anak itu membaca majalah remaja Islam," ujarnya. Ia juga menunjuk jutaan umat Islam di Indonesia ini merupakan lahan yang layak buat digarap. Pendapat itu tak disepakati Rusydi Hamka. "Meski jumlah pendudukya puluhan juta, toh pers Islam juga tak maju-maju," kata Pemimpin Umum Panji Masyarakat itu. Ia tak jauh-jauh memberi contoh. Panji Masyarakat, majalah yang ia tangani hingga kini, mentok di oplah 40 ribu. "Sudah tak bisa naik lagi, meski berbagai upaya dilakukan," katanya. Namun, kondisi ini lebih maju dibanding tahun 1981, ketika hanya bersirkulasi 25 ribu, meski saat itu Panji Masyarakat masih mempunyai tokoh andalan: Buya Hamka. Ketika Hamka meninggal 1981, mau tak mau upaya pembaruan dilakukan, untuk mencari daya tarik baru. Lewat berbagai diskusi akhirnya diputuskan, "Porsi agama dan umum yang dulu 50: 50 diubah menjadi 30: 70," ujar Rusydi. Pembenahan lain: mengangkat artikel yang disukai kaum muda penghuni kampus. Lewat perubahan-perubahan itu, oplah bisa naik. Tetapi, "Langganan yang fanatik Buya pada berhenti," katanya. Resep menaikkan oplah terus diupayakan dengan bantuan sebuah lembaga riset. Hasilnya: pembaca ternyata menginginkan artikel-artikel yang "keras". Rusydi tidak bisa memenuhi karena, "Kami 'kan juga harus mendidik pembaca untuk berpikir jernih." Karena itu, Rusydi menganggap perkembangan pers Islam memang unik. Di sebuah kawasan yang mayoritasnya Muslim, media bernapaskan Islam ternyata tak begitu maju. Namun, ada yang berpendapat, mentoknya oplah Panji Masyarakat karena adanya anggapan majalah tersebut "masalah orang Muhammadiyah" -- meski akhir-akhir ini berusaha menampilkan tulisan tokoh-tokoh NU. Ada juga yang beranggapan, manajemen "pers Islam" perlu ditingkatkan. Munculnya Amanah, yang sepertinya tanpa cap ormas, karenanya merupakan uji coba yang menarik. Terbitan perdana majalah ini dilepas dengan oplah 50 ribu eksemplar. Dengan modal Rp 250 juta (80 persen saham dimiliki Lukman Umar dan Bram Tuapatinaya) dan didukung 10 tenaga wartawan serta 20 karyawan lain majalah ini agaknya siap bertarung merebut mangsa. Dengan 120 halaman beberapa di antaranya berwarna, majalah yang dijual Rp 1.500 itu, "Hanya berisi 30 persen ajaran Islam langsung, sisanya artikel populer," ujar H. Kafrawi Ridwan, pemimpin redaksinya, yang bekas Sekjen Departemen Agama. Kebijaksanaan itu ditempuh tentu dengan mempertimbangkan faktor pasar. "Kalau isinya agama murni, tentu kurang laku," ujar Kafrawi lagi. Dalam hal ini agaknya ia tak sepenuhnya benar. Ada majalah Al-Muslimun terbitan Yayasan Muttaqin, Surabaya. Meski berisi seratus persen masalah-masalah agama,,oplahnya bisa 25 ribu. Majalah bulanan ini "bisa memasukkan Rp 12 juta dari pelanggan," kata Tajuddin, pemimpin redaksinya. "Biasanya kelemahan pers Islam itu, manajemen ikhlas-ikhlasan, seperti mengurus ormas," ujar Endang. A. Luqman Laporan Biro Jakarta dan Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus