DAPUR rumah tangga dan restoran di Jepang dalam waktu dekat akan lebih dipanasi dengan LPG (liquefied petroleum gas) Indonesia. Itu bakal terjadi jika penjualan LPG sebesar 1,95 juta ton, yang kontraknya pekan lalu ditandatangani di Jakarta, ekspornya bisa dilakukan tepat akhir 1988 nanti. Menurut rencana, pengapalannya setiap tahun akan dilaksanakan dari Arun sebesar 1,6 juta ton dan Bontang sebesar 350 ribu ton. Dengan kontrak penjualan berjangka 10 tahun, kalau harga LPG diperhitungkan tetap US$ 100 per ton, maka pada 1989 kelak kantung pemerintah akan mendapat tambahan USS 195 juta. Tidak besar, tapi cukup untuk menambah jumlah dolar yang sudah diperoleh dari usaha ekspor LPG yang dirintis sejak empat tahun terakhir. Dari hasil pengilangan minyak Cilacap, Dumai, dan Balikpapan, antara lain, tahun lalu bisa diekspor LPG 635 ribu ton lewat Tanjung Uban -- sebagian di antaranya dijual ke Jepang (lihat Grafik). Namun, tidak seperti LNG (gas alam cair), usaha menjual LPG kabarnya harus melewati banyak jalan berliku. Semula dikabarkan tujuh perusahaan calon pembeli itu tidak menyetujui rumusan harga dan cara pembiayaan pembangunan kilang pembuat LPG, yang diajukan Pertamina sejak enam tahun lalu. Belakangan, disetujui rumusan harga ditetapkan berdasar harga LPG eks Arab Saudi. "Dan saya kira harga sampai di atas kapal (fob) akan beberapa dolar lebih tinggi dibandingkan LPG eks Saudi," kata Kazutaka Tsuda, Wakil Manajer Umum Nippon Petroleum Gas, salah satu perusahaan yang akan membeli 470 ribu ton LPG. Sayang, harga LPG di pasar dunia lagi jatuh. September lalu, harga eks Saudi masih US$ 206. Ketika harga minyak ambrol, harga bahan bakar ikutan hasil kilang minyak itu juga jungkir balik: dari US$ 180 (Maret) sampai akhirnya tinggal US$ 125 per ton (Mei). Dan sekarang, harga LPG untuk jenis propane dan propylene tinggal US$ 100, lalu jenis butane dan buretylene hanya US$ 95 per ton sampai di atas kapal. Harga itu jelas jauh berbeda dengan harga LPG yang bisa dijual Pertamina ke pasar lokal, yang pukul rata bisa mencapai US$ 320 per ton, atau Rp 4.800 per tabung dengan isi 13 kg. Tapi daya serap pasar lokal, karena mungkin kurang kampanye dan harga tabung bukan main mahalnya, sangat kecil. Tahun lalu pasar lokal hanya menyerap kurang dari 150 ribu ton. Pilihan akhirnya tinggal ke pasar ekspor -- meskipun harganya kurang menarik. Yang kemudian lama jadi ganjalan adalah cara pembiayaan pembangunan kilang penghasil LPG. Sekali ini pihak Exim Bank Jepang dan pelbagai lembaga keuangan di Jepang tak ingin meminta jaminan kepada Pertamina, yang dianggap sudah punya utang cukup besar kepada mereka, yaitu sekitar US$ 1,7 milyar untuk perluasan kilang LNG di Bontang dan Arun. Konsorsium lima sogo sosha (perusahaan dagang), yang anak-anak perusahaannya ikut membeli LPG, diminta turun tangan. Mula-mula kelima sogo sosha tadi -- Mitsubishi Shoji, Mitsui Bussan, Nissho Iwai, C. Itoh, dan Sumitomo Shoji -- membentuk sebuah perusahaan lembaga keuangan nonbank untuk menarik pinjaman dari Exim Bank. Lalu dipinjamkan ke Pertamina untuk membangun kilang LPG Arun, yang diduga akan menelan US$ 470 juta, dan Bontang yang memakan US$ 196 juta. Jadi, resminya, yang punya utang adalah konsorsium lima sogo sosha tadi. Tapi bagi Pertamina akibatnya sama saja: siapa pun yang memberi pinjaman, utang tetap saja utang. Kalau semua syarat pinjaman sudah disetujui, pekerjaan konstruksinya diharapkan bisa dimulai September atau Oktober mendatang. Kontraktor kilang LPG Arun, konon Chiyoda Chemical dan Mitsubishi Shoji, berharap bisa merampungkan pembangunannya Oktober 1988. Sedang Bontang diselesaikan Juli sebelumnya oleh konsorsium lima perusahaan, termasuk Mitsui dan C. Itoh. Kalau semua rencana itu tepat jadwal, Pertamina kemudian bisa membayar pinjamannya dengan hasil ekspor LPG. Harganya sendiri di masa depan masih tetap teka-teki. Tapi pasarnya di Jepang menjanjikan harapan bagus, mengingat lima tahun terakhir ini impor LPG negeri itu pukul rata mencapai 11 juta ton lebih -- sekitar separuhnya dipenuhi Saudi. Tahun ini, kebutuhan LPG Jepang diduga akan 16,2 juta ton, dan 1990 nanti menggelembung jadi 18,08 juta ton. Saingan terdekat bahan bakar ini adalah LNG. Di Jepang, LNG baru sekitar 20% digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, dan sekitar 78% digunakan untuk pembangkit listrik. Harganya, Mei lalu, cukup mahal: US$ 178 per ton. Sedang LPG, sudah sekitar 30% dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, pukul rata hanya berharga US$ 178 per ton. Tapi, untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan kuartal pertama 1989 yang akan mencapai 1.747 ribu ton, Jepang tidak ingin menggantungkan sebagian besar pemasokan LPG dari Timur Tengah. Indonesia kemudian didekati, sesudah dari Australia bisa diperoleh LPG setiap tahun 1,4 juta ton. "Indonesia dianggap mempunyai kemampuan memasok dalam jumlah stabil," kata seorang pejabat Idemitsu Kosan, yang akan membeli 280 ribu ton LPG dari sini. Eddy Herwanto, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini