Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembentukan holding BUMN panas bumi ditargetkan beres Agustus 2021.
Konsolidasi aset panas bumi PLN ke Pertamina Geothermal akan disusul penawaran umum perdana di akhir tahun.
Risiko tinggi mencuat di keuangan PLN akibat potensi kenaikan tarif beli listrik.
SEBUAH permintaan data kepada PT Indonesia Power memicu bara rencana penggabungan badan usaha milik negara sektor panas bumi. Kementerian Badan Usaha Milik Negara meminta anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) itu menyetorkan data teknis biaya operasional tujuh unit pembangkit listrik panas bumi (PLTP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia Power, lewat unit layanan pemeliharaan dan pengoperasian pembangkit listrik (POMU), mengelola tujuh unit PLTP dengan kapasitas total 375 megawatt. Tiga unit berlokasi di wilayah kerja panas bumi Kamojang, Kabupaten Bandung; tiga unit di Gunung Salak, Kabupaten Sukabumi; dan satu unit di Darajat, Kabupaten Garut. Kamojang POMU menyulap uap panas yang diisap dari perut tiga puncak gunung di Jawa Barat itu menjadi setrum bersih tanpa emisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen PLN dan Indonesia Power tidak menjelaskan detail alasan data itu diambil. Yang baru diketahui para pekerja bahwa hanya pembangkit-pembangkit panas bumi itu yang akan diserahkan kepada PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Cucu usaha PT Pertamina (Persero) ini menjadi calon holding BUMN panas bumi.
“Apakah teman-teman kami yang ada di sana akan tetap diambil sebagai pekerja?” kata Ketua Umum Persatuan Pekerja Indonesia Power (PPIP) Dwi Hantoro Sutomo lewat komunikasi virtual, Rabu, 4 Agustus lalu. “Info terbaru, tidak ada yang akan dijadikan pegawai di holding. Ini yang menjadi perhatian kami.”
Digelayuti kekhawatiran lain, seperti naiknya harga beli listrik panas bumi PLN, tiga serikat pekerja perusahaan setrum milik negara akhirnya menyurati Presiden Joko Widodo pada 26 Juli lalu. Serikat Pekerja PLN, PPIP, dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali mendesak pemerintah membatalkan rencana pembentukan dua holding baru di sektor pembangkitan, PLTP dan pembangkit listrik tenaga uap. Mereka juga meminta ancang-ancang Kementerian BUMN melepas sebagian saham kedua holding baru tersebut ke publik, lewat penawaran umum perdana (IPO) saham di bursa, tak dilanjutkan.
Serikat pekerja khawatir, jika rencana itu berlanjut, PLN harus membeli listrik lebih mahal dari dua holding baru tersebut. Dasar penghitungannya, dua holding baru itu tidak murni menjadi bagian dari Grup PLN. Separuhnya dikuasai publik, termasuk sektor swasta. “Pasti akan ada penyesuaian tarif karena ada badan swasta yang mencari keuntungan,” ucap Dwi Hantoro.
Kekhawatiran Dwi masuk akal. Implikasi terhadap potensi penyesuaian harga beli listrik itu—yang akan berdampak pada harga jual listrik ke masyarakat atau kompensasi pemerintah ke PLN—kini menjadi diskusi alot tiga kementerian yang berurusan dalam rencana pembentukan holding pembangkit, yakni Kementerian BUMN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Keuangan.
Diskusi tentang dampak tersebut rupanya jauh lebih rumit dibanding upaya pembentukan holding. Tak hanya menggabungkan aset-aset panas bumi yang dikuasai PLN, PGE sebagai induk baru juga akan menampung bisnis panas bumi PT Geo Dipa Energi, anak usaha Kementerian Keuangan yang beroperasi di wilayah kerja Dieng, Jawa Tengah; dan Patuha, Jawa Barat.
•••
PENGGABUNGAN bisnis pembangkit listrik tenaga panas bumi milik tiga perusahaan negara digeber sejak 12 Maret lalu. Kala itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir membentuk tim percepatan pengembangan bisnis geothermal Indonesia.
Manajemen proyek tim ini berasal dari direksi Pertamina, Perusahaan Listrik Negara, Pertamina Power Indonesia, Pertamina Geothermal Energy, dan Geo Dipa Energi. Dari Menteri Erick, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury, hingga Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rio Silaban menjabat di dewan pengarah.
Rencana integrasi tiga BUMN panas bumi ini sebetulnya agenda lama. Di era Menteri BUMN Rini Soemarno, pemerintah juga merancang pembentukan holding panas bumi. Namun PLN adalah kandidat utama induk perusahaan. Rencana ini mentok, tak terdengar kelanjutannya, sebelum dihidupkan lagi sejak awal 2021.
Pemerintah beralasan integrasi tiga BUMN itu diperlukan untuk mengejar target kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Pada 2020, kapasitas terpasang pembangkit EBT hanya 10.490 megawatt, sekitar 14 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional. Sedangkan pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23 persen pada 2025. Dibutuhkan tambahan kapasitas sampai 7.239 megawatt untuk mewujudkannya dalam waktu yang tersisa empat tahun.
Kawasan instalasi sumur panas bumi PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng, Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah. ANTARA/Anis Efizudin
Panas bumi sebetulnya telah teridentifikasi sebagai calon tumpuan pendorong kinerja EBT. Indonesia punya sumber daya panas bumi sebanyak 29,5 gigawatt dari 500 gunung api—127 di antaranya berstatus aktif. Sumber daya itu setara dengan 40 persen potensi panas bumi dunia. Bahkan sudah ada cadangan potensial setara 15.128 megawatt yang tinggal disulap menjadi setrum. Karakternya yang bisa beroperasi sepanjang hari, tak seperti energi surya yang hanya empat-enam jam per hari, menjadikan PLTP bisa diandalkan sebagai pembangkit tulang punggung sekaligus peaker yang diperlukan untuk menyangga beban puncak.
Sayangnya, pengembangan panas bumi berjalan bak keong. Seperti halnya di industri minyak dan gas bumi, bisnis listrik panas bumi paling berat di kegiatan hulu, pada proses eksplorasi dan pengeboran sumur-sumur geotermal. “Gambling-nya tinggi. Butuh dana besar buat pengeboran,” tutur anggota staf khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, lewat panggilan telepon virtual, Jumat, 6 Agustus lalu.
PGE berencana mengembangkan PLTP dengan kapasitas total 636 megawatt yang membutuhkan belanja modal Rp 48 triliun. PLN menyiapkan pengembangan pembangkit sampai 360 megawatt dengan biaya Rp 28 triliun. Adapun Geo Dipa berencana mengembangkan pembangkit hingga 530 megawatt dengan belanja Rp 25 triliun. Angka itu hanya rencana, tanpa pemerintah tahu kapan akan dieksekusi. “Belum tentu Pertamina atau PLN mau investasi besar-besaran di sana. Panas bumi itu hanya bisnis sambilan buat PLN dan Pertamina,” ujar Arya.
Liputan Tempo tentang tata kelola badan usaha milik negara sektor energi ini terselenggara dengan dukungan Judith Neilson Institute.
Dalam webinar “Masa Depan Batubara” yang digelar Kementerian Energi pada Senin, 26 Juli lalu, Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengakui panas bumi adalah sumber EBT yang terkendali, terjamin, dan rendah emisi. “Namun harganya mahal,” katanya.
Menurut Evy, elektrifikasi kendaraan seharusnya menjadi fokus strategi untuk menurunkan emisi. Dia membandingkan efek pengurangan emisi dari penggunaan kendaraan listrik—kendati pasokan setrumnya dari batu bara—jauh lebih besar ketimbang membangun pembangkit EBT seperti panas bumi dan surya. “Ini bisa jadi trade-off antara kenaikan emisi pembangkitan coal karena adanya penggunaan electric vehicles,” ucapnya.
Itulah jawaban mengapa belasan wilayah kerja panas bumi yang pengelolaannya ditugaskan kepada PLN baru menghasilkan pembangkit dengan kapasitas total 12,5 megawatt. Sedangkan uap panas untuk 565 megawatt pembangkit panas bumi yang dioperasikan PLN saat ini berasal dari pengeboran PGE. Selain punya strategi lain untuk mengejar penurunan emisi, modal PLN lebih dulu habis untuk membangun infrastruktur transmisi dan distribusi. “Makanya ini mereka kami gabungkan dengan target mendapatkan dana publik yang murah supaya bisa berekspansi,” kata Arya.
UNTUK JAWA DAN BATU BARA
MASALAH kelistrikan di negeri ini bersumbu pada dua hal: tak meratanya ketersediaan setrum antarwilayah dan tingginya tingkat ketergantungan terhadap pembangkit energi fosil. Pembangunan infrastruktur kelistrikan yang terkonsentrasi di Jawa menjadi salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah, terutama di Indonesia bagian timur.
Sedangkan kesuksesan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagai pengganti bahan bakar minyak kini juga melahirkan segudang persoalan dilematis. Dianggap paling menguntungkan, pembangkit batu bara menjadi primadona, berlari kencang meninggalkan pengembangan energi baru dan terbarukan yang berjalan di tempat, di antaranya akibat salah urus kebijakan.
Sebaran Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik (Megawatt?/MW)
Keterangan
PLTU: Pembangkit listrik tenaga uap batu bara | PLTG/MG: Pembangkit listrik tenaga mesin gas | PLTGU: Pembangkit listrik tenaga gas uap | PLTD: Pembangkit listrik tenaga diesel | PLTP: Pembangkit listrik tenaga panas bumi | PLTA: Pembangkit listrik tenaga air | PLT EBT Lain: Pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan selain PLTP dan PLTA
Sumber: PLN, DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN (JUNI 2021) | Naskah: Agoeng Wijaya
PLN, Pertamina, dan Geo Dipa sepakat memulai kajian rencana mengintegrasikan ekosistem tenaga panas bumi di ketiga perseroan pada 26 Maret 2021, dengan PT Mandiri Sekuritas sebagai pemimpin kajian. Penunjukan Mandiri Sekuritas ini sudah sejak jauh hari diberitahukan oleh Kementerian BUMN kepada manajemen ketiga perseroan, yakni pada 2 Februari lalu. Kendati yang menunjuk Kementerian BUMN, tagihan biaya kajian rupanya dibebankan kepada tiga BUMN secara proporsional, yang totalnya mencapai Rp 30 miliar.
Laporan kajian inilah yang kemudian dipresentasikan Erick pada Ramadan, Mei lalu, dalam rapat secara hibrida yang dihadiri Pahala Mansuri, Suahasil Nazara, pejabat eselon I Kementerian Keuangan, serta direksi PLN, Pertamina, dan Geo Dipa. Integrasi itu akan berlangsung dalam tiga langkah.
Pertama, PLN, dan Indonesia Power mengalihkan aset dan liabilitas PLTP mereka yang selama ini beroperasi di lima wilayah kerja panas bumi milik PGE. Sedangkan wilayah kerja panas bumi dan aset hulu PLN di luar lima wilayah kerja yang dioperasikan PGE akan tetap menjadi milik BUMN setrum.
PLN telah menunjuk Ernst & Young untuk menilai lima pembangkit dengan kapasitas terpasang 565 megawatt tersebut. Adapun Mandiri Sekuritas menghitung valuasi PGE. Valuasi keduanya ini akan menjadi dasar untuk menentukan angka penyertaan saham PLN dan PT Pertamina Power Indonesia—anak usaha Pertamina yang menjadi pemegang saham langsung PGE—di PGE kelak ketika menjadi holding dan survivor entity. Sebagian saham holding baru, yang asetnya ditaksir mencapai Rp 57,13 triliun seusai merger aset panas bumi tiga perusahaan, ini bakal dilepas ke publik.
Kementerian menargetkan langkah pertama berupa konsolidasi aset ini rampung pada akhir Agustus 2021. Dengan begitu, PGE, yang menerima aset PLTP dari PLN, bisa siap dilempar ke publik lewat penawaran umum perdana saham pada akhir Desember mendatang. Erick menyetujui kajian Mandiri Sekuritas ini sejak 22 Juni lalu.
Keputusan menjadikan PGE sebagai konsolidator inilah yang memanaskan PLN. Perusahaan setrum itu merasa merekalah yang semestinya menjadi holding. Sebab, selain punya pembangkit listrik, mereka selama ini berperan menjadi pembeli setrum. Sikap ini tecermin dalam tuntutan tiga serikat pekerja Grup PLN kepada Jokowi pada 26 Juli lalu. “Mendukung PLN menjadi leader di sektor pengelolaan EBT dengan memberdayakan putra dan putri bangsa Indonesia,” begitu bunyi pernyataan mereka.
Menurut Arya Sinulingga, Kementerian BUMN memutuskan PGE menjadi holding karena kapasitas cucu Pertamina itulah yang paling besar untuk mengembangkan panas bumi. Dari 13 wilayah kerja panas bumi PGE, potensi uap panas yang sudah dimanfaatkan sebesar 2.177 megawatt.
Sebagai pengembang panas bumi, PGE mengoperasikan sendiri PLTP berkapasitas 672 megawatt—sebesar 565 megawatt di antaranya pembangkit milik PLN. Sisanya dikerjakan lewat skema kontrak operasi bersama (JOC) dengan pemain besar lain, seperti Star Energy, Supreme Energy, juga konsorsium Medco. “PGE juga mampu mengebor panas bumi. Kita kan mau ambil panas bumi baru, mau enggak mau harus ngebor. Sederhana banget perhitungannya,” ujar Arya.
Kelak, setelah aset PLN dikonsolidasikan ke PGE, langkah kedua pembentukan holding digeber dengan mengalihkan aset Geo Dipa yang saat ini mengoperasikan PLTP Dieng 55 megawatt dan PLTP Patuha 55 megawatt. Valuasi Geo Dipa akan dihitung dulu. Nilai itu menjadi dasar harga pembelian saham Geo Dipa oleh PLN dan Pertamina, tanpa keluar uang seperak pun.
PLN dan Pertamina akan membeli saham pemerintah alias Kementerian Keuangan di Geo Dipa dengan piutang. Pemerintah saat ini tercatat masih menunggak utang kompensasi penundaan kenaikan tarif listrik kepada PLN sebesar Rp 18,09 triliun per 2020. Sementara itu, per Juni 2020, utang pemerintah ke Pertamina mencapai Rp 51,5 triliun.
Barulah setelah ketiga entitas tersebut menyatu, PGE berganti nama menjadi Holding Geothermal Indonesia (HGI). “Hanya pergantian manajemen. PLN enggak hilang. Dia ada di dalam sebagai pemegang saham,” tutur Arya. “Namanya bisa saja HGI.”
Namun, untuk urusan merger lanjutan dengan Geo Dipa ini, PGE tampaknya harus menunggu sampai tahun depan karena orang tua badan usaha yang satu itu adalah Kementerian Keuangan. Adapun ihwal rencana IPO bakal holding panas bumi, menurut Arya, "Pasti digedein dulu. Masih dicari yang terbaik. Masih kami targetkan angka pendanaannya, bertahap dengan potensinya."
•••
KEKHAWATIRAN serikat pekerja Perusahaan Listrik Negara bahwa holding panas bumi akan mengerek harga beli listrik PLN, dan ujung-ujungnya menaikkan harga jual ke masyarakat, tampak nyata dalam rapat tiga menteri pada Kamis, 5 Agustus lalu. Dalam rapat itu, Menteri Erick Thohir meminta dukungan dari dua koleganya di kabinet, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Energi Arifin Tasrif.
Erick Thohir meminta dukungan kebijakan agar struktur bisnis masa depan holding tersebut menarik. Pertamina Geothermal Energy dan PLN akan meneken perjanjian jual-beli listrik yang baru. Tarifnya akan naik. “(Dibutuhkan dukungan) pemberian subsidi atau kompensasi tambahan apabila terdapat kenaikan biaya pokok pembangkitan,” kata Erick dalam paparannya kepada Sri Mulyani. “Peningkatan subsidi dan biaya pembelian listrik akan dihitung dan diseimbangkan dengan value yang akan diterima dari integrasi BUMN geotermal.”
Dari Arifin, Erick memerlukan dukungan agar Kementerian Energi menugasi PLN membeli listrik lewat penunjukan langsung dari lima PLTP yang kelak dialihkan kepada PGE. Penugasan itu diperlukan untuk melaksanakan pengadaan listrik dengan tarif lebih tinggi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan holding panas bumi tidak akan mampu mengejar jarak bauran energi baru dan terbarukan selama skema tarif jual listrik tidak diperbaiki. PLN saat ini enggan menyerap listrik EBT karena harganya yang cenderung mahal, dua kali lipat harga listrik uap berbahan bakar batu bara. Menyerap listrik EBT sama saja menaikkan biaya pokok pembangkitan.
PLN sebetulnya bisa menyerap harga tersebut asalkan harga jual listrik ke masyarakat juga disesuaikan. “Tapi tarif jual dari PLN tidak pernah diizinkan naik. Biaya makin bengkak, akhirnya PLN yang disuruh efisien,” ucap Fabby, Jumat, 6 Agustus lalu.
Terakhir, pemerintah menahan rencana kenaikan tarif listrik pada 2018. “Ujung-ujungnya, return of investment PLN itu rendah banget. Cuma 2 persen!” tutur Fabby.
Menurut Fabby, kalau pemerintah serius ingin memperbesar bauran EBT—yang sayangnya masih mahal—tidak ada jalan selain menaikkan tarif listrik. Pasalnya, efisiensi yang dilakukan PLN untuk bertahan ada batasnya. “Kalau pemerintah mau sesuaikan tarif 15 persen saja, itu akan memberikan ruang napas bagi PLN untuk menata keuangan,” ujarnya.
Arya Sinulingga membenarkan ada rapat tiga menteri pada pekan lalu. Kendati belum ada kesepakatan, Arya menerangkan, naga-naganya hasil rapat itu tidak mengecewakan bagi Kementerian BUMN. “Positif, sih,” katanya.
Setelah berbulan-bulan menyaksikan serikat pekerja menolak rencana pembentukan holding, Agung Murdifi, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, menjamin PLN mendukung rencana konsolidasi aset-aset tersebut. “Sebab, tujuan utama pembentukan holding ini bukan mengerdilkan satu sama lain, melainkan justru membesarkan setiap entitas dan menggarap potensi panas bumi sebesar-besarnya,” tutur Agung lewat siaran pers pada Jumat, 6 Agustus lalu.
Ihwal kekhawatiran bahwa pekerja PLN dan Indonesia Power tak akan terpakai di entitas holding, dokumen kajian Mandiri Sekuritas rupanya telah memberikan jawaban. Para pekerja itu tidak akan menjadi pegawai holding—walaupun sudah ditawari berganti seragam. Tapi mereka tetap akan menjadi pekerja PLN di pembangkit panas bumi yang sama, kali ini dengan status pengelola dan pemelihara berbayar untuk PGE, atau kelak Holding Geothermal Indonesia.
RETNO SULISTYOWATI, AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo