Problem yang dihadapi Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti tak main-main. Ada ribuan demonstran yang berhari-hari turun ke jalan menentang kenaikan bahan bakar minyak, tarif dasar listrik (TDL), dan telepon. Juga ada ratusan ibu rumah tangga yang melakukan unjuk rasa dengan tertib, di samping perempuan pengusaha yang sedikit provokatif. Suka atau tidak, mereka tak bisa dianggap enteng. Maka, Rabu malam pekan lalu, di Gedung DPR Senayan, Dorodjatun dan beberapa menteri bersama sejumlah wakil rakyat mengkaji ulang kebijakan kenaikan harga yang memberatkan masyarakat tersebut.
Bagi Ketua Tim Khusus Pengkaji harga BBM dan TDL ini, gagasan membatalkan kenaikan harga minyak dan listrik bagaikan buah simalakama. Bila kebijakan itu diteruskan, rakyat menderita. Tapi kalau dibatalkan, beban anggaran makin berat. ?Dia terlihat sepuluh tahun lebih tua setelah menjadi menko,? kata ekonom Faisal Basri tentang menteri koordinator yang satu ini.
Dorodjatun memang menghadapi pilihan yang sulit. Kocek pemerintah saat ini benar-benar mengkhawatirkan. Beban utang luar negeri sudah begitu berat. Dengan pinjaman luar negeri US$ 75 miliar, pemerintah harus menyisihkan Rp 25 triliun setiap tahun hanya untuk membayar bunga. Ditambah bunga utang dalam negeri yang rata-rata mencapai Rp 60 triliun per tahun, pemerintah harus menyisihkan Rp 85 triliun tiap tahunnya. Ini baru untuk bunga, belum termasuk cicilan pokok. Alhasil, anggaran terkuras hanya untuk membayar utang dan hanya sepertiga yang tersisa untuk membiayai pembangunan.
Beban utang yang berat itu menimbulkan riak anti-utang di mana-mana. Pemerintah diminta berhenti mengemis, dan menggali potensi dalam negeri untuk membiayai pembangunan. Para wakil rakyat, yang melihat beban utang makin menggila, juga ikut menekan pemerintah. Mereka menganjurkan agar pemerintah berhenti memasok duit dari luar.
Sebenarnya, pemerintah dalam beberapa tahun ini sudah berhasil mengurangi pinjaman dolar. Data menunjukkan utang luar negeri Indonesia turun dari sebelumnya, yang berkisar US$ 5 miliar, menjadi US$ 3 miliar tiap tahunnya. Persentasenya terhadap pendapatan domestik bruto juga turun dari 2,4 persen menjadi sekitar 1,6 persen.
Tahun ini pemerintah sebenarnya hanya membutuhkan US$ 2,4 miliar atau Rp 26 triliun. Tapi, karena berbagai faktor, angka itu melonjak menjadi sekitar US$ 3,2 miliar atau Rp 29 triliun. Persetujuan formal untuk utang ini akan diberikan dalam sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) pekan ini di Bali. Untuk tahun 2004, kata Staf Ahli Menko Perekonomian, Mahendra Siregar, pemerintah sebenarnya sudah sempat mengalkulasi kemungkinan defisit anggaran nol persen sehingga tak perlu lagi meminjam dari luar.
Belakangan, target itu bergeser. Menurut Mahendra, dibutuhkan sejumlah syarat yang tak mudah agar target itu terpenuhi. Ia pun menyebutkan, di antara target itu termasuk pencapaian target pertumbuhan dan penghapusan subsidi bahan bakar minyak. Selain itu, pemerintah masih harus menggali sumber penerimaan dana dari dalam negeri.
Sejumlah ekonom juga beranggapan, agak riskan bagi pemerintah untuk menerapkan defisit nol persen tahun depan. Meski melihat ada peluang untuk menyetop utang, ekonom INDEF Dradjad Wibowo mengatakan pemerintah tak perlu melakukannya. Pasalnya, pembangunan infrastruktur di Indonesia masih sangat membutuhkan dana superbesar yang duitnya tak bisa diharapkan dari dalam negeri.
Hal senada juga dikemukakan oleh ekonom Chatib Basri. Defisit nol yang berarti tak meminjam ke negara lain bisa dicapai kalau semua kebijakan dilaksanakan secara konsisten. Misalnya, subsidi BBM benar-benar dicabut dan penerimaan dari pajak bisa ditingkatkan berlipat-lipat. Dan kalau melihat pembangunan di Indonesia yang masih membutuhkan perangsang untuk menggairahkan perekonomian, fiskal masih harus diperlonggar.
Chatib juga mengingatkan adanya bahaya lain yang bisa menjadi ancaman bagi bujet negara, yaitu soal pemutusan hubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Pasalnya, putus hubungan dengan IMF berarti juga bercerai dengan forum Paris Club. Melalui forum ini, utang-utang luar negeri Indonesia dijadwalkan pembayarannya. Nah, tahun depan utang yang jatuh tempo dan harus dibayar mencapai US$ 3 miliar.
Dia memperkirakan ujian berat bagi ekonomi Indonesia masih akan berlangsung sampai tahun 2007. Pada saat itu, banyak utang yang harus dilunasi karena sudah jatuh tempo. Tentu berbagai hal yang muskil itu tak luput dari perhatian pemerintah. Tapi sejauh ini Mahendra belum bersedia menyebutkan langkah-langkah yang akan diambil pemerintah untuk mengatasi soal pembayaran utang. Sebuah sumber menyebutkan, saat ini pemerintah sudah mulai melobi IMF dan negara donor lainnya. Ini dimaksudkan agar, ketika IMF tak lagi menjadi bagian dari Indonesia, Paris Club IV tetap berjalan. ?Hasilnya belum jelas,? kata sumber di Departemen Keuangan itu.
Tapi, kalau gagal, sudah disiapkan alternatif lain. Ada kemungkinan utang US$ 1 miliar bisa dinegosiasi untuk dijadwal ulang atau diundur pembayarannya. Nah, sisanya yang US$ 2 miliar tetap harus dibayar. ?Bisa jadi akan dibayar dengan menggunakan duit dari rekening dana investasi,? katanya. Sebabnya, hanya ini sumber yang bisa digali. Total rekening dana investasi (RDI) yang ada di tangan Menteri Keuangan sekarang ini tercatat Rp 19 triliun. Pada tahun 2004, angka itu diperkirakan bisa lebih dari Rp 20 triliun.
Walaupun RDI bisa dimanfaatkan, ini pilihan yang berat. Karena itulah Faisal Basri berpendapat pemerintah masih memerlukan pinjaman dari luar negeri. Selain untuk menutupi bujet yang tak mencukupi, pinjaman dari luar itu juga berguna untuk memperkuat neraca pembayaran. ?Stop pinjam dari luar hanya sebuah ilusi,? katanya. Yang perlu diperbaiki adalah bagaimana agar duit pinjaman itu benar-benar digunakan untuk kegiatan usaha dan tidak dikorupsi.
Faisal mengingatkan, tak ada satu negara pun yang tidak berutang. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola utang tersebut sehingga bisa memberikan hasil lebih besar. Di pihak lain, Dradjad menyayangkan ketidakberhasilan Indonesia menggali potensi lokal dengan sungguh-sungguh. Soal pajak, misalnya, kalau pemerintah mau bekerja keras mengumpulkan ke kas negara dan tidak masuk ke kantong pribadi, paling tidak sekitar Rp 10 triliun bisa digenjot dari sini. Penerimaan dari minyak dan gas juga masih banyak yang bisa dioptimalkan. Kontrak Freeport bisa ditinjau kembali sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi negara. Ide sekuritisasi aset negara juga pantas dikaji kembali.
Gebrakan lainnya adalah melakukan penghematan di semua lini. Mega dan semua pejabat harus bisa membatasi perjalanan yang tak begitu penting ke luar negeri. Pemimpin negara ini juga diharapkan mau menurunkan standar hidup dengan memakai mobil murah dan tidak protes jika fasilitas yang diterimanya dikurangi. Jangan mengulangi kebiasaan lama, yakni memfatwakan ?hidup sederhana? tapi masih terus berfoya-foya.
Leanika Tanjung, Agus Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini