HUTAN adalah tambang emas yang kerap dilupakan. Padahal sektor ini bisa menjadi penambal anggaran saat pemerintah "dipaksa" menurunkan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Ini argumen Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Longgena Ginting. Ia menyodorkan data: jumlah kayu ilegal setiap tahun mencapai 30 juta meter kubik. Kalau kayu gelap itu dijual dengan harga US$ 100 per meter kubik, dana sekitar US$ 3 miliar akan masuk ke kantong pemerintah atau senilai Rp 27 triliun dengan kurs Rp 9.000 per dolar AS. Ini jelas cukup untuk menjadi penutup lubang anggaran, bahkan juga bisa untuk membayar lunas utang yang jatuh tempo pada tahun 2004 nanti.
Itu baru dari sisi kayu haram. Pendapatan yang diperoleh dari pungutan-pungutan atas penguasaan hutan, yang terdiri atas dana reboisasi (DR), provisi sumber daya hasil hutan (PSDH), dan iuran hasil pengusahaan hutan (IHPH), juga berjibun, tapi pembukuannya gelap seperti rimbunnya hutan. Data Departemen Perindustrian menyebutkan, industri kayu di Indonesia, seperti pabrik kayu lapis dan pulp and paper, melahap sekitar 63 juta meter kubik per tahun. Namun Departemen Kehutanan hanya mencatat kayu yang dirobohkan tahun 2002 sebanyak 12 juta meter kubik. Jadi, ke mana selisih 51 juta meter kubik yang berbau dolar itu?
Jika selisih itu dikenai pungutan DR yang nilainya rata-rata US$ 16 per meter kubik, akan terkumpul US$ 816 juta atau senilai Rp 7,3 triliun. Ditambah satu triliun rupiah dari PSDH yang per meter kubiknya Rp 20 ribu, total yang seharusnya diterima pemerintah adalah Rp 8,3 triliun. Bukan main! Coba bandingkan dengan target penerimaan APBN 2002 dari sektor kehutanan yang sudah dipermak yang hanya Rp 2,3 triliun.
Minimnya penerimaan negara itu ternyata disebabkan oleh mekanisme penarikan DR dan PSDH. Pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) punya kekuasaan seluas hutan. Menurut Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Tachrir Fathoni, mereka menghitung dan menyetor sendiri pungutan itu sesuai dengan produksi hasil hutannya ke rekening Menteri Kehutanan, yang kemudian disetorkan kepada Menteri Keuangan.
Sistem penyetoran yang independen alias dihitung sendiri itu dianggap masih belum cukup. Para pengusaha hutan itu masih kerap pula mengemplang iuran yang harus mereka setor. Akibat ketidaklancaran itu, penerimaan APBN 2001 dari sektor kehutanan molor hingga tahun 2002. Untuk APBN 2002, ungkap Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan, Darmin Nasution, "Hanya sedikit yang sudah dibayarkan. Itu pun tidak disertai data daerah mana yang sudah membayar."
Keterlambatan itu, menurut sumber di Departemen Kehutanan, karena pengusaha lebih memilih memutar uangnya untuk kegiatan usaha. Selain itu, banyak kepala daerah yang memerintahkan agar pengusaha tidak menyetor langsung pungutan itu ke rekening Menteri Kehutanan. "Mereka diwajibkan menyetorkannya ke rekening kas daerah," ucap Fathoni. Contohnya Kabupaten Sintang, Ketapang, dan Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat serta Kabupaten Barito Utara di Kalimantan Tengah. Dari keempat daerah itu, jumlah iuran PSDH yang belum disetor ke pemerintah pusat berjumlah Rp 48 miliar. Sedangkan pungutan DR yang masih ngendon US$ 467 ribu atau senilai Rp 4,2 miliar.
Penolakan daerah itu tidak sembarangan saja mereka lakukan. Adalah Undang-Undang Otonomi Daerah yang mereka genggam untuk menunjukkan keberanian memegang penerimaan hasil hutan itu. Di pihak lain, Departemen Kehutanan juga punya hak untuk menerima setoran hasil hutan karena diakari UU tentang Pengelolaan Hutan. Seharusnya, menurut Longgena Ginting, semua pihak duduk bersama untuk menentukan siapa yang berhak memungut hasil hutan.
Kalau tidak dibenahi secepatnya, potensi hutan yang begitu besar hanya akan mengucur ke tangan tertentu. Hutan kian gundul, rakyat makin sengsara, sementara utang negara tetap saja tidak terbayarkan dan anggaran negara tetap berlubang.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini