Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terperangkap Jalur Birokrasi

Dana reboisasi untuk rehabilitasi hutan kritis belum juga cair akibat panjangnya rantai birokrasi.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUHAN itu muncul dari tepi Desa Pandantoyo, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. "Reboisasi hutan tak bisa dilakukan karena dana yang dialokasikan masih mengendap di Menteri Keuangan." Adalah petinggi Departemen Kehutanan, Menteri M. Prakosa, yang mengucapkannya saat melakukan program reboisasi yang dilakukan PT Perhutani bersama masyarakat, 4 Januari lalu. Wajar bila Prakosa berkeluh-kesah. Kerusakan hutan melaju dengan kencang, sementara dana yang dikutip dari para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) tak bisa dimintanya untuk merehabilitasi hutan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan, penebangan liar, perambahan hutan, ataupun kebakaran hutan. Data di departemennya memperlihatkan, selama sepuluh tahun terakhir kerusakan hutan tiap tahunnya mencapai angka 1,6 juta hektare. Sejak enam bulan lalu, Menteri sudah meminta pencairan uang tersebut, tapi hingga kini belum didapatnya. Tanpa sentuhan penghijauan, kawasan hutan yang rusak meluas hingga mencapai 24 juta hektare dari 43 juta hektare hutan yang ada di seluruh Indonesia. Sembilan juta hektare di antaranya masuk kategori merah. Artinya, menjadi prioritas utama untuk direhabilitasi. Untuk melakukannya, Departemen Kehutanan butuh biaya. Padahal, untuk merehabilitasi satu hektare kawasan rusak dibutuhkan biaya rata-rata Rp 5 juta. Dana itu dipakai untuk biaya bibit, penanaman, dan pemeliharaan hingga tanaman minimal berusia satu tahun, yang melibatkan masyarakat. Untuk sembilan juta hektare lahan kategori merah itu diperlukan biaya Rp 45 triliun. Sialnya, dana reboisasi yang ngendon di kantong Departemen Keuangan cuma Rp 7,8 triliun. Ini merupakan sisa penggunaan dana reboisasi pada periode 1989-2000 yang disetor oleh Menteri Kehutanan (lihat: Miskin tapi Kaya). Itu pun sulit sekali dikeluarkan dari kantong Departemen Keuangan. Padahal, sesuai dengan kesepakatan, pencairannya bisa ditempuh melalui dua prosedur: skema pinjaman melalui dana bergulir, atau dokumen anggaran. Mekanisme pertama belum bisa dilakukan tahun anggaran ini karena prosedur tata laksananya masih dibahas oleh Departemen Kehutanan dan Departemen Keuangan. Skema kedualah yang lazim digunakan. Caranya, Departemen Kehutanan mengajukan proposal proyek penggunaan dana reboisasi ke Departemen Keuangan. Usulan proyek ini selanjutnya akan dibahas bersama. Jika beres, biasanya dana reboisasi sudah akan meluncur ke rekening Menteri Kehutanan. Rupanya, proposal ini yang menurut Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Darmin Nasution, menjadi biang keladi belum cairnya dana reboisasi. Sebabnya, sampai saat ini pihaknya belum menerima proposal detail rencana penggunaan dana reboisasi. "Kalau proposal tak ada, apa yang bisa dibahas?" tanya Darmin. Benar? Rupanya betul. Pengakuan soal belum hadirnya proposal detail ini dikeluarkan oleh Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan, Tachrir Fathoni. Menurut dia, Departemen Kehutanan masih menyelesaikan master plan rehabilitasi hutan dan lahan. Meski rencana detailnya belum dibuat, toh Tachrir menyebut bahwa secara garis besar pihaknya sudah memiliki rencana penggunaan dana reboisasi untuk tahun ini. Disebut Tachrir bahwa Departemen Kehutanan menganggarkan penggunaan dana reboisasi sebesar Rp 1,5 triliun. Pihaknya pun telah mengancang-ancang pengajuan dua format dokumen anggaran agar bisa melakukan serangkaian proyek rehabilitasi. Alokasi pertama, Rp 593 miliar, direncanakan untuk membiayai sekitar 15 proyek pengembangan kehutanan di seluruh Indonesia. Sedangkan alokasi sebesar Rp 950 miliar disiapkan buat tujuh proyek rehabilitasi lanjutan tahun 2002 ditambah tujuh proyek rehabilitasi baru. Hanya, detail rencana proyek seperti wilayah mana yang akan menjadi sasaran, berapa luas wilayah program, dan berapa besar kebutuhan dana buat tiap proyek hingga sekarang belum beres. Lambannya proposal ini diselesaikan, menurut sumber di Departemen Kehutanan, merupakan konsekuensi dari peliknya birokrasi. Untuk menyusun rencana detail di tingkat pusat, dibutuhkan usulan serupa dari daerah. Proposal inilah yang hingga kini belum tuntas masuk ke meja Departemen Kehutanan. Sayangnya, laju degradasi hutan dan program rehabilitasi tak mau menunggu birokrasi yang lelet itu. Hutan hancur. Akibatnya, bencana banjir dan tanah longsor mengancam ribuan nyawa manusia. Upaya rehabilitasi hutan hanya bisa dilakukan seadanya. Tragisnya, di rekening Departemen Keuangan, dana reboisasi berbunga dan bertambah gemuk setiap hari. Agus Hidayat, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus