Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Situasi ekonomi dunia berubah cepat ketika optimisme pemulihan memuncak.
Dilema inflasi dan pertumbuhan ekonomi mengungkung tiga pusat pertumbuhan ekonomi dunia.
Risiko pelemahan ekonomi kembali meningkat dan turut mengancam Indonesia.
JANGAN-JANGAN, Indonesia harus mengganti tema pertemuan puncak G20 agar lebih realistis. Tema sekarang, “Recover Together Recover Stronger”, sebetulnya keren, mencerminkan optimisme. Ekonomi dunia akan pulih dan kuat setelah pandemi usai. Namun situasi berubah dengan cepat. Tiga pusat pertumbuhan utama ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat, Cina, dan Eropa, sedang terbelit kesulitan. Alih-alih pulih bersama, ekonomi global malah bisa terjerembap bersama-sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Amerika Serikat, ancaman stagflasi kian nyata. Stagflasi berarti inflasi terbang tinggi ketika pertumbuhan ekonomi sedang merosot. Perkara ini sangat dilematis. Kebijakan moneter tak bisa mengatasi dua masalah ini sekaligus. Bank sentral harus memilih: mengatasi inflasi dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya. Menaikkan bunga, misalnya, bisa menahan inflasi. Tapi bunga yang tinggi akan mengerem pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika bunga ditahan rendah untuk mendorong pertumbuhan, inflasi akan meledak tak terkendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilema inilah yang menyudutkan The Federal Reserve. Per kuartal I 2022, ekonomi Amerika Serikat mengerut, minus 1,4 persen. Di saat yang sama, inflasinya malah meroket 8,5 persen. Pada Kamis, 5 Mei lalu, The Fed memilih menaikkan bunga 0,5 persen, mengorbankan pertumbuhan.
Pertanyaannya, sampai kapan? Apakah selama inflasi masih tinggi The Fed akan terus menaikkan suku bunga kendati ekonomi Amerika sudah tumbuh negatif alias mengerut? Kalau arah kebijakan The Fed memang konsisten demikian, ada risiko ekonomi Amerika terjerumus ke stagflasi dan mengalami resesi.
Sementara itu, di Tiongkok, persoalannya malah terkesan konyol. Ketika hampir semua negara sudah menerima Covid-19 sebagai penyakit biasa dan lebih tenang mengatasinya, pemerintah Cina masih berkeras menerapkan kebijakan tangan besi. Sudah lima pekan 26 juta penduduk Shanghai harus pasrah menjalani isolasi total.
Kebijakan ekstrem ini mungkin juga akan menimpa Beijing, yang berpenduduk 21,5 juta jiwa. Pekan lalu, jumlah kasus baru harian rata-rata di sana cuma sekitar 50. Tapi, dalam ukuran pemerintah Cina, yang menerapkan kebijakan zero-Covid, 50 kasus sudah tergolong gawat. Target mereka: nol kasus selama tiga hari berturut-turut. Maka di Beijing pun beberapa distrik sudah mulai dikunci, penduduk tak bebas lagi lalu-lalang.
Konsekuensinya, ekonomi Cina mulai melambat. Target pertumbuhan 5,5 persen tahun ini akan sulit tercapai. Partai Komunis Cina yang biasanya berlaku pragmatis demi kemajuan ekonomi kini malah terbelenggu fanatisme kebijakan yang akan membonsai ekonomi.
Beralih ke Eropa, invasi Rusia ke Ukraina juga makin merusak ekonomi. Perang membuat inflasi di Eropa tak kalah liar dibanding inflasi di Amerika Serikat. Per April 2022, inflasi di zona Euro mencapai 7,5 persen. Di Inggris, inflasi per Maret menyentuh 7 persen, titik tertinggi semenjak Januari 1997.
Seperti halnya The Fed, Bank of England harus memilih: menjinakkan inflasi atau tetap mendorong pertumbuhan. Pekan lalu, akhirnya Bank of England juga memilih menaikkan bunga. Bahkan kenaikannya 1 persen, dua kali lipat kenaikan bunga The Fed.
Beban ekonomi Eropa akan makin berat jika dalam waktu dekat embargo terhadap ekspor energi Rusia juga mencakup minyak bumi. Harga minyak akan melangit. Dan bukan cuma Eropa yang akan menderita. Tingginya harga minyak juga akan menyakiti ekonomi negara pengimpor minyak di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Untungnya, untuk sementara, Indonesia masih menikmati “rezeki anak soleh”. Harga komoditas ekspor kita masih bertahan tinggi. Namun, cepat atau lambat, dampak kelesuan ekonomi global akan sampai ke sini. Dampak itu akan mulai terasa ketika kebutuhan akan komoditas ekspor Indonesia mulai merosot karena tak ada lagi pertumbuhan ekonomi di mana-mana.
Dewan Gubernur Bank Indonesia pun harus memilih saat bersidang pada 23-24 Mei mendatang. Mau menaikkan bunga untuk melawan inflasi atau tetap mempertahankan suku bunga karena percaya ancaman itu belum berbahaya? Di sini optimisme memang masih diangkat tinggi-tinggi, sebagaimana baliho bertulisan “recover together recover stronger” yang terpampang di mana-mana. Realistiskah optimisme itu atau angan-angan belaka?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo