LEBARAN sudah berakhir sebulan lalu, tapi sampai sekarang
inflasi di Indonesia belum juga jinak. Tingkatnya, seperti
disebutkan Menpen Ali Moertopo selepas sidang Kabinet dua pekan
lalu, sudah cukup "serius". Inilah untuk pertama kalinya
pemerintah mengakui secara terbuka inflasi mulai menggawat.
Sampai akhir minggu ini belum dihetahui tindakan apa yang akan
diambil pemerintah.
Yang jelas, dengan digunakannya sistim perhitungan indeks
inflasi yang baru, di mana indeks harga dari 17 kota besar untuk
kurang lebih 150 bahan pokok menjadi ukuran, kenaikan harga yang
tinggi untuk satu kota besar akan lebih tercermin dalam indeks
nasional.
Sebelumnya, apapun yang terjadi di bidang harga-harga di
kota-kota besar tak mempengaruhi indeks inflasi, karena indeks
didasarkan atas 62 bahan pokok di Jakarta saja. Untuk mengatasi
kelangan beberapa jenis barang di suatu kota, bisa dipastikan
pemerintah akan lebih banyak mencurahkan perhatian pada sektor
perhubungan, terutama perhubungan laut, yang merupakan alat
penangkutan utama untuk negeri kepulauan ini.
Penilaian pemerintah tentang seriusnya inflasi datang ketika
inflasi di bulan Agustus mencapai 2,3%, yang berarti belum
mereda sejak April, ketika harga bahan bakar dalam negeri
dinaikkan. Tiga bulan sesudah April lalu, inflasi yang mulai
dihitung dengan indeks baru menunjukkan tingkat yang cukup
mencemaskan: Mei 3,1%, Juni 2,3% dan Juli 2,5%
INI berarti hanya dalam lima bulan antara April-Agustus,
inflasi sudah mencapai 13,9%. Atau tingkat tahunan yang bisa
mencapai 30%, satu tingkat yang paling tinggi sejak 1974.
Kenaikan yang tinggi di bulan Agustus masih bisa dimengerti
karena adanya kenaikan tradisional menjelang lebaran. Di bulan
itu, indeks kelompok makanan naik 3,6%, yang disebabkan
melonjaknya harga daging ikan, buah-buahan dan bumbu makanan.
Harga beras hampir tak berobah. Disebabkan lebaran pula, harga
sandang naik keras, dan ini terlihat dengan naiknya indeks harga
sandang rata-rata 4%.
Gejala inflasi yag makin panas ini juga dapat dilihat dari
makin cepatnya uang yang beredar. Berdasarkan Laporan Mingguan
Bank Indonesia 30 Agustus 1979, pada minggu pertama Agustus uang
beredar telah mencapai Rp 3106 milyar. Berarti selama 7 bulan
pertama tahun ini, uang beredar naik 24,8%, sedikit lebih tinggi
dari kenaikan yang terjadi untuk seluruh tahun 1978. Dalam
kwartal pertama uang beredar naik 12,5%, dan, angka sementara
kenaikan selama kwartal kedua adalah 6,9%, dan di bulan Juli
saja naik 2,8%.
Pertambahan uang beredar sebagian besar berasal dari sektor
perdagangan luar negeri dan pertambahan kredit bank. Kredit
perbankan berdasarkan catatan yang sama berjumlah Rp 6015
milyar, atau naik 11,5% selama 1979. Makin cepatnya tingkat
kenaikan kredit ini mulai nampak. Kwartal pertama naik 1%,
kwartal kedua naik 4,3% dan dalam lima minggu terakhir saja
sudah naik 2,7%.
Apabila pemerintah tidak mengadakan perobahan dalam
kebijaksanaan kredit, maka dalam inflasi yang cukup tinggi,
permintaan kredit perbankan akan membaik, karena mencari kredit
bank akan lebih menguntungkan bagi si penerima kredit atas
kerugian bank.
Tapi hal yang sebaliknya bisa terjadi pada para pemilik
deposito berjangka.
Sampai sekarang belum ada kecenderungan para pemilik deposito
rupiah itu pindah ke dollar atau mata-uang asing lainnya.
Menurut Nico Lolong, 27 tahun, dari The Hongkong and Shanghai
Banking Corporation, Jl. Hayam Wuruk, Jakarta, statistik
permintaan valuta asing meningkat sampai 200% di banknya. Tapi
itu terjadi sekitar Nopember tahun lalu sampai Pebruari 1979,
jadi akibat Kenop-15.
Menurut Nico, kini Kepala Departemen Valuta Asing dan Money
Chalger di bank asing itu, keadaan kembali normal sesudah itu.
"Malahan pada Agustus lalu tak terasa ada kegiatan sama sekali,"
tuturnya. Dia mengakui ada peningkatan pembelian valuta asing
sebanyak kurang lebih 20% dalam bulan September ini. "Itu
mungkin disebabkan pengumuman berita inflasi," katanya. Tapi
berapa persisnya kenaikan itu baru akan diketahuinya setelah
turup bulan September ini.
Ada kemungkinan kekagetan itu akan cepat reda lagi. Sekalipun
tidak tertutup kemungkinan yang sebaliknya tingkat bunga yang
diterima para penyimpan deposito tak akan menarik lagi, karena
makin ketinggalan dengan inflasi.
Dengan bunga hanya 9% setahun atau 6% untuk setengah tahun, maka
nilai riil uang si penabung pada saat depositonya dicairkan
malahan berkurang dibandingkan ketika uangnya didepositokan.
Dengan demikian uangnya benar-benar telah digerogoti oleh
inflasi.
Bisa dimengerti kalau para pemilik uang mulai suka membeli emas
yang terus naik gengsinya di pasaran dunia. Pertengahan
September lalu, di pasaran London 'si kuning' itu, sudah mencuat
US$ 345,75 per troy oune 1 ounce = 31,1035 gram). Di Jakarta
ketika itu logam mulia memasang harga Rp 7.100 per gram.
Belum bisa disebutkan terjadi semacam gerakan membeli emas
batangan di Indonesia. Bahkan ada penabung tetap enggan membeli
emas, dan sejauh ini setia pada Tabanas (lihat Antara Tabanas
dan Emas). Itu mungkin karena tak tahu bagaimana jual-beli
emas. Juga ada yang masih diliputi ketakutan jangan-jangan harga
emas itu akan anjlok lagi. Tapi Danil Nasir, 46 tahun, pejabat
PT Aneka Tambang Unit Logam Mulia di Jakarta merasa yakin
harganya tak mungkin berkurang dari Rp 7.000 per gram.
Ada lagi satu kegemaran lain di kalangan orang berduit di sini
yang sering ke luar negeri "Mereka banyak membeli golden paper
di Singapura atau Hongkong," tutur Santoso Sumali, Direktur PT
Overseas Express Bank kepada TEMPO pekan lalu. Kertas emas itu
dibeli di bursa, lalu disimpan di dalam safe deposit boxes di
sana. Dan kertas emas itu setiap waktu bisa dijualbelikan.
Seberapa besar arus orang membeli kertas emas itu tak mudah
diketahui. Beberapa pengamat beranggapan akan lebih banyak lagi
orang yang membeli setelah mendengar inflasi bisa mencapai 30%
di akhir tahun ini. Maksudnya, tidak lain, untuk spekulasi.
Permintaan Pemerintah tenang seriusnya inflasi rupanya
berhasil membikin suasana "siap" walaupun di pasar sebenarnya
suasana lagi adem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini