BULAN ini KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) berumur
setahun. Berarti mandat yang dipegang komisi beranggotakan 21
orang itu, untuk "menyusun konsep pendidikan nasional yang
semesta, menyeluruh dan terpadu," tinggal enam bulan. Selama
setahun sudah disusun serangkaian pokok pikiran tentang
pembaharuan pendidikan yang masih bersifat sementara. "Masih
harus mendapat umpan balik dari masyarakat, untuk menyempurnakan
pokok pikiran itu," kata A.W.M. Pranarka SH, Sekretaris I KPPN.
Sejak akhir Agustus lalu, pokok pikiran sementara itu sudah
disebarluaskan kepada instansi pemerintah dan juga masyarakat,
dan Jum'at minggu lalu ada pertemuan antara kalangan media massa
dengan KPPN. Terangkum dalam buku mungil setebal 42 halaman,
bisa dibaca pokok pikiran sementara tersebut:
Pokok-pokok yang boleh disebut masih sangat umum itu antara lain
berisi: diusulkannya hubungan erat antara sekolah kejuruan
dengan dunia usaha digiatkannya pendidikan kemasyarakatan
alternatif bagi lama pendidikan dasar dan menengah yang 11 atau
12 tahun kemungkinan diadakannya sekolah komprehensif (beberapa
macam atau jurusan sekolah lanjutan dalam satu bangunan)
perlunya desentralisasi pelaksanaan pendidikan. Adapun yang
mungkin baru sama sekali ialah diusulkanya pajak pendidikan.
Toh, buku setebal 42 halaman itu tak mencerminkan apa sebetulnya
yang sangat mendesak untuk diperbaiki dalam pendidikan kita.
Dalam jumpa pers tersebut, KPPN tak bersedia menjelaskan secara
gamblang bagaimana sebetulnya tanggapan komisi atas sistem ang
kini sedang berjalan. "KPPN tak mencoba meneliti atau memberi
penilaian sistem yang sedang berjalan. Tapi mencoba menyusun
konsep dengan berangkat dari nol," jawab Pranarka. "Lagipula ini
'kan masih sementara."
Kenyaaannya dengan sistem yang selama ini berjalan, tetap saja
ada orang yang pintar dan berhasil lalu untuk apa pembaharuan
pendidikan? "Seorang yang lulus STM misalnya, dia memang sudah
berpengetahuan sesuai dengan yang diberikan di sekolahnya. Tapi
apa pengetahuannya sesuai dengan persyaratan yang diharapkan
dari seorang lulusan STM?" tutur Sekretaris KPPN itu. "Itu yang
belum tentu." Singkat kata, menurut dia yang dibutuhkan sekarang
adalah standardisasi mutu pendidikan.
Di Atas Kertas
Mereka yang lebih suka melihat kenyataan daripada rencana --
mungkin karena menyadari faktor birokrasi memang bisa agak tak
mempedulikan konsep, bagaimana pun baiknya. "Keputusan di atas
kertas bisa tak berarti apa-apa," kata Ketua BP3K, Dr Setijadi.
"Yang penting bagaimana nanti pelaksanaannya."
Toh Setijadi, yang mengetuai' badan yang tugasnya memikirkan dan
mengembangkan pendidikan itu, menyebut beberapa hal yang
menjadikan pendidikan merupakan masalah kompleks. Antara lain
peledakan penduduk, urbanisasi, kondisi ekonomi, kualitas guru.
Dan kesimpulannya ternyata tak berbeda dengan kesimpulan
Sekretaris KPPN.
"Menurut saya masalah yang utama adalah kualitas pendidikan
kita," katanya kepada TEMPO. Bagi Setijadi, soal pemerataan
pendidikan, soal kuantitas, itu mudah. "Dirikan saja sekolah
sebanyak-banyaknya, beres. Tapi bagaimana mutunya?"
Selama ini pun pemerintah telah berusaha memperbaiki mutu
pendidikan-di samping mencoba memecahkan masalah pemerataan
pendidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan yang dikelola 8
IKIP Negeri, Sekolah PAMONG (Pendidikan Anak oleh Orangtua,
Masyarakat dan Guru) dan dibukanya 5 SMP Terbuka Juli yang lalu,
antara lain contohnya. Pihak swasta pun mencoba memecahkan
masalah pendidikan kita: pendidikan pesantren Sekolah Farming
Menengah Atas yang didirikan Sarino Mangunpranoto, bekas Menteri
P & K kita, yang praktis dan sesuai dengan kultur pedesaan kita
(TEMPO, 19 Mei).
Betapapun, baik soal kualitas atau kuantitas, dengan mengingat
beranekaragamnya daerah dan kultur di Indonesia, satu sistem
yang satu agaknya tak mungkin bisa dilaksanakan di seluruh
kawasan. Secara samar ini memang su,dah disarankan oleh KPPN
sendiri: mengusulkan adanya desentralisasi pendidikan. Hanya
berapa besarnya hak yang boleh dipunyai tiap daerah dalam
desentralisasi itu, belum jelas benar. Ini'kan baru konsep
sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini