Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sementara, dari KPPN

Komisi pembaharuan pendidikan nasional (kppn) mengadakan pertemuan dengan media massa. pokok-pokok pikiran tentang pembaharuan pendidikan yang disusun komisi tak mencerminkan untuk diperbaiki. (pdk)

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN ini KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) berumur setahun. Berarti mandat yang dipegang komisi beranggotakan 21 orang itu, untuk "menyusun konsep pendidikan nasional yang semesta, menyeluruh dan terpadu," tinggal enam bulan. Selama setahun sudah disusun serangkaian pokok pikiran tentang pembaharuan pendidikan yang masih bersifat sementara. "Masih harus mendapat umpan balik dari masyarakat, untuk menyempurnakan pokok pikiran itu," kata A.W.M. Pranarka SH, Sekretaris I KPPN. Sejak akhir Agustus lalu, pokok pikiran sementara itu sudah disebarluaskan kepada instansi pemerintah dan juga masyarakat, dan Jum'at minggu lalu ada pertemuan antara kalangan media massa dengan KPPN. Terangkum dalam buku mungil setebal 42 halaman, bisa dibaca pokok pikiran sementara tersebut: Pokok-pokok yang boleh disebut masih sangat umum itu antara lain berisi: diusulkannya hubungan erat antara sekolah kejuruan dengan dunia usaha digiatkannya pendidikan kemasyarakatan alternatif bagi lama pendidikan dasar dan menengah yang 11 atau 12 tahun kemungkinan diadakannya sekolah komprehensif (beberapa macam atau jurusan sekolah lanjutan dalam satu bangunan) perlunya desentralisasi pelaksanaan pendidikan. Adapun yang mungkin baru sama sekali ialah diusulkanya pajak pendidikan. Toh, buku setebal 42 halaman itu tak mencerminkan apa sebetulnya yang sangat mendesak untuk diperbaiki dalam pendidikan kita. Dalam jumpa pers tersebut, KPPN tak bersedia menjelaskan secara gamblang bagaimana sebetulnya tanggapan komisi atas sistem ang kini sedang berjalan. "KPPN tak mencoba meneliti atau memberi penilaian sistem yang sedang berjalan. Tapi mencoba menyusun konsep dengan berangkat dari nol," jawab Pranarka. "Lagipula ini 'kan masih sementara." Kenyaaannya dengan sistem yang selama ini berjalan, tetap saja ada orang yang pintar dan berhasil lalu untuk apa pembaharuan pendidikan? "Seorang yang lulus STM misalnya, dia memang sudah berpengetahuan sesuai dengan yang diberikan di sekolahnya. Tapi apa pengetahuannya sesuai dengan persyaratan yang diharapkan dari seorang lulusan STM?" tutur Sekretaris KPPN itu. "Itu yang belum tentu." Singkat kata, menurut dia yang dibutuhkan sekarang adalah standardisasi mutu pendidikan. Di Atas Kertas Mereka yang lebih suka melihat kenyataan daripada rencana -- mungkin karena menyadari faktor birokrasi memang bisa agak tak mempedulikan konsep, bagaimana pun baiknya. "Keputusan di atas kertas bisa tak berarti apa-apa," kata Ketua BP3K, Dr Setijadi. "Yang penting bagaimana nanti pelaksanaannya." Toh Setijadi, yang mengetuai' badan yang tugasnya memikirkan dan mengembangkan pendidikan itu, menyebut beberapa hal yang menjadikan pendidikan merupakan masalah kompleks. Antara lain peledakan penduduk, urbanisasi, kondisi ekonomi, kualitas guru. Dan kesimpulannya ternyata tak berbeda dengan kesimpulan Sekretaris KPPN. "Menurut saya masalah yang utama adalah kualitas pendidikan kita," katanya kepada TEMPO. Bagi Setijadi, soal pemerataan pendidikan, soal kuantitas, itu mudah. "Dirikan saja sekolah sebanyak-banyaknya, beres. Tapi bagaimana mutunya?" Selama ini pun pemerintah telah berusaha memperbaiki mutu pendidikan-di samping mencoba memecahkan masalah pemerataan pendidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan yang dikelola 8 IKIP Negeri, Sekolah PAMONG (Pendidikan Anak oleh Orangtua, Masyarakat dan Guru) dan dibukanya 5 SMP Terbuka Juli yang lalu, antara lain contohnya. Pihak swasta pun mencoba memecahkan masalah pendidikan kita: pendidikan pesantren Sekolah Farming Menengah Atas yang didirikan Sarino Mangunpranoto, bekas Menteri P & K kita, yang praktis dan sesuai dengan kultur pedesaan kita (TEMPO, 19 Mei). Betapapun, baik soal kualitas atau kuantitas, dengan mengingat beranekaragamnya daerah dan kultur di Indonesia, satu sistem yang satu agaknya tak mungkin bisa dilaksanakan di seluruh kawasan. Secara samar ini memang su,dah disarankan oleh KPPN sendiri: mengusulkan adanya desentralisasi pendidikan. Hanya berapa besarnya hak yang boleh dipunyai tiap daerah dalam desentralisasi itu, belum jelas benar. Ini'kan baru konsep sementara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus