Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Maraknya kecelakaan kerja di sejumlah proyek infrastruktur belakangan ini mendorong pemerintah terus memperketat kualifikasi para tenaga ahli. Salah satu langkah yang ditempuh adalah mewajibkan para tenaga ahli mengantongi sertifikasi ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3) konstruksi, yang saat ini dirasa masih sangat minim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin berharap bakal semakin banyak jumlah tenaga ahli K3 yang bersertifikat. "Dan dapat mencegah kecelakaan kerja di proyek-proyek konstruksi di masa yang akan datang," ujarnya, Rabu, 25 Juli 2018.
Syarif menjelaskan, geliat sektor konstruksi yang sejalan dengan pembangunan infrastruktur yang masif tak jarang membuat aspek keselamatan diabaikan. Akibatnya, kecelakaan konstruksi marak terjadi.
Per Februari 2018, ada 12 kecelakaan konstruksi selama tujuh bulan terakhir. Adapun sepanjang 2017, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan melansir ada 1.877 klaim kecelakaan kerja konstruksi dengan nilai setara Rp 41,2 miliar.
Besarnya nilai klaim kecelakaan kerja konstruksi ini pula yang membuat pemerintah terus mendorong agar ada komitmen bersama sehingga tak ada lagi accident. "Ini persoalan kelalaian, orang jatuh bukan karena batu besar, tapi jatuh karena kerikil," ucap Syarif.
Untuk mendorong lebih banyak lagi tenaga ahli bersertifikat K3, Kementerian PUPR mengadakan program sertifikasi di Jakarta selama dua hari dengan 52 peserta dari enam perusahaan konstruksi. Adapun peserta yang ikut serta dalam program sertifikasi ini mulai level manajer hingga direksi. Sertifikasi ini merupakan kegiatan angkatan (batch) kedua setelah pada Juni 2018 juga digelar kegiatan serupa.
Menurut Syarif, sertifikasi tenaga ahli K3 merupakan tindak lanjut dari komitmen rencana aksi keselamatan konstruksi yang ditandatangani Menteri PUPR pada Januari 2018. Rencana itu diwujudkan dalam bentuk pelatihan, sertifikasi personel konsultan, kontraktor, operator peralatan, dan para pejabat pelaksana di bidang K3 konstruksi.
Syarif menekankan, semua tahapan pembangunan infrastruktur harus menjunjung aspek keselamatan. Tahapan itu mulai pelaksanaan, pengoperasian, pemeliharaan, hingga pembongkaran suatu bangunan.
Di sisi lain, Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga ahli konstruksi, termasuk di bidang K3. Hingga Juni 2018, jumlah sertifikat tenaga ahli mencapai 234 ribu orang, sedangkan jumlah tenaga ahli yang memiliki sertifikat hanya 148 ribu orang. Dengan kata lain, satu tenaga ahli bisa memiliki lebih dari satu sertifikat.
Untuk menggenjot sertifikasi tenaga ahli, termasuk K3, Kementerian PUPR bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi dan badan usaha jasa konstruksi. Lulusan perguruan tinggi akan dibidik untuk mengikuti sertifikasi tenaga ahli muda. "Setelah dia punya pengalaman, dia bisa ikut lagi sertifikasi ke tingkat madya," tuturnya.
Sementara itu, kerja sama dengan badan usaha membuat sertifikasi bisa dipercepat. Semula, Kementerian PUPR hanya bisa mencetak sertifikasi 50 ribu per tahun.
Namun kini sertifikasi bisa mencapai lebih dari 100 ribu per tahun. Pada 2019, jumlah sertifikat yang diterbitkan untuk tenaga kerja konstruksi, baik ahli maupun terampil, diharapkan bisa mencapai 170 ribu. Dengan terus bertambahnya jumlah tenaga ahli bersertifikat, diharapkan tingkat kecelakaan kerja proyek infrastruktur bisa ditekan.