MEMASARKAN kayu lapis di zaman penuh proteksi seperti sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan potongan harga. Sebuah lobby kuat dan kampanye lewat media massa perlu dilakukan untuk mempengaruh konsumen, distributor, dan importir sekaligus. Dan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) sudah mencoba cara itu bekerja sama dengan Japanese Study for Indonesian Plywood. Sebuah perjanjian kerja sama di bidang itu, pekan lalu, ditandatangani kedua pihak di Jakarta. Keduanya sepakat menyediakan dana masing-masing lima juta yen untuk melancarkan kampanye pemakaian kayu lapis di Jepang. Ikhtiar itu diperlukan untuk membendung anjuran pemakaian bahan substitusi kayu lapis. Dana 10 juta yen itu memang tidak besar untuk membiayai sebuah ikhtiar besar. Yang penting agaknya adalah keberhasilan Apkindo membujuk kelompok studi itu untuk membeli 200 ribu m3 kayu lapis dari sini. Kontak penjualan berharga US$ 50 juta, yang akan dikapalkan pada semester kedua tahun ini bisa ditelurkan setelah kelompok yang beranggotakan 18 importir, distributor, dan pemakai kayu lapis itu mengunjungi sejumlah pabrik. Tapi bukan hanya karena melihat pabrik, pembelian kayu lapis (termasuk blockboard dan veneer) oleh Jepang di kuartal pertama 1986 ini mencapai 100-an ribu m3 dengan nilai lebih US$ 19 juta. Menguatnya mata uang yen, yang menyebabkan harga kayu lapis dalam dolar murah, juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian di kuartal I 1986 itu 82% di atas pembelian periode yang sama tahun lalu. Bagaimana tidak enak, kalau September lalu importir Jepang harus mengeluarkan 245 yen untuk melunasi pembayaran setiap dolar, sekarang cukup dengan 170 yen. Karena itu, kenaikan kurs yen sebesar 30% tadi diduga akan melambungkan permintaan kayu Indonesia dari 300-an ribu m3 tahun lalu menjadi hampir 400 ribu m3 tahun ini. Kanmatsu Shoji Co. kemungkinan besar akan menangani impor separuh dari kebutuhan itu. "Tahun lalu kami mengimpor 100 ribu m3," kata Masayuki Ito, Manajer Pelaksana Kanmatsu. Sebagai salah satu importir terbesar kayu lapis dari sini, Kanmatsu tampaknya tidak ingin mengecewakan Apkindo. Adalah presiden direktur perusahaan itu sendiri, Kiyoshi Mazaki, yang memimpin langsung delegasi dan kelompok studi mengunjungi Jakarta. Pada mulanya Kanmatsu, yang didirikan dengan modal 20 juta yen itu, membeli kayu lapis dari Korea Selatan. Baru dua tahun lalu mengimpor dari Indonesia. Dari sinilah, perusahaan itu bisa memperoleh harga kayu lapis dengan bersaing. Tahun lalu, Kanmatsu bisa membeli kayu lapis dengan harga rata-rata US$ 193, padahal sebelumnya US$ 197 per m3. Semester kedua tahun ini, mereka ternyata harus membeli dengan harga US$ 250. Naik harganya? Bila dilihat sekilas, harganya dalam dolar naik hampir 30%. Tapi karena yen mengalami penguatan lebih dari 30% terhadap dolar, maka kenaikan harga itu bisa ditutup dengan penguatan mata uang yen. Begitu kira-kira teorinya. Tentu tidak tertutup kemungkinan, kenaikan itu terjadi karena kebanyakan anggota Apkindo kini sudah cukup sibuk untuk memenuhi persetujuan penjualannya ke pelbagai negara - seperti pasar Amerika, Australia, Hong Kong/RRC yang permintaannya naik mencolok dua tahun terakhir. Untuk pasar Amerika saja, seluruh penjualannya tahun lalu mencapai satu juta m3 lebih, atau hampir 22% di atas angka 1984. Nilai penjualannya naik dari US$ 186 juta jadi US$ 242 juta lebih pada periode itu. Pasar Amerika sekarang seperti sedang bergerak, sesudah tingkat bunga pinjaman untuk pembelian rumah turun tajam menyusul anjloknya suku bunga bank untuk nasabah utama. Yang menggembirakan, harga yang terjadi untuk pasar Amerika 1985 itu adalah US$ 240, atau naik hampir 7% dibandingkan harga tahun sebelumnya. Bulan lalu harga kayu lapis di Timur Tengah dan RRC juga bertambah dengan US$ 40 dan US$ 25. Itu berarti harga kayu lapis di kedua negeri itu kini antara US$ 232 dan US$ 242 per m3. "Sekarang orang berebut membeli sampai kami bingung," kata Ketua Umum Apkindo Bob Hasan. Membaiknya harga itu, mungkin, juga disebabkan usaha mengendalikan jumlah kayu lapis yang bisa diekspor Apkindo. Dulu kuota itu hanya diatur oleh organisasi, tapi, sejak 21 April lalu, pengendalian ekspor itu dikuatkan dengan surat keputusan Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. Dengan itu stabilitas harga diharapkan bisa tetap dijaga. Syukur kalau itu kemudian bisa, "meningkatkan harga kayu lapis kita," seperti kata Oevaang Oeray, Ketua Pelaksana Apkindo. Bagaimanapun, ikhtiar semacam itu diperlukan mengingat pabrik kayu lapis sekarang berjumlah 108 buah dengan kapasitas terpasang 6,67 juta m3 - padahal baru selang dua tahun lalu masih 95 buah dengan kapasitas terpasang 5,3 juta m. "Tahun ini produksinya diharapkan akan mencapai 5 juta m3 atau hampir 75% dari kapasitas terpasang," ujar Oevaang, yang pernah menjadi Gubernur Kalimantan Barat selama delapan tahun. Dari jumlah produksi sebesar itu, untuk pasar dalam negeri hanya dicadangkan 1 juta m3, sedang yang 4 juta m3 untuk ekspor. Kalau sasaran itu bisa dicapai, maka banyak devisa bakal bisa dikumpulkan dari situ. Tahun 1984 dan 1985 lalu, dari ekspor kayu lapis 3 juta m3 dan 3,8 juta m3, bisa dikumpulkan devisa US$ 663 juta dan US$ 809 juta. Boleh jadi angka satu milyar dolar akan bisa dicapai kalau pasar di luar tetap cerah. Yang tampak selalu waspada menghadapi strategi pemasaran Apkindo itu adalah pihak Jepang di seberang sana. "Terus terang kami kini sedang menyelidiki maksud pemerintah Indonesia: apakah pengendalian ekspor itu dimaksudkan menghindari friksi dengan industri kayu lapis Jepang atau malah merupakan usaha menaikkan ekspornya ke Jepang," kata seorang pejabat kehutanan Jepang. Eddy Herwanto, Laporan Rudy Novrianto (Jakarta) & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini