Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mati Suri di Lapangan Abadi

Tiga tahun sejak pengelolaan proyek berubah dari laut lepas ke darat, pemerintah belum menyetujui revisi rencana pengembangan gas alam cair di Blok Masela. Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar meminta kontraktor menekan biaya. SKK Migas belakangan mulai menaikkan harga.

22 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mati Suri di Lapangan Abadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat maraton itu praktis tak berjeda. Berlangsung di kantor Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Jakarta, badan pengawas kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas itu membahas dokumen revisi rencana pengembangan Lapangan Gas Abadi, Blok Masela. “Kami rapat terus hampir tiap hari,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto kepada Tempo, Kamis, 21 Maret lalu.

Dwi sampai membentuk tim khusus untuk mengupas konsep yang diusulkan Indonesia Inpex Masela Limited dan Shell Indonesia, kontraktor yang menggarap Masela. SKK Migas sebenarnya telah memiliki unit percepatan proyek Abadi. Tim baru ini, menurut Dwi, dibentuk untuk memperkuat yang lama dengan beberapa ahli teknis tambahan di sektor minyak dan gas.

Satu per satu bagian alat produksi, termasuk desain dan kapasitas, dipelototi. Terutama yang menyangkut fasilitas terminal gas alam cair (LNG) terapung (floating storage regasification unit dan floating production storage and offloading/FPSO). Tujuan akhirnya adalah memperoleh angka investasi yang tidak kelewat mahal.

Menjelang akhir pekan lalu, rapat dihentikan sementara karena manajemen Inpex di Indonesia meminta waktu untuk berkonsultasi dengan induk perusahaan mereka di Jepang. Rencananya, pertemuan berlanjut awal pekan ini.

Penyelesaian dokumen rencana pengembangan (POD) Lapangan Abadi di Laut Arafura, Maluku, merupakan salah satu target yang dijanjikan Dwi saat ia dilantik menjadi Kepala SKK Migas, 3 Desember 2018. Pengembangan lapangan gas terbesar di Tanah Air ini menjadi bagian dari proyek strategis nasional yang diprioritaskan pemerintah Presiden Joko Widodo.

Inpex telah menyampaikan dokumen revisi POD Lapangan Abadi pada November 2018. Revisi dilakukan karena pemerintah mengubah konsep pengembangan Masela dari fasilitas terapung di laut menjadi di darat. Mau tak mau Inpex harus mengubah desain fasilitas produksi.

Dokumen revisi itu didasari kajian awal desain atau pre-front-end engineering design (pre-FEED) kilang gas alam cair di darat yang dikerjakan sejak April 2018. Pemerintah setuju Inpex mengkaji pembangunan fasilitas produksi dengan kapasitas 9,5 juta ton per tahun (MTPA) dalam bentuk LNG dan 150 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dalam bentuk gas bumi atau biasa disebut gas pipa. Sebelumnya pemerintah berkeras bahwa produksi LNG cukup sebesar 7,5 MTPA dan gas pipa sebanyak 474 MMSCFD. Kajian itu rampung pada Oktober 2018. Kepala SKK Migas saat itu, Amien Sunaryadi, menargetkan persetujuan pengembangan Masela bisa diteken pada akhir tahun.

SKK Migas menggeber pembahasan bersama Inpex sebelum tutup tahun 2018. Salah satu hasilnya: pelibatan beberapa tenaga ahli dari Houston, Amerika Serikat. Ihwal keterlibatan tenaga ahli itu tertuang dalam surat 27 Desember 2018 yang dikirim Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin kepada Inpex. Rapat dengan tenaga ahli ini rencananya berlangsung pada pekan pertama dan kedua Januari 2019.

Tapi Buyung—panggilan Jaffee—baru mengirimkan nama-nama tenaga ahli itu pada 15 Januari lalu. Mereka adalah Arun Duggal,- Kepala Teknologi Sofec Inc, dan Sanjai Jatar dari Great Circle Offshore & Marine LLC. Arun dan Sanjai diminta mengkaji desain FPSO dan kilang darat gas alam (OLNG). Buyung berjanji menyusulkan satu nama tenaga ahli lain melalui surat berbeda. Adapun ihwal bujet untuk para tenaga ahli, Inpex diminta berkoordinasi dengan Divisi Rencana Anggaran SKK Migas.

Bukan satu nama seperti yang dijanjikan, Buyung mengirim dua nama tambahan melalui surat tertanggal 31 Januari 2019. Mereka adalah Stewart Elliott dan K.P. Wong dari Energy World Corporation. Berbeda dengan dua pakar sebelumnya, Elliott dan Wong hanya diminta mengkaji fasilitas OLNG. Saat surat diberikan kepada Inpex, keduanya sudah berada di Jakarta.

Pada hari itu juga Elliott dan Wong hadir dalam rapat teknis di kantor SKK Migas di Jakarta membahas fasilitas kilang darat. Adapun rapat bersama Arun Duggal dan Sanjai Jatar digelar satu hari sebelumnya. “Masing-masing rapat berlangsung hampir seharian,” ujar seorang pejabat yang hadir di sana. Pertemuan dengan para tenaga ahli itu ditutup di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jumat, 1 Februari lalu. Hadir dalam pertemuan, Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar menguliti satu per satu fasilitas produksi.

Berdasarkan risalah rapat, Arcandra sempat membandingkan fasilitas kilang LNG itu dengan proyek LNG Sengkang di Sulawesi Selatan. Ia meminta Inpex memangkas biaya fasilitas kilang.

Inpex mempertimbangkan permintaan tersebut dan berjanji menyediakan data proyek kilang LNG di darat sebagai pembanding. Namun perusahaan Jepang ini sama sekali tak mengomentari proyek Sengkang. Inpex hanya membandingkan proyek gas Abadi dengan Tangguh Train 3 di Papua.

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan pimpinan Inpex Corporation di Istana Merdeka, Jakarta, 14 Juni 2016./ setkab.go.id/Humas/Jay

Arcandra lalu membandingkan biaya lambung kapal FPSO dengan very large crude- carrier (VLCC) standar yang dibuat baru, juga dengan VLCC yang dikonversi. Perbedaan biaya itu cukup besar. Inpex menjelaskan, acuan industri untuk lambung kapal yang dibuat baru adalah US$ 6.000-8.000 per ton berat lambung kapal.

Tenaga ahli Arun Duggal menilai berat lambung kapal Abadi berada di kisaran yang bisa diterima dibandingkan dengan FPSO serupa. Ia mendukung ukuran dan berat topside Abadi. Ia justru mewanti-wanti: “Melakukan konversi tidak praktis dan akan menyebabkan masalah serius pada stabilitas,” ujarnya seperti dikutip dari risalah rapat.

Notula itu juga menunjukkan Arcandra mempertanyakan penggunaan perangkat lunak untuk desain penambat (mooring).- Ia lalu meminta hitungan dan analisis yang lebih detail. Sebaliknya, Inpex menyatakan desain sudah kokoh untuk keperluan pre-FEED dan penghematan signifikan sudah tercapai. Tenaga ahli Sanjai Jatar mengkonfirmasi bahwa biaya instalasi mooring yang diusulkan Inpex sudah relatif rendah. Tapi Arcandra tetap meminta Inpex mempertimbangkan pengurangan biaya lebih jauh untuk lambung kapal dan fasilitas mooring.

Pada akhir pertemuan, Arcandra meminta Inpex menjawab semua pertanyaan dalam waktu satu pekan sehingga pembahasan POD bisa segera dilanjutkan. Beberapa sumber bercerita, berdasarkan masukan tersebut dan merujuk pada saran para pakar, biaya investasi Masela paling banter hanya bisa ditekan US$ 30-50 juta dari angka yang diusulkan sekitar US$ 20,3 miliar.

Dwi Soetjipto membenarkan ada pertemuan di kantor Kementerian Energi itu. “Kehadiran tenaga ahli dibutuhkan untuk mempercepat proses review sehingga kita tidak menebak-nebak,” katanya. Tapi, ia menambahkan, perbedaan pendapat mengenai kapal sudah tidak menjadi isu utama.

Pertemuan berlanjut di kantor SKK Migas pada 19 Februari 2019. Tapi pembahasan dari rapat ke rapat yang berlangsung alot itu tak kunjung mencapai titik temu. Hingga pada 22 Februari lalu, Jaffee Suardin menyampaikan rangkuman bahan presentasi pengembangan Lapangan Abadi. Ia menyatakan materi tersebut bersifat tidak mengikat karena masih terdapat beberapa hal yang belum disepakati.

Arcandra belum merespons surat permohonan wawancara yang disampaikan Tempo. Ditemui di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa sore, 19 Maret lalu, Arcandra menjelaskan secara ringkas persoalan Masela, tapi meminta tidak dikutip dulu.

Saat dimintai konfirmasi melalui pesan WhatsApp tentang permintaannya agar Inpex menurunkan biaya investasi Masela, Arcandra menjawab: “Yang mengevaluasi rencana pengembangan Masela adalah SKK Migas, bukan saya.” 

SEJAK Presiden Joko Widodo mengubah skema pengembangan kilang gas alam cair Masela dari laut ke darat, penyusunan rencana pengembangan dimulai dari awal. Keputusan itu Jokowi sampaikan saat mendarat di Bandar Udara Supadio, Kota Pontianak, 23 Maret 2016. Inpex diminta mengkaji ulang seluruh usul rencana pengembangan yang telah disampaikan.

Di tengah proses itu, pemerintah berulang kali memprediksi bahwa biaya pengembangan proyek tersebut sekitar US$ 16 miliar. Bahkan, pada 2016, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan biaya Masela bisa ditekan dari US$ 22 miliar menjadi US$ 15 miliar. Angka itu berasal dari penghitungan Arcandra saat ia menjabat Menteri Energi. “Itu yang dilaporkan Pak Arcandra kepada saya,” tutur Luhut di Kementerian Energi, Jakarta, 18 Agustus 2016.

Itu sebabnya dalam beberapa rapat pembahasan Arcandra meminta Inpex menekan ongkos ke kisaran US$ 16 miliar. Angka ini pun masih lebih tinggi dibanding usul Inpex—saat memakai skema kilang terapung di laut—yang nilainya US$ 14,8 miliar.

Inpex belum bersedia menjelaskan perihal tarik-ulur biaya pengembangan Blok Masela. Menurut Senior Specialist Media Relations Inpex Corporation Mochammad Nunung Kurniawan, Inpex masih terus berdiskusi membahas poin-poin rencana pengembangan kilang LNG darat Abadi agar tercapai proyek yang efisien dan kompetitif.

Menurut dia, pekerjaan desain awal atau pre-FEED proyek Masela pada dasarnya telah disepakati bersama dengan pemerintah. Tahap ini telah mempertimbangkan kompleksitas proyek yang terletak jauh di lepas pantai, berada di laut dalam, serta minim infrastruktur.

Inpex mengumumkan pemenang lelang pekerjaan desain awal proyek ini pada Maret 2018. Mereka adalah PT KBR Indonesia serta konsorsium PT Technip Engineering Indonesia dan PT Technip Indonesia. Kurniawan mengatakan dua perusahaan itu menggarap dua pekerjaan yang menjadi bagian dari desain awal Blok Masela.

Pekerjaan desain awal fasilitas kilang gas alam cair di darat dikerjakan PT KBR Indonesia. Sedangkan pekerjaan desain awal fasilitas produksi terapung digarap konsorsium PT Technip Engineering Indonesia dan PT Technip Indonesia. Adapun pre-FEED fasilitas subsea umbilicals, risers, and flowlines dan gas export pipeline dikerjakan Chiyoda-Energy. Kurniawan memastikan para pemenang tender itu perusahaan yang berkompeten dan memiliki reputasi mengerjakan pre-FEED di berbagai proyek migas di dunia.

Pada rapat Senin, 18 Maret lalu, SKK Migas kembali mengundang petinggi Inpex membahas revisi rencana pengembangan Blok Masela. Dalam pertemuan itu, SKK Migas menaikkan estimasi biaya menjadi US$ 17 miliar. Dwi Soetjipto menolak mengomentari hal itu dan sama sekali tak bersedia menyebutkan angka. “Soal itu masih dibahas,” ujarnya. Tapi ia berjanji SKK Migas menyelesaikannya secepat mungkin.

Mundurnya proyek ini otomatis mempengaruhi manfaat yang bisa mengalir ke industri hilir dan masyarakat lokal. Itu sebabnya Bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon berulang kali menanyakan progres proyek ini kepada sejumlah pejabat di Kementerian Energi dan SKK Migas. Menurut Petrus, sudah bertahun-tahun masyarakat Kabupaten Kepulauan Tanimbar—dulu bernama Kabupaten Maluku Tenggara Barat—berharap proyek Masela mendongkrak perekonomian mereka. Petrus yakin aliran investasi di Tanimbar tak hanya membuat Lapangan Abadi berdenyut, tapi juga dapat menekan angka kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

Riwayat Kontrak

16 November 1998

Penandatanganan kontrak.

Desember 2010

Pemerintah menyetujui rencana pengembangan Blok Masela dengan konsep terapung (offshore floating liquefied natural gas). Blok ini akan berproduksi pada 2018.

Maret 2016

Presiden Joko Widodo memutuskan konsep pengembangan Masela berubah dari konsep kilang terapung menjadi di darat (onshore). Dengan skema ini, proyek baru bisa beroperasi 2027.

November 2018

Inpex menyetorkan draf revisi rencana pengembangan (POD).

Januari 2019

Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengklarifikasi serta memberikan rincian pakar dari Houston, Amerika Serikat. Pengkajian ahli ini digelar selama tiga hari.

Maret 2019

Perencanaan pengembangan belum selesai terhitung tiga tahun sejak pemerintah mengubah skema kilang dari terapung menjadi di darat.

RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus