Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memacu Pertumbuhan di Tengah Ancaman Inflasi

Pemerintah berkomitmen menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan inflasi, perlambatan perekonomian global, serta krisis geopolitik. APBN kembali menjadi peredam gejolak masyarakat.

14 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Calon pembeli melintas di area penjualan pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta, 13 Mei 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah berkomitmen menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan inflasi.

  • Kenaikan harga komoditas dunia meningkatkan penerimaan Indonesia.

  • Pemerintah disebut punya andil menggerus daya beli masyarakat dengan menaikkan harga barang.

JAKARTA – Pemerintah memastikan bahwa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas di tengah tekanan situasi global, dari perlambatan ekonomi global hingga tingginya angka inflasi. Karena itu, berbagai kebijakan yang ditempuh pun akan diarahkan untuk mendukung prioritas tersebut.

"Dalam ancaman yang cukup berat ini, prioritas pertama pemerintah adalah menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan yang kami ambil harus tetap dalam konteks menjaga pertumbuhan," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, kemarin.

Di samping mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah memasukkan daya beli masyarakat dan ketersediaan bahan pokok dalam prioritas pemerintah. Pasalnya, ketika pertumbuhan ekonomi membaik, harga juga meningkat. Karena itu, tiga pokok prioritas tersebut terus dilihat dan dievaluasi setiap waktu.

Febrio mengatakan kenaikan harga yang memicu inflasi di berbagai negara sudah terjadi sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Kenaikan harga terutama disebabkan oleh disrupsi suplai setelah pandemi Covid-19 mereda. Menurut dia, pada 2020-2021, masyarakat mengerem mobilisasi dan lebih banyak menabung karena adanya restriksi dalam pengendalian pandemi.

Akibatnya, setelah ada pelonggaran mobilitas, masyarakat melakukan konsumsi lebih cepat dari dua tahun sebelumnya. Hal ini disebut sebagai pent-up demand. "Dengan terjadinya konflik dan sanksi ekonomi yang cukup banyak yang menambah ketidakpastian, kondisi ini menjadi lebih berat lagi," kata Febrio. Meskipun saat ini inflasi masih sesuai dengan proyeksi, yaitu 2-4 persen, ia berujar, pemerintah akan lebih teliti dalam memantau dan menjaga harga berbagai komoditas.

Warga melakukan pembayaran di kasir Transmart Cempaka Putih, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Tak hanya menjadi ancaman, Febrio mengimbuhkan, kenaikan harga komoditas dunia juga menjadi keuntungan bagi Indonesia lantaran penerimaan negara ikut naik. Efek positifnya adalah pemerintah memiliki amunisi lebih banyak untuk menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai peredam guncangan. Seiring dengan hal itu, ia mengungkapkan, banyak peluang pada tahun ini yang bisa mendongkrak ekonomi Indonesia.

"Tidak hanya (pendapatan) dari ekspor yang tinggi karena harga komoditas naik, tapi juga karena struktur perekonomian berubah ke arah yang sehat. Manufaktur kita juga kini lebih berdaya saing," ujar Febrio. Ia mengatakan pemerintah terus melakukan reformasi struktural dan mendorong penghiliran untuk membuat ekonomi tumbuh sesuai dengan rencana pada tahun ini. Dengan berbagai upaya itu, pertumbuhan ekonomi diperkirakan bisa berada di atas 5 persen pada akhir 2022.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, juga optimistis pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini bisa mencapai 5,2 persen seiring dengan dilonggarkannya mobilitas. Meskipun, pada saat yang sama, perekonomian dihadapkan pada laju inflasi yang lebih tinggi.

"Semua negara akan menghadapi steady state inflasi yang lebih tinggi. Namun, dengan pasokan sumber daya alam yang besar, kenaikan harga justru menjadi durian runtuh untuk ekspor Indonesia," kata Iskandar.

Ia menyadari pemerintah saat ini mengambil kebijakan-kebijakan yang menjadi beban bagi pertumbuhan, seperti menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai tahun ini. Walau begitu, Iskandar menyatakan, masih banyak barang strategis yang tidak dipungut PPN. Malah kebijakan tersebut dianggap bisa meningkatkan ruang fiskal bagi stimulus ekonomi lantaran adanya kenaikan penerimaan pajak.

Kebijakan lain yang ramai dikritik adalah larangan ekspor minyak sawit mentah atau CPO dan produk-produk turunannya. Ia optimistis kebijakan tersebut akan memberikan banyak manfaat ketimbang mudarat karena hanya berlaku sementara. Misalnya, harga minyak goreng bisa lebih rendah sehingga permintaan dapat meningkat.

"Jadi, walaupun ekspor turun, stimulus dari permintaan di dalam negeri akibat harga yang lebih murah dapat mengkompensasi penurunan ekspor," tutur Iskandar.

Pekerja melakukan bongkar-muat minyak sawit mentah (CPO) di Pelabuhan Cilincing, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi kunci untuk menurunkan angka kemiskinan di tengah kenaikan inflasi. "Kalau ada kenaikan inflasi kan berarti garis kemiskinannya naik. Tapi, kalau pertumbuhan naik lebih tinggi dari itu, kemiskinan akan turun," kata dia.

Menurut Suahasil, ketika ada pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat pun naik. Karena itu, pemerintah pun tetap mengejar agar pertumbuhan ekonomi bisa dicapai paling tidak 5 persen dan inflasi dijaga di 2-4 persen.

Meski demikian, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa inflasi yang terjadi saat ini berasal dari kenaikan biaya produksi karena melonjaknya harga bahan baku dan distribusi yang berdampak buruk terhadap ekonomi. "Kalau inflasinya bersumber dari sisi permintaan yang naik dan mendorong produsen menyesuaikan harga, tidak masalah," ujar dia.

Bhima pun melihat inflasi juga disumbang dari kenaikan tarif PPN. Artinya, kata dia, pemerintah punya andil untuk menggerus daya beli masyarakat dengan menaikkan harga barang. "Keliru besar kalau inflasi naik karena cost push akan dikompensasi dengan pertumbuhan 5 persen," ujar dia. Musababnya, inflasi akan menaikkan garis kemiskinan, sementara kenaikan upah pekerja tidak setinggi inflasi.

Bhima mencontohkan upah minimum 2022 yang rata-rata naik 1 persen, sementara laju inflasi 3,4 persen secara tahunan. Situasi ini akan menyebabkan banyak pekerja jatuh di bawah garis kemiskinan karena pendapatannya tergerus inflasi. Secara teori, inflasi juga dapat berimbas pada naiknya suku bunga pinjaman.

“Jika suku bunga naik terlalu tajam, KPR makin sulit dijangkau. Banyak milenial terancam jadi gelandangan karena cicilan KPR tak terjangkau," tutur dia.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, justru mengingatkan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi harus dilihat lebih rinci. Misalnya dari sisi konsumsi rumah tangga. Ia mengatakan sekitar 60 persen konsumsi masyarakat disumbang oleh kelas menengah atas dan sisanya menengah ke bawah. "Jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga meningkat, kelompok kelas menengah atas akan terdorong, sedangkan kelas menengah bawah tertekan. Namun, karena proporsinya lebih kecil, konsumsi rumah tangga terlihat tumbuh," kata dia.

Indikator sederhananya, kata dia, bisa dilihat dalam indeks keyakinan konsumen (IKK) pada April lalu. Dalam laporan Badan Pusat Statistik, kelas pendapatan menengah atas mengalami perbaikan IKK. Sebaliknya, IKK kelompok menengah bawah yang berpendapatan atau berpengeluaran Rp 1-2 juta per bulan relatif lebih rendah dibanding IKK pada Maret.

"Jika di sisa bulan ini wacana kebijakan pemerintah jadi dilakukan, seperti menaikkan harga elpiji dan Pertalite, level inflasi akan terdorong lebih tinggi dan menekan daya beli kelompok menengah bawah," kata Yusuf. Kalau itu terjadi, pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal.

CAESAR AKBAR

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus