Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI bukan jurnalis, Trishanty Rondonuwu ikut sibuk tiap majalah Saya dekat tenggat. Dia harus memastikan majalah gratis yang terbit di Jakarta, Makassar, Yogyakarta, dan Surabaya itu tak molor terbit. Misinya: menyediakan informasi yang bisa menginspirasi dan memotivasi anak muda—khalayak sasarannya.
Dibanding satu setengah tahun lalu, ketika Saya mula terbit, kini Trishanty memang tak heboh-heboh amat. Ketika itu ibu satu anak ini terjun langsung menggarap Saya bersama sejumlah wartawan. Lulusan Desain Grafis Universitas Swinburne, Melbourne, Australia itu ikut begadang dua malam merancang tata letak majalah.
Perkara distribusi diurus Hezron Rheza Rondonuwu dan George Adria—abang kandung dan suami Trishanty. Merekalah yang menyebarkan Saya ke sejumlah kafe, resto, dan tempat kumpul anak muda di Jakarta dan Makassar. Bertiga mereka bahu-membahu agar majalah yang baru dirintis itu dapat terbit setiap bulan.
Pada awalnya, tentu saja, Saya tak dilirik pengiklan. Sudah banting diskon sampai 50 persen pun, iklan seperti tak sudi mampir. Soalnya, reputasi majalah gratis sempat ”tercemar”. ”Ada yang bilang sudah teken kontrak pasang iklan, eh, majalahnya malah bubar,” kata Trishanty.
Kendati sepi iklan, edisi perdana Saya akhirnya terbit. Trishanty dan kongsinya mesti merogoh kocek untuk menutup pengeluaran. ”Kalau dihitung-hitung, modal yang kami keluarkan tak kurang dari Rp 350 juta untuk enam edisi pertama,” ujarnya.
Kini Saya terbit teratur, duit pun mengalir mulus. ”Pemasukan iklan sudah bisa membiayai cetak dua edisi ke depan,” kata Trishanty. Hezron dan George pun sudah punya ”pasukan”, tak lagi pontang-panting berdua mendistribusikan majalahnya.
Di kota-kota besar Indonesia, majalah gratis kini makin menjamur. Di Jakarta saja tercatat puluhan majalah gratis yang terbit mingguan, dwimingguan, atau bulanan. Kebanyakan membidik segmen anak muda perkotaan lewat artikel gaya hidup urban, hobi, panduan jalan-jalan dan wisata kuliner.
Para anak muda itu mungkin tetap membaca berita serius politik dan ekonomi. Tapi artikel praktis tentang, misalnya, memilih kemeja kantor, menu makanan sehat, atau di mana bisa berakhir pekan, kini juga menjadi kebutuhan mereka.
Peluang bisnis majalah gratis ini juga ditangkap Novry Sabmen, pendiri majalah ADinfo. Untuk memulai bisnis, Novry menyiapkan dana Rp 200 juta. ”Itu hanya ongkos cetak majalah,” katanya. Pada tahun pertama, ia sempat terseok-seok menerbitkan ADinfo edisi Tebet dan Cibubur.
Kepercayaan pemasang iklan kemudian mengubah kas ADinfo. Kini, memasuki tahun ketiga, Novry bisa menerbitkan majalahnya di sembilan wilayah: Tebet, Cibubur, Depok, Puri Kembangan, Serpong, Cengkareng, Pondok Indah, Kelapa Gading, dan Bogor.
Bahkan djakarta! ikut terjun ke dunia majalah percuma. Sebelumnya, majalah ini memasang bandrol Rp 27.500 per eksemplar. Sejak Juni 2005, di sampulnya hanya tercantum angka ”Rp 1”—alias gratis.
Majalah gratis tentu bukan fenomena Indonesia semata. Seperti diramalkan Philip Meyer dalam bukunya The Vanishing Newspaper, dalam 37 tahun ke depan majalah gratis akan menggusur media cetak konvensional di Amerika Serikat. ”Jika media konvensional tak melakukan perubahan radikal, kematian mereka di ambang pintu,” tulis Meyer, seperti dikutip The Economist, tiga pekan lalu. Toh, bagi Novri, pasar majalah gratis dan konvensional sebetulnya berbeda. ”Kami mengisi segmen yang tidak tergarap media konvensional,” katanya.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo