Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Semadi Bagi Sang Dosen

FISIP UI mengikat dosennya dengan membuat program penelitian dan penulisan buku. Agar tak banyak ”mengamen” di luar.

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Robert Lawang biasa ”mengamen” di luar kampus. Doktor sosiologi itu jadi konsultan penelitian ini dan itu. Waktunya terserap di sana. Manalah bisa ia mengandalkan hidup dari tempatnya mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia?

Ini jamak terjadi pada dosen. Tak banyak waktu untuk mahasiswa. Tidak ada kesempatan melakukan penelitian dan menulis buku. Hanya pengetahuan lama yang diputar-putar di pelbagai kampus oleh seorang pengajar yang sibuk mencari tambahan penghasilan.

Lingkaran inilah yang ingin diputus Dekan FISIP UI, Gumilar Rusliwa Somantri. ”Yang dibangun bukan hanya guru, tapi ilmuwan yang mengajar berbasiskan riset,” kata doktor sosiologi lulusan Universitas Bieleveld, Jerman, itu. Maka, dua tahun lalu ia meluncurkan tiga program yang disambut para pengajar dengan riang: Dosen Inti, Sabbatical Life, dan Penulisan Buku Cepat. Dalam program ini, dosen bisa menulis buku tanpa perlu khawatir dapurnya mengering.

Dua tahun berlalu, hasilnya segera terlihat. Pekan lalu, dalam kegiatan research days di kampus FISIP UI Depok, Jawa Barat, 9 buah buku karya dosen fakultas itu diluncurkan. Pada acara yang baru dua kali diadakan itu, juga dipresentasi 150 makalah karya dosen dan mahasiswa.

Dengan trio program ini, kegiatan ”mengamen” para pengajar FISIP UI menyusut. Kini mereka lebih memilih antre ikut dalam salah satu program. Robert Lawang salah satunya. Sejak Mei lalu, ia terpilih mengikuti program Dosen Inti. Untuk itu, ia mendapat ruang kerja khusus dengan komputer yang terhubung ke ratusan jurnal ilmu sosial di Amerika, Eropa, dan Asia.

Setiap hari, ia bergelut dengan karya-karya sosiolog kondang Max Weber dan Emile Durkheim di Selo Soemardjan Research Center, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. ”Kini saya punya banyak waktu luang,” ujar pria berambut putih itu, yang biasanya tak punya waktu untuk melahap karya Weber, Durkheim, Talcott Parson, atau Karl Marx. Dari bacaan dan riset yang dilakukan, Robert menargetkan menulis buku Pengantar Sosiologi dan makalah untuk dimuat dalam jurnal internasional.

Program Dosen Inti, yang berlangsung selama setahun, memang mewajibkan pesertanya menulis buku, melakukan penelitian, dan menjadi koordinator pengajaran untuk dua mata kuliah. Setiap bulan, Robert mendapat dana tambahan Rp 8,5 juta di luar gaji pokoknya sebagai dosen. Ada 12 staf pengajar yang mengikuti program tersebut pada tahun ajaran 2006.

Robert terbilang aktif memanfaatkan program yang ditawarkan. Sebelum mengikuti program Dosen Inti, ia juga pernah mengecap Sabbatical Life. Ketika itu, ia mendapat cuti mengajar selama enam bulan dan dibebaskan dari tugas-tugas struktural dan administratif. Soal penghasilan? Setiap bulan ia mendapat Rp 10 juta, di luar gaji pokok. Di akhir program, Robert menghasilkan buku Kapital Sosial, yang diterbitkan atas biaya FISIP UI Press.

Buku-buku hasil penelitian serupa juga diproduksi oleh peserta program Sabbatical lainnya, yaitu Makmur Keliat dari Departemen Hubungan Internasional dan Achmad Fedyani Saifuddin dari Departemen Antropologi.

Para peserta program Dosen Inti dan Sabbatical menempati ruangan di Selo Soemardjan Research Center. Selain itu, mulai pekan lalu, mereka juga mendapat tambahan ruang di Gedung Koentjaraningrat, yang baru diresmikan. Tak sembarang mahasiswa dan tamu boleh memasuki kedua tempat itu. ”Ini semacam ruang semadi agar mereka lebih produktif,” kata Haneman Samuel, dosen di Program Pascasarjana Sosiologi.

Tiap departemen memilih wakilnya yang berhak menempati ”pertapaan” tersebut selama enam bulan atau setahun. Mereka harus menandatangani kontrak yang isinya harus sekian jam berada di ruangannya. Jika kontrak dilanggar, fakultas akan menarik fasilitas tersebut.

Satu program lain adalah Penulisan Buku Cepat. Program ini berlangsung selama tiga bulan. Pesertanya adalah dosen yang proposal penulisan bukunya disetujui tim penilai. Mereka tetap mengajar dan melakukan kegiatan akademik lainnya, tapi mendapat insentif untuk menulis buku sebesar Rp 6 juta per bulan.

Setidaknya ada 20 dosen yang telah mengikuti program tersebut. Salah satunya Ricardi Adnan, pengajar muda di Departemen Sosiologi yang telah merampungkanpungkan buku berjudul Potret Suram Bangsaku.

Robert Lawang mengakui program-program tersebut membuat dosen betah di kampus. Ia mengakui selama ini banyak dosen ”mengamen” di luar. Entah mengajar di kampus lain atau menjadi konsultan. Penyebabnya adalah rendahnya penghasilan. Seorang profesor dengan golongan IV cuma menerima gaji sekitar Rp 4 juta sebulan. ”Untuk hidup layak di Jakarta, gaji minimal seorang dosen harus Rp 10 juta,” katanya.

Lalu, bagaimana FISIP UI bisa menjaga dapur para dosennya? Sementara tak ada satu sponsor pun mereka libatkan dalam tiga program di atas. Sumber duit ternyata dari dalam fakultas sendiri. Pelbagai program pendidikan komersial, juga kantin, parkir, dan tempat fotokopi, adalah sumber uang yang selama ini tak dikelola dengan transparan. Gumilar menatanya sejak menjabat Dekan FISIP UI empat tahun silam. Jumlahnya ternyata lumayan besar. Dari situlah dana mengalir kembali ke para dosen melalui tiga program tadi.

FISIP termasuk pionir di lingkungan UI maupun universitas lain di Indonesia untuk program riset dan menulis buku bagi para pengajar. Program ini dipuji oleh Rektor UI, Usman Chatib Warsa. Dia berharap fakultas lain mencontoh program tersebut. ”Hal itu dimungkinkan karena saat ini UI sudah menjadi badan hukum milik negara (BHMN),” katanya. Sayangnya, hingga kini di Indonesia belum ada aturan mengenai program sabatikal atau cuti panjang bagi para dosen.

Tak adanya beleid yang jelas itu membuat banyak universitas tidak merasa wajib melaksanakannya. Kendala lain adalah biaya. Hal ini diakui Rektor Universitas Gadjah Mada, Sofian Effendi. ”Anggaran kami sangat terbatas,” katanya. Saat ini UGM harus memenuhi sendiri separuh biaya pendidikan. ”Pemerintah hanya memberi subsidi 50 persennya.”

Beruntung sejumlah dosen UGM sudah mengecap sabbatical life di beberapa perguruan tinggi luar negeri. Mereka melakukan penelitian sekaligus menjadi dosen tamu di universitas yang membiayainya selama enam bulan sampai setahun. UGM membantu mereka secara diam-diam. ”Kami pura-pura tidak tahu saja dan gaji mereka sebagai dosen tetap kami bayar penuh,” ujar Sofian.

Untung Widyanto, Syaiful Amin (Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus