PRODUKSI dalam negeri ternyata hampir selalu menghadapi soal rendahnya kualitas dan tingginya harga jual. Kapas lokal yang seratnya pendek dan harganya Rp 1.650 per kg itu, rupanya, sangat sulit dijual tahun ini. Sampai akhir 1985 lalu, persediaannya yang tercatat masih 8.545,5 ton, atau hampir seluruh produksi sepanjang 12 bulan itu, praktis tidak berpindah gudang. Biasanya kapas lokal itu hampir seluruhnya diserap PT Industri Sandang (Insan) I dan II. Apa akal supaya petani dan perusahaan perkebunan tidak kapok menanam komoditi itu? Jalan pintas akhirnya ditempuh: pemerintah mengharuskan industri pemintalan mengambil kapas lokal, jika mereka membeli kapas impor - seperti tertuang dalam SK Menteri Perdagangan 5 Desember 1985. Di situ disebut, setiap pengambilan satu bagian kapas lokal, mereka diizinkan membeli kapas impor 10 bagian. Disukai atau tidak, bentuk perlindungan bagi penanam kapas itu bakal menyebabkan sektor industri pemintalan memikul beban kenaikan biaya produksi. Maklum, harga kapas eks Amerika yang terbaik kini bisa mereka beli Rp 1.350 per kg, cukup murah dibandingkan kapas lokal yang Rp 1.650 per kg. Menurut Wibowo Moerdoko, Direktur Produksi Insan I, secara moril pihaknya memang berkewajiban memecahkan menumpuknya kapas lokal itu. "Tapi bagaimana dengan biaya produksi dan daya saing kami?" katanya balik bertanya. Usaha menekan biaya produksi itu sudah dicobanya dengan meminta PT Kapas Indah Indonesia menuruh harga jual kapas produksinya. Tapi anak perusahaan grup PT Berdikari itu tak bisa memenuhinya. "Karena akan merugi," kata Ahmad Nurhani, Wakil Presiden Direktur Berdikari. Menurut dia, harga kapas lokal memang tak bisa menyaingi harga kapas impor, karena produktivitasnya rendah dan biaya produksinya tinggi. Pemerintah sebenarnya sudah mensubsidi harga terhadap insektisida dan pupuk. Mungkin, karena sekitar 75% dari biaya produksi untuk pengadaan insektisida, maka biaya menghasilkan kapas tetap tidak bisa ditekan. Karena itu, agaknya, Kapas Indah harus membeli kapas biji dari petani seharga Rp 400 per kg. Setelah diproses mencapai Rp 1.500 per kg, kemudian dijuai Rp 1.650 per kg. Tak jelas berapa laba bisa dikantungi perusahaan itu. Yang pasti, dengan harga jual setinggi itu, Kapas Indah dikabarkan masih memberikan subsidi kepada para penanam Rp 70 ribu per ha. Padahal, areal kapas milik perusahaan itu meliputi 4.000 ha. Kalau harga kapas diturunkan jadi Rp 1.567,50, Nurhani memperkirakan, Kapas Indah akan rugi Rp 2,3 milyar lebih Insan, sebagai pembeli cukup besar, rupanya tetap tidak setuju dengan penawaran itu. Akhirnya, tahun ini, Insan I hanya membeli kapas lokal itu sebanyak 13 ribu bal (2.925 ton). Biasanya, perusahaan milik negara ini setiap tahun membeli kapas lokal 15 ribu bal (3.375 ton), di samping membeli kapas impor 25 ribu bal (5.625 ton). Januari mendatang, Insan akan mengambil kapas eks Pakistan, yang lebih murah dibandingkan eks Amerika, untuk mengimbangi pembelian kapas lokal yang mahal. Kapas Pakistan dianggap tidak terlalu buruk. Dari sektor industri pemintalan swasta sampai kini belum terdengar ada rencana untuk mengkompensasikan bakal bertambahnya biaya akibat harus membeli kapas lokal itu. PT Primatexco, misalnya, hanya secara samar-samar menyebut rencana menjual kembali kapas lokal yang kelak bakal dibelinya itu kepada pihak lain, karena seratnya dianggap kurang panjang bagi pembuatan tekstil produksinya. Dari kebutuhan kapas 250 ribu bal (56.250 ton setiap bulan, kapas lokal yang harus dibelinya sekitar 2.500 bal (562,5 ton). Mereka yang tidak menyukai kapas lokal, karena alasan teknis atau mutu, oleh pemerintah diberi pilihan menarik: mereka boleh membeli bukti serap (busep) milik perusahaan lain untuk membeli kapas impor. Supaya industri pemintalan swasta tertarik, harga busep yang dijual itu, tentu, harus lebih rendah dari harga beli kapas lokal. Dalam kaitan itu, Insan tampaknya paling siap untuk jadi pihak penjual. "Kalau ada pengusaha yang tidak butuh kapas lokal, bisa beli pada kami," kata Moerdoko. KARENA itu, agaknya, dalam pertemuan pertengahan Desember lalu Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan tak keberatan menerima beleid Menteri Perdagangan Rachmat Saleh itu. Bagaimana dengan Insan I ? Untuk menutupi kerugian akibat penjualan busep itu, mungkin, persero ini harus mengimpor kapas Pakistan dalam jumlah besar, sambil tentu mengurangi pembelian kapas Amerika. Dan, jika suatu kali persero negara ini dianggap kurang berhasil dalam mengatur komposisi pembelian kapasnya, maka rasio penyerapan kapas itu akan diubah hingga perbandingannya dianggap bisa melindungi kepentingannya. "Tapi, yang penting, rasio satu banding sepuluh itu jalan dulu supaya tidak menimbulkan gejolak industri dalam negeri," kata seorang pejabat Departemen Perdagangan. Sejauh-jauh pemerintah membuat kebijaksanaan, kepentingan perusahaannya tentu tetap dilindungi. E.H. Laporan Suhardjo H.S.(Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini