Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengisi Laci Pemda

Pbb yang sudah disahkan dpr, 90% untuk daerah tingkat i dan ii, dan 10 % untuk pusat, yang nantinya tersedot ke daerah juga. pengelolaan dana pbb diserahkan kepada pemda masing-masing.

4 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI tahun baru 1986 ini, tampaknya banyak kepala daerah akan merasa sedikit lega. Soalnya, UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang baru saja disahkan DPR, menjanjikan pembagian pendapatan cukup besar (90%) bagi daerah tingkat I dan II atas hasil pemungutan pajak itu. Bagian pemerintah pusat yang 10% praktis juga akan tersedot ke daerah, karena akan digunakan untuk membayar PBB tanah dan gedung milik pusat di daerah. Dalam kaitan itu, pekan lalu, Presiden Soeharto memutuskan pembagian PBB untuk daerah itu diatur 80% untuk dati II, dan 20% untuk dati I. Bisa dipahami jika pembagian untuk dati II lebih besar mengingat kabupaten sudah tidak diperbolehkan lagi memungut pajak atas hasil bumi dan retribusi jalan. Dulu, sebelum pemerintah berusaha menggalakkan ekspor komoditi nonmigas, jenis pungutan hasil bumi besar peranannya dalam mengisi laci pemda dati II. Yang kini belum bisa diketahui adalah jumlah rencana penerimaan PBB seluruh Indonesia. Jika wajib iur Ipeda boleh dijadikan pegangan, wajib pajak PBB ini sudah tercatat 30 juta, 25 juta di antaranya di pedesaan. Tahun 1984-1985 lalu, Ipeda yang dikumpulkan dari situ sekitar Rp 166 milyar, naik dari tahun anggaran sebelumnya yang Rp 138 milyar (lihat Grafk). Belum jelas benar apakah dengan UU PBB yang biru itu, jumlah wilayah yang dipajaki Ipeda (baru sekitar 6,8% dari luas daratan yang 190 juta ha) bisa dinaikkan lagi. Juga masih teka-teki, apakah ketentuan pajak baru itu bisa menggantikan kehilangan pendapatan pajak kekayaan yang tahun lalu mencapai Rp 46 milyar. Seperti diketahui, dengan diberlakukannya UU PBB itu, maka otomatis pajak kekayaan, retribusi jalan, pajak rumah tangga, Ipeda, dan ordonansi verponding 1923 dan 1928, yang selama ini jadi sumber penting bagi pemda, tak berlaku lagi. Karena itu, maka pengelolaan dana PBB nantinya diserahkan sepenuhnya kepada pemda masing-masing. "Pemerintah pusat tidak akan ikut campur dalam urusan itu," kata Dirjen Pajak Salamun A.T. Begitu juga untuk daerah Timor Timur, berlaku ketentuan seperti daerah lain. "Tapi kami juga memperhatikan beberapa hal tertentu," .katanya. Timor Timur, yang baru masuk, tampaknya, akan menghadapi sedikit kesulitan dalam menerapkan UU PBB. Situasinya tentu beda dengan Sumatera bagian Utara (Aceh, Sum-Bar, Sum-Ut, dan Riau), yang mempunyai catatan 2,4 juta lebih wajib pajak Ipeda. Wajib pajak kekayaannya sendiri tercatat 250 ribu orang. Dengan UU PBB itu, jumlah wajib pajak tadi diharapkan bisa bertambah lagi. Sebab menurut Utomo, Kepala Kanwil Ditjen Pajak Sumatera bagian Utara, pengukuran tanah dan bangunan akan dibantu juga dengan foto udara. "Berarti bisa lebih obyektif dan efektif, apalagi dasar penilaian dilakukan dengan mengukur luas tanah, bangunan,-dan nilai jual kena pajak," katanya. Wajib pajak ternyata juga senang. Dengan UU PBB itu pihak PNP/PTP IX Tembakau Deli di Medan, misalnya, boleh jadi akan membayar pajak lebih kecil karena pengenaan hanya dilakukan terhadap luas tanah dan banyaknya bangunan. Selama ini, persero negara yang mempunyai areal perkebunan 44 ribu ha harus membayar Ipeda tidak hanya berdasarkan luas lahan perkebunan saja, tapi juga dihitung dari hasil kotor pendapatannya. Karena itu, tak heran Ipeda yang harus dibayarnya lebih dari Rp I milyar setahun. "Ipeda tetap berjalan seperti biasa walau perusahaan tumpur (bangkrut)," kata N.S. Tarigan, Humas PTP IX Tembakau Deli di Medan. Tentu tidak semua pihak senang, terutama mereka yang mempunyai tanah dan bangunan di wilayah mahal, yang infrastrukturnya bagus. Dengan UU PBB mereka memang bakal membayar lebih mahal dari sebelumnya. Dalam kaitan itu, Utomo mengingatkan berlakunya UU PBB itu tidak berarti akan menghapuskan tunggakan pajak sebelumnya. "Pajak tetap ditagih, hingga batas waktu tahun 1990 nanti," katanya. Eddy Herwan Laporan Amir S.T.(Medan) dn Yulia S.M. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus