Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil pemeriksaan Inspektorat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu sungguh membuat gerah direksi Perusahaan Listrik Negara. Tim Inspektorat menilai PLN melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa karena meneken kontrak dan membayar uang muka kepada vendor sebelum lahan bebas.
Audit dilakukan terhadap unit induk pembangunan jaringan yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Tahun ini perusahaan setrum pelat merah itu mendapat alokasi Rp 6 triliun untuk membangun infrastruktur pembangkit dan jaringan.
Dua pekan lalu manajemen PLN pun mendatangi kantor Direktorat Jenderal Perbendaharaan di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Ditemani Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mereka mengeluh kesulitan menyerap anggaran negara.
Alasannya, aturan yang menjadi payung hukum tidak mendukung pelaksanaan proyek. "Ada sesuatu di domain atas yang mesti dibenahi," kata Kepala Divisi Administrasi Konstruksi PT PLN (Persero) Tri Nugroho, Kamis pekan lalu.
Setelah mengadu ke Lapangan Banteng, mereka meluncur ke kantor Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, di kompleks Sekretariat Negara, Jakarta. Persoalan sulitnya menyerap anggaran kembali diungkapkan kepada Kuntoro, yang juga menjadi Ketua Tim Evaluasi Pelaksanaan dan Pengawasan Penyerapan Anggaran.
Kementerian Energi berkepentingan menjelaskan hal itu karena disebut sebagai institusi yang realisasi belanja modalnya tergolong rendah. Per semester pertama tahun ini, kementerian yang dipimpin Jero Wacik itu cuma menggunakan Rp 1,75 triliun atau 11,1 persen dari total anggaran yang mencapai Rp 15,8 triliun.
Lembaga lain yang tingkat penyerapan anggarannya rendah adalah Kementerian Perumahan Rakyat. Kementerian yang dipimpin Djan Faridz ini menyerap Rp 110 miliar atau 2,39 persen dari total bujet Rp 4,6 triliun tahun ini. Kementerian Pemuda dan Olahraga, yang mendapat jatah Rp 1,8 triliun, juga baru memakai Rp 74,6 miliar atau 4,25 persen saja. "Kami menyampaikan masalah PLN adalah pengadaan tanah, mereka terkejut semua," Tri menambahkan.
Sejumlah proyek pembangunan pembangkit dan transmisi PLN di berbagai wilayah memang terhambat lahan. Toh, manajemen perusahaan pelat merah ini nekat meneken kontrak, bahkan membayar uang muka kepada penyedia barang dan jasa. Padahal Pasal 88 Perpres itu mengatur: uang muka seharusnya digunakan untuk pembayaran tanda jadi kepada pemasok, dan persiapan teknis yang diperlukan.
Kebijakan pembayaran itu, menurut hasil pemeriksaan, juga menabrak Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2011 tentang tata cara pengajuan persetujuan kontrak tahun jamak. Ketentuan ini sebenarnya membolehkan pembebasan tanah berjalan simultan dengan pembangunan proyek. Tapi cuma berlaku terhadap infrastruktur yang memerlukan pembebasan lahan dalam jumlah besar. Misalnya bandar udara, pelabuhan, jalan, irigasi, rel kereta api, dan transmisi listrik.
Nah, gardu induk tidak termasuk kategori Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Maka tanah yang akan menjadi lokasi pembangunan proyek harus bebas terlebih dulu.
Dalam mengajukan permohonan persetujuan kontrak tahun jamak, PLN mestinya melengkapi dengan surat pernyataan bahwa pengadaan lahan telah tuntas. Surat pernyataan harus dibuat oleh pengguna anggaran.
Inspektorat Jenderal juga menilai materi kontrak tidak sesuai dengan perpres. PLN diminta memperbaiki kontrak itu. Irjen juga meminta kuasa pengguna anggaran (Dirjen Ketenagalistrikan) meningkatkan pengendalian dan mematuhi perundangan, dalam penggunaan bujet negara.
Permintaan itu tertuang dalam surat yang diteken pelaksana tugas Inspektur Jenderal M. Teguh Pamudji kepada Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, tertanggal 25 Juli 2012. Tujuannya mencegah praktek yang berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menghindari akibat hukum di kemudian hari.
Tim Inspektorat mempertanyakan pula pembayaran material on site dalam pembangunan gardu induk dan jaringan transmisi sebagai prestasi pekerjaan. Material on site merupakan bahan yang diperlukan untuk pembangunan dan telah didatangkan ke lokasi proyek. Semestinya, mengacu ke perpres, pembayaran untuk pekerjaan konstruksi dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang.
Ketentuan itu, menurut Tri, sungguh tidak jelas. Menurut Keppres Nomor 80 Tahun 2003, uang muka peralatan dari manufaktur di luar negeri, lantas dibawa ke lokasi proyek, bisa dibayar oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Nah, perpres yang baru menyebut material harus terpasang. Malah ada yang menginterpretasikan terpasang dan berfungsi di atas fondasi, barulah bisa dibayar. Kalau harus menunggu beroperasi, akan lebih lama.
Direktur Konstruksi PLN Nasri Sebayang menambahkan, proyek kelistrikan berbeda dengan infrastruktur lain. Dalam proyek setrum, perangkat seperti trafo harus dirakit di pabrik. Proses ini bisa memakan waktu setahun. Artinya, bila kontrak harus dibuat setelah masalah lahan rampung, waktunya akan lebih lama.
Persoalan lain, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 Tahun 2011 memisahkan gardu induk dari transmisi. Padahal Undang-Undang Ketenagalistrikan tidak membedakan keduanya, gardu induk adalah bagian dari transmisi. Undang-undang itu hanya membaginya menjadi tiga bagian: pembangkit, transmisi, dan distribusi.
"Ada perbedaan interpretasi, sehingga KPPN tidak mau mencairkan anggaran," ujar Tri. "KPPN mempertanyakan bukti terpasang, bukti berfungsi." Akhirnya, hanya sebagian proyek yang uang mukanya dibayar. PLN membayar dengan menggunakan anggaran tahun jamak alokasi tahun sebelumnya yang belum terpakai, dan diluncurkan ke tahun ini.
Sumber Tempo di pemerintahan membenarkan bahwa UU Ketenagalistrikan mengatur gardu induk merupakan bagian dari infrastruktur transmisi. Tapi, dalam penganggaran, mekanisme pencairan dananya terpisah per proyek. Jadi, ada proyek gardu induk, jaringan, transmisi, yang masing-masing memiliki alokasi anggaran sendiri.
Persoalan pembayaran uang muka dan material on site itu dibahas dalam rapat di Kementerian Energi pada 21 September 2012. Petinggi yang hadir antara lain Wakil Menteri Rudi Rubiandini, Sekretaris Jenderal Waryono Karno, pelaksana tugas Inspektur Jenderal M. Teguh Pamudji, Dirjen Ketenagalistrikan Jarman, dan Staf Khusus Menteri Susilo Siswoutomo.
Rapat memutuskan pembayaran uang muka atas pembangunan transmisi atau gardu induk dapat dibayarkan kendati persoalan lahan belum tuntas, dengan jaminan garansi bank. Sedangkan pembayaran terhadap kemajuan pekerjaan, termasuk material on site, dilakukan menurut ketentuan kontrak.
"Lupa saya. Kalau hal teknis seperti itu mungkin ditangani Dirjen, tidak sampai ke level saya. Saya lebih ke soal kebijakan," kata Rudi ketika Bernadette Christina dari Tempo menanyakan hal itu. Sedangkan Jarman tak menanggapi permintaan penjelasan Tempo melalui pesan pendek dan telepon.
Pengerjaan proyek tahun jamak alias multiyear, sumber Tempo menjelaskan, menuntut adanya surat pernyataan dari pengguna anggaran (Menteri Energi) tentang kelayakan proyek tersebut. Menteri memang mutlak bertanggung jawab. Dengan dasar itu, Kementerian Keuangan mencairkan duit, termasuk dana luncuran.
Persoalannya, kata sumber Tempo, penggunaan dana luncuran kerap menjadi modus upaya pengambilan dana APBN. Padahal dana luncuran bersifat menalangi. "Setiap anggaran sudah ada alokasinya masing-masing. Tidak bisa digunakan ke sana-kemari secara semrawut."
Keputusan rapat eselon I Kementerian Energi yang "memutihkan" temuan Inspektorat Jenderal, menurut dia, tindakan yang tidak benar. Apalagi pelaksana tugas Irjen ikut serta dalam rapat tersebut. "Mereka melakukan hal yang tidak menjadi kewenangannya." Padahal temuan tim Irjen merupakan hasil pemeriksaan lapangan.
Toh, Nasri memastikan tidak ada kerugian keuangan atas pembayaran uang muka. Pembayaran itu dijamin bank yang setiap saat bisa dicairkan. Jaminan dikeluarkan oleh bank yang diakui kredibilitasnya oleh PLN. "Jadi secara keuangan tidak ada masalah. Dan yang penting ada jaminan bahwa proyek berjalan lancar."
Rencananya, Menteri Energi akan menerbitkan surat keputusan sebagai petunjuk teknis pelaksanaan perpres. Beleid itu akan digunakan sebagai payung hukum yang melindungi PLN. "Sedang disiapkan permen ESDM. Diharapkan bisa terbit pekan ini atau pekan depan," ujar Nasri.
Dalam menyusun aturan baru itu, menurut Nasri, Kementerian Energi bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa aturan baru tidak menabrak aturan di atasnya, yakni Perpres Pengadaan Barang dan Jasa.
Retno Sulistyowati, Amandra Mustika Megarani
Realisasi Penyerapan APBN 2012 PT PLN (Persero)
Penyerapan (Persen) | Penyerapan (Persen) | |
Jaringan Sumatera I | - | 1,597 |
Jaringan Sumatera II | 22,29 | 0,868 |
Pembangkit dan jaringan Nusa Tenggara | 8,83 | 0,381 |
Pembangkit dan jaringan Kalimantan | 27,80 | 27,80 |
Pembangkit Sulawesi, Maluku, Papua | - | 0,460 |
Jaringan Sulawesi, Maluku, Papua | 12,12 | 0,867 |
Jaringan Jawa-Bali | - | 0,813 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo