MENABUNG dalam celengan, menurut John Maynard Keynes, adalah perbuatan asosial. "Jika Anda menabung 5 shilling (sekitar Rp 70), maka akan ada orang yang kehilangan pekerjaan," kata bapak ekonomi ketenagakerjaan yang terkenal dari zaman depresi itu. Ajaran Keynes ini rupanya tengah merasuki kalangan perbankan kita. Pada dasawarsa 1970, mereka enggan melayani program tabungan, sehingga Bank Indonesia sendirilah yang melancarkan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas). Bank-bank enggan menangani penabung kecil, yang dianggap mirip kereta api langsir hilir mudik, dan cuma menciptakan kemacetan dana perbankan. Mereka hanya mau bermain dengan dana-dana besar, terutama dari perusahaan-perusahaan. Sampai 2-3 tahun lalu, hanya bank-bank yang kesulitan likuiditas yang mau menerima titipan deposito Rp 100.000. Bahkan 2-3 bulan silam, bank rata-rata hanya mau menerima titipan uang (deposito) Rp 500.000 ke atas. Tapi sekarang bank-bank bagaikan berlomba mengejar penabung kecil. Setiap hari diteriakkan di radio. Atau dipampangkan di koran dan majalah -- lewat berbagai iklan -- tentang bank-bank yang bersedia melayani tabungan minimal Rp 50.000, Rp 25.000, bahkan Rp 10.000. Pelayanannya malah lebih menarik daripada Tabanas. Tabanas, misalnya, hanya boleh diambil 2 kali sebulan, dan bunga hanya diberikan sekali setahun. Sedangkan tabungan-tabungan baru kini bisa diambil 6 kali sebulan, bunganya dihitung setiap bulan. Bahkan Bank Niaga berani menawarkan Tabungan Bunga Harian. Ingar-bingar perburuan tabungan itu justru terjadi ketika bank-bank sedang kelebihan likuiditas (sejak 25 Maret terjadi rush penjualan dolar oleh lembaga-lembaga keuangan). Tak jelas motivasinya. Mungkin kini bank-bank sudah ingin berakar di masyarakat. Mungkin juga karena biaya tabungan ternyata lebih murah dari deposito. "Administrasi tabungan juga tak serepot rekening giro," kata seorang bankir. Mengherankan juga bahwa biaya dana yang murah semacam itu baru disadari oleh para bankir belakangan ini. Bank Danamonlah yang pertama kali memburu para penabung kecil itu. Awal April 1988, Danamon memperkenalkan tabungan Primadana. Dalam tempo 3 minggu, Danamon berhasil mengumpulkan Rp 130 juta dari 450 nasabah. Ini jauh lebih tinggi dari dana deposito yang mengendap di Danamon, yang waktu itu tak sampai Rp 120 juta (TEMPO, 7 Mei 1988). Sukses Danamon rupanya ditiru bank-bank lain. BNI memperkenalkan Tabungan Plus (Taplus), Bank Surya Indonesia dari Surabaya memperkenalkan tabungan Danamas, yang mirip Primadana. Kemudian muncul tabungan berhadiah pula. Mula-mula Bank Pacific, yang meluncurkan TOP (Tabungan Optimal Pacific) dengan 6 undian berhadiah, yakni: 2 paket hadiah pertama liburan ke Bali, 2 hadiah kedua berupa emas murni 30 gram, dan 2 hadiah ketiga berupa jam tangan eksklusif Charles Jourdan. Kemudian sekali barulah muncul kelompok Lippo bank, yang memburu penabung kecil (Rp 10.000) dengan undian berhadiah total Rp 500 juta. Tabungan ini terkenal dengan nama Tahapan (Tabungan Hari Depan). Cukup mengesankan bahwa para penabung kecil (Rp 10.000) itu justru diincar oleh raksasa BCA (Bank Central Asia) bersama tiga bank kelompok Mochtar Riady (Lippobank, Bank Umum Asia, dan Bank Bhumy Bahari). Itu pun sudah dengan iming-iming lotere yang menawarkan 351 jenis hadiah (dari 0,5 juta sampai Rp 150 juta). Perburuan berhadiah menjadi sedemikian rupa, hingga menimbulkan ketegangan di kalangan perbankan. Preskom Overseas Express Bank, I Nyoman Moena, menuding Tahapan sudah berbau judi, yang tak pantas dilakukan oleh bank yang profesional. Kritik senada dilontarkan pula oleh Presdir Panin Bank, Priyatna Atmadja. Tapi Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, dua pekan silam, menilai bahwa persaingan bank-bank dalam mengumpulkan tabungan itu masih berada dalam tingkat wajar. Komentar ini ternyata tak meredakan suhu persaingan, yang justru melonjak kian panas. Puncaknya terjadi pekan silam, ketika pengurus Perbanas (Perhimpunan Bank-Bank Nasional Swasta) memanggil Mochtar Riady untuk menjelaskan soal Tahapan yang dituduh berbau judi itu. Di kantor Perbanas yang bertaplak hijau itu, Dr. Mochtar Riady, yang datang bersama pengurus Grup Lippo, konon bisa memberikan pertanggungjawaban dengan baik. (Lihat Memancing Gaya Mochtar). Tabungan yang dilancarkan Mochtar ternyata merupakan suatu strategi makro yang cukup hebat. Bertolak dari dugaan bahwa dewasa ini masih cukup banyak masyarakat yang menabung dalam celengan atau bambu, Mochtar memperkirakan, potensi dana yang belum tergali ada sekitar RP 3 trilyun setahun. "Jika satu pabrik membutuhkan modal Rp 1 milyar dan 50 karyawan, maka uang Rp 3 trilyun itu bisa membangun 3.000 pabrik, yang, dapat menyerap 150.000 karyawan," kata Laksamana Sukardi, 32 tahun, Direktur Pelaksana Lippobank, mengutip taipan Mochtar. Prhitungan RP 3 trilyun tadi diperoleh dari perkiraan ada 30 juta keluarga di Indonesia - 175 juta penduduk diasumsikan rata-rata terdiri dari 6 orang - yang rata-rata bisa menabung RP100.000 setahun. Sedangkan jumlah tabungan yang dapat dihimpun seluruh perbankan kini baru sekitar RP 2,4 trilyun -- termasuk Tabanas yang sekitar RP 1,5 trilyun. Mochtar juga berpendapat bahwa program menabung masih perlu dirangsang dengan undian berhadiah. Sebab, secara psikologis, masyarakat masih tergila-gila pada undian berhadiah. Tapi diakuinya, formula Tahapan bukanlah hasil penemuannya pribadi. Tahapan dengan undian berhadiah besar itu dibuat menurut pola tabungan berhadiah di luar negeri. Sekalipun total hadiah "cuma" Rp 5 00 juta, sambutan khalayak luar biasa. Dalam waktu singkat, berbagai cabang kelompok BCA sudah menghimpun milyaran rupiah. Mulailah terlontar bisik-bisik dan keresahan. Spekulasi, kata yang satu. Judi, yang lain menuduh. Di tengah galau pihak-pihak yang merasa terancam, Mochtar lalu mengajak bank-bank lain untuk bergabung menjalankan Tahapan. Tawaran Mochtar tak bergema. Bank-bank lain condong menawarkan tabungan berhadiah baru. Sementara ini, kabarnya, sudah ada 30 bank bergabung, untuk melancarkan tabungan berhadiah total yang jauh lebih besar dari Tahapan. Apakah kerja sama itu akan jalan, masih harus dibuktikan. "Tidak mudah bekerja sama dengan bank lain," kata Bobby Sudarso, Direktur Bank Arta Pusara. "Daripada ikut-ikutan, lebih baik jalan dengan percaya diri," katanya lagi. Itu sebabnya, bank kelas papan tengah Perbanas ini menjalankan program sistem tabungan tersendiri, yakni 3 jenis tabungan Arta. Bank papan tengah lainnya, NISP, juga tak khawatir menghadapi tabungan seperti Tahapan. Dua pekan silam NISP, seperti dituturkan Direktur Anwary, telah melakukan angket di kalangan penabung. "Dari 1.000 responden, ternyata hanya 2% mengharapkan hadiah besar. Sisanya mementingkan pelayanan," kata Anwary. Karena itu, NISP akan berusaha meningkatkan pelayanan, ketimbang membagi-bagi hadiah. Bank Pinaesaan dari Manado, yang berkantor cabang tepat di depan BCA di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, juga tak tertarik melancarkan Tahapan. Bank kelompok Udatin ini sudah mempunyai kiat sendiri untuk menjaring penabung. "Kami telah memperkenalkan Tabungan Lebaran dan Natal. Banyak peminatnya," kata Louis J.H. Eman, pemimpin Bank Pinaesaan cabang Jakarta. Tabungan itu hanya boleh diambil seminggu sebelum hari raya. Setoran minimal hanya Rp 500, dan berbunga 17% setahun. Di Bank Pinaesaan juga ada Tabungan Pinaesaan, yang bisa diambil 5 kali sebulan, berbunga 15% dihitung dari saldo terendah. Selain itu, Pinaesaan juga telah melancarkan Tabungan Target -- mirip TUM KPR BTN -- yang hanya boleh diambil jika target (misalnya Rp 1 juta) sudah tercapai. Tabungan target ternyata juga hendak dilancarkan dalam waktu dekat oleh Bank Duta. "Kami akan memberikan bunga sekitar 17%. Daripada memberikan hadiah kepada segelintir orang, lebih baik hadiah itu diberikan langsung kepada penabung," kata Wakil Dirut Bank Duta, Dicky Iskandar Di Nata. Tapi tabungan berbunga 17% itu tak termasuk kategori Tabanas, sehingga dikenai pajak 15%. Berarti penabung hanya akan menerima 14,45%, dan bonusnya tersalur ke pemerintah. Iya, kan? Sejauh ini Dicky tak khawatir pemilik dana di Bank Duta akan kabur. Bukan hanya karena Bank Duta milik Yayasan Dharmais dan Supersemar. Bank Duta juga menawarkan "deposito plus" giro, kartu kredit Visa, dan pinjaman sampai 85% dari deposito. Dengan yakin Dicky bertanya, "Apakah mereka akan mengorbankan hubungan baik yang sudah enak disini, hanya karena iming-iming hadiah.?" Jawaban yang tepat tentu ada pada nasabah . Bicara soal hadiah, menurut Dirut BRI Kamardhy Arief, apa yang dilakukan grup Lippo sebenarnya bukan hal baru. "Kami telah lebih dulu," kata Kamardhy (Lihat Bermula dari Bankir Bali). BRI merintis dengan Simpedes (Simpanan Pedesaan) -- pertama kali dicoba di Sukabumi pada 1983 -- dan kini telah dilaksanakan pada 2.500 kantor cabang BRI di pedesaan. Simpedes setiap 6 bulan memberikan hadiah 0,625% dari posisi tabungan semester sebelumnya. Tahun 1986, jumlah Simpedes mencapai Rp 82 milyar, sehingga hadiah undian yang diberikan bernilai Rp 612 juta. Tahun 1987, simpanan itu melonjak Rp 182 milyar, maka hadiah undian naik jadi Rp 1,9 milyar. Dan tahun lalu jumlah Simpedes menggelembung jadi Rp 342 milyar, sehingga BRI harus menyediakan hadiah Rp 3,5 milyar. Posisi Simpedes pada akhir April 1989 sudah mencapai Rp 400 milyar. Ini berarti, pada semester I tahun ini BRI harus menyediakan hadiah undian sekitar Rp 2,1 milyar. "Jadi, kalau dilihat jumlah hadiah, kami lebih unggul. Tahapan cuma memberikan hadiah Rp 2 milyar setahun, sedangkan Simpedes Rp 4 milyar lehih ' tutur Kamardhy, bangga. Hadiah yang dibagikan BRI juga lebih banyak, karena undian dipecah-pecah di setiap kantor cabang. "Hadiah berbentuk mobil, sepeda motor, atau barang lain. Bisa ditukar dengan uang,"ucap Dirut BRI tadi. Kamardhy toh menilai Tahapan, yang diundi per triwulan, kurang realistis dilihat dari perhitungan biayanya. "Bagaimana memutarkan dana itu, itulah masalahnya," kata Kamardhy. Biaya Simpedes saja memakan sekitar 7% (dari hadiah, promosi ) . "Jika Simpedes memberikan bunga 13% setahun, maka biaya pengerahan dana itu mencapai 20%." Simpedes toh, katanya, masih lebih murah dari deposito, yang bunganya saja sudah sekitar 17%. Lagipula, tabungan bisa dipakai untuk pembiayaan angka panjang. Dalam pengamatan Kamardhy, penabung biasanya mempunvai target setahun, sedangkan 30% dana tabungan biasanya akan terus mengendap . Jika Tahapan berhasil meraih target Rp 200 milyar, memberikan bunga 15%, lalu memberikan hadiah Rp 2 milyar (1 %), ongkos promosi dan pajak hadiah Rp 2 milyar (1%), maka biayanya sudah mencapai 17%. Dengan demikian, biaya Tahapan pun masih lebih murah dari biaya bunga deposito -- di BCA bunganya 17%-19%. Sementara itu, dalam waktu satu bulan saja, Tahapan sudah melampaui tabungan Primadana. Selama satu tahun (April 1988-Mei 1989), Primadana berhasil menghimpun dana Rp 60 milyar lebih. Tapi grup Lippo mengumpulkan Rp 80 milyar -- dari sekitar 500.000 penabung -- cuma dalam 30 hari. Bank Danamon rupanya tidak kehabisan akal. Bank yang dipimpin Jusuf Arbianto Tjondolukito itu menciptakan produk baru, diberi nama: Primadolar. Produk ini merupakan rekening koran dalam valuta dolar, tapi perlakuannya mirip tabungan. Saldo minimumnya ditetapkan hanya US$ 100 (sekitar Rp 177.000), bisa diambil 6 kali sebulan, dan bunganya 8%. Primadolar agaknya ditujukan kepada penabung yang mungkin ingin bepergian ke luar negeri 1-2 tahun mendatang. Dana ini jelas sangat murah. Dengan Primadolar, Danamon yang telah menjadi bank devisa itu bisa memutarkannya langsung dalam kredit dolar. Bukan tidak mungkin, produk baru ini akan segera diikuti pula oleh bank-bank devisa lain. Kampanye perlu, tapi tidak besar-besaran. Bukankah gairah menabung sudah terbangkitkan, dan potensi dana masyarakat terlalu besar untuk diabaikan?Max Wangkar, Sidarth Pratidina, Bambang Aji, Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini