DISTRIBUSI pemberitaan pada masa kini sudah semakin bebas hambatan. Informasi mengalir tidak saja melalui arus konvensional, seperti koran dan majalah asing, tapi juga melalui penayangan di televisi melalui satelit. Pengiriman beritanya pun telah memasuki era teknologi canggih. Dalam keadaan semacam itu apakah lazim bila TVRI tidak merelay sebuah berita besar? Pertanyaan inilah yang meluas ketika TVRI tidak memberitakan huru-hara rasial di Los Angeles, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu. Di media negara tetangga, seperti TV 3 Malaysia dan GMA Philipina, peliputan peristiwa itu muncul sebagai berita utama. Pertanyaan itu menjadi semakin santer ketika TVRI lagi-lagi tidak menayangkan liputan demonstrasi mahasiswa di Muangthai. Padahal negeri gajah putih ini sedang menjadi berita dunia karena rentetan protes rakyat atas penunjukan Suchinda sebagai perdana menteri yang baru. Dan berita ini jelas menjadi santapan seluruh jaringan televisi internasional karena 50 orang tewas dan ribuan luka-luka dalam demonstrasi itu. Kepala Seksi Monitor Siaran Direktorat Televisi Jakarta J.B. Wahyudi menjelaskan, TVRI sengaja tidak menyiarkan berita Los Angeles itu. Pertimbangannya, menjaga stabilitas nasional menghadapi masa kampanye. Lagi pula, "Apa untungnya menyiarkan berita itu karena hampir seluruh gambar menyajikan adegan kekerasan dan kebrutalan warga kulit hitam terhadap petugas dan warga kulit putih." Wahyudi berpendapat, kerusuhan di Los Angeles pun sebenarnya akibat penayangan peristiwa pemukulan yang dilakukan polisi terhadap Rodney G. King, warga kulit hitam. "Pemberitaan ini disiarkan ke seluruh jaringan televisi Amerika," katanya. Maka kalau berita itu ditayangkan di Indonesia, siapa yang bisa menjamin hal itu tidak akan memancing emosi. "TVRI sebagai media pemerintah tak boleh sembrono." Ini jawaban Kepala Seksi Pemberitaan Zulkifli Bahar. Sebab itu TVRI tidak menyiarkan demonstrasi di Muangthai. "Kan ada kesepakatan ASEAN. Sesama negara ASEAN jangan sampai saling menjelekkan," katanya. Bila di sebaliknya terjadi huru-hara di Indonesia, sesama negara ASEAN juga tidak akan menayangkannya. Pendapat itu ternyata ada benarnya. Menururt Koresponden TEMPO di Bangkok, Yuli Ismartono, televisi Muangthai, misalnya, tidak ikut-ikutan menayangkan peristiwa Timor Timur, seperti umumnya televisi Barat. Penyiaran berita televisi di sana juga ada di bawah pemerintah dan militer sehingga bisa diatur. Kesepakatan ASEAN memang dijalankan. Wajarkah tindakan TVRI? Menurut Marwah Daud, ahli komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, jika TVRI tak bisa menyiarkan seluruh berita bukan berarti sebuah rencana pemberitaan harus dihapuskan. "Peniadaan ini bisa membuat TVRI tidak kredibel lagi." Jalan keluarnya, Marwah melanjutkan, sajikan berita dari sudut pandang yang lain, ditambah ulasan para pakar sehingga dari kejadian itu bisa ditarik pelajaran. Atau bisa juga dengan cara mengirimkan reporter TVRI ke lapangan untuk mendapatkan berita yang seimbang. Marwah menyangsikan usaha TVRI menangkal pengaruh kekerasan lewat TV. "Apa bedanya TV dengan film yang menyajikan kekerasan, kebrutalan, dan kekerasan. Apa ini juga tak ditiru," katanya. Menurut Marwah, masyarakat kini semakin kritis menilai berita laik dan tidak laik. Mereka tahu bahwa berita Nusantara dan Berita Nasional, yang disiarkan TVRI sore hari, sudah bukan lagi berita murni karena 99% isinya berita humas lembaga. Suatu ketika RCTI menjanjikan harapan pemirsa mendapat berita yang menggigit. Tayangan peliputan Seputar Indonesia mendapat sambutan sebagai tayangan menarik sebuah kerja jurnalistik. Ada berita penggusuran, kesewenang-wenangan pejabat, sampai listrik tegangan tinggi di bawah rumah penduduk. Suguhan itu kontan mendapat sambutan baik. Tapi belakangan RCTI melempem. Suguhan infonya terseret ke "gaya" TVRI, mulai dari acara seremonial peresmian pabrik sampai pameran kue raksasa. Departemen Penerangan belakangan ternyata mengetatkan pengawasan. Misalnya, melarang RCTI meliput berita kampanye. Buletin Malam yang mestinya jadi "pelipur lara" pun akhirnya amburadul. Tak ada aktualitas berita karena berita yang seluruhnya diterima dari CNN sering sudah basi karena penyiarannya juga tergantung TVRI. Kalau TVRI tak menyiarkan berita seperti Los Angeles itu, RCTI pun mengekor. Kenapa? Karena RCTI, kata Manajer Humas RCTI Edward Depari, terikat ketentuan TVRI. "Apa kami nggak memble?" TVRI sendiri mengakui sangat hati-hati memutuskan berita yang akan mengudara. "Kami harus antisipatif terhadap berita yang akan ditayangkan," kata Zulkifli. Ada enam stasiun berita asing yang mengalirkan beritanya ke TVRI yakni Visnews (London), World Television Network (New York), RFO dan RF3 (Perancis) dan Asiavision (Kuala Lumpur). Setiap pukul 15.00 penanggung jawab redaksi dan empat anggota redaksi mengadakan rapat untuk memilih dan memutuskan berita yang akan ditayangkan mulai dari Berita Nusantara sampai Berita Terakhir. Kepala seksi pemberitaan tidak selalu hadir dalam rapat tersebut. Menurut Marwah Daud, revolusi informasi di Indonesia baru menyentuh unsur tekonologinya. Belum dialami unsur lainnya. "Penyensoran berita di TVRI menunjukkan hal itu," kata ahli komunikasi itu. Sri Pudyastuti R. dan Sandra Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini