Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Komitmen Penutupan PLTU

Target penutupan total PLTU batu bara pada 2050 dianggap sulit tercapai jika pemerintah tak segera mempensiunkan PLTU tua.

27 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kompleks PLTU Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Dok Tempo/Marifka Wahyu Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah diminta segera menutup PLTU tua, seperti Suralaya dan Paiton.

  • Penutupan PLTU batu bara diperlukan untuk menambah bauran energi terbarukan.

  • Kementerian Energi masih mematangkan peta jalan pensiun dini PLTU.

JAKARTA — Penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara tua pada 2025 dianggap sebagai langkah penting untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, dan target pensiun seluruh PLTU batu bara pada 2050. Dengan mempensiunkan PLTU batu bara, masalah surplus listrik yang kini dialami PLN bisa terselesaikan. "Bersamaan dengan itu, pasokan dari pembangkit listrik energi terbarukan bisa ditambah," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fabby mengatakan, ada beberapa PLTU yang bisa dipensiunkan karena usianya sudah tua. Dua di antaranya adalah PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, dengan kapasitas pembangkitan 1,6 gigawatt; dan PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur, dengan kapasitas pembangkitan 1 gigawatt. Penutupan dua pembangkit ini bisa memberi ruang untuk pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, Fabby menyadari bahwa penutupan PLTU tua tidak bisa dilakukan begitu saja karena statusnya sebagai aset negara. Namun tahapan itu perlu dilakukan jika pemerintah memang berkomitmen mengejar transisi energi. Karena itu, yang terpenting, pengakhiran operasi harus dilakukan secara hati-hati.

Penutupan PLTU itu juga harus dimulai dari ketegasan penugasan pemerintah kepada PLN. "Kalau PLTU dipensiunkan, PLN akan kehilangan pembangkit murah. Karena PLTU tua seperti Suralaya dan Paiton kan biaya produksinya murah karena tinggal bayar bahan bakar," ujar Fabby. Artinya, penutupan PLTU tua itu bisa berimbas pada kenaikan biaya produksi. Hal ini yang harus dikaji penyesuaiannya oleh pemerintah. 

Komitmen penutupan bertahap PLTU mulai 2025 itu akan menjadi batu pijakan bagi pemerintah dalam mencapai target-target transisi energi hingga 2050. Fabby menyebutkan, pensiunnya PLTU pada 2025 itu akan membuka jalan bagi penutupan PLTU lainnya, yang menurut perhitungannya harus mencapai paling tidak 8-9 gigawatt sampai 2030, sebelum akhirnya ditutup total 20 tahun berikutnya.

Target itu dihitung dan dikaitkan dengan kebutuhan penambahan energi terbarukan untuk membuat bauran energi bersih menjadi 23 persen pada 2025 dan 34 persen pada 2030—mengacu pada target Just Energy Transition Partnership (JETP). Guna mencapai target 34 persen, Indonesia harus menambah pembangkit EBT sebesar 30-35 gigawatt dalam delapan tahun ini. 

Artinya, Indonesia paling tidak harus bisa menambah kapasitas pembangkit EBT sekitar 3-4 gigawatt per tahun. Angka itu jauh di atas rata-rata penambahan bauran EBT pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang hanya sekitar 500 megawatt. "Konsekuensinya, kalau kita tidak mencapai kapasitas itu, rencana pensiun seluruh PLTU di 2050 makin berat. Terlebih, sebagian besar PLTU yang beroperasi berupa captive power yang dipakai untuk industri," ujar Fabby.

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat pembukaan Hannover Messe 2023 di Hannover Congress Centrum, Hannover, Jerman, 16 April 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr

Sebelumnya, rencana pensiun total PLTU batu bara disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pameran industri Hannover Messe di Jerman, pekan lalu. Dalam pidatonya, Jokowi menyebutkan bahwa jumlah energi terbarukan di Indonesia pada 2023 mencapai 23 persen dan pemerintah akan mempensiunkan seluruh PLTU di Tanah Air pada 2025.

Pernyataan Jokowi tersebut kemudian diralat oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin. Ia menyebutkan, data yang benar adalah bauran energi terbarukan 23 persen merupakan target pemerintah pada 2025. Selain itu, penutupan total PLTU baru akan dilakukan pada 2050. Adapun proyeksi kebutuhan investasi transisi energi mencapai US$ 1 triliun sampai 2060.

Fabby mengatakan, target dalam pidato Presiden Joko Widodo itu sulit terealisasi kalau kemajuannya masih seperti saat ini. Untuk itu, ia mendorong Jokowi turun tangan mengawal realisasi target-target tersebut, khususnya soal mempensiunkan PLTU. Pasalnya, sampai saat ini masih belum ada komitmen terbuka untuk menutup satu pun PLTU dalam waktu dekat.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa kementeriannya telah diamanatkan menyusun peta jalan pensiun dini PLTU. Hal ini termaktub dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. "Saat ini, konsep peta jalan yang telah disusun tersebut sedang dalam proses peninjauan untuk mendapatkan masukan dari Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kemenko Maritim dan Investasi, serta PLN," ujar dia.

Dadan mengatakan, konsep tersebut memuat lima skenario sampai dengan 2030. Untuk dapat menurunkan emisi hingga 2030 terdapat 15 unit PLTU di wilayah usaha PLN dengan total kapasitas 6,1 gigawatt yang dapat dipercepat pengakhiran tahun operasinya hingga 2030. Rinciannya, 8 unit PLTU ada di Pulau Jawa dan 7 unit PLTU di Pulau Sumatera.
 
Beberapa skema pembiayaan yang dapat dipertimbangkan untuk percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yaitu write-off/accelerated depreciation, pengalihan aset atau spin-off, dan independent power producers refinancing. Saat ini, tutur Dadan, percepatan pengakhiran PLTU juga mendapat dukungan dari internasional, seperti Energy Transition Mechanism (ETM) Southeast Asia Partnership, yang diluncurkan oleh ADB pada COP26, dan Just Energy Transition Partnership (JETP).

"Percepatan pensiun dini PLTU dilakukan dengan prinsip tetap memperhatikan keseimbangan suplai dan permintaan, serta tidak memberatkan keuangan negara, termasuk menjaga biaya pokok penyediaan listrik tetap efisien," kata Dadan. 

Petugas mengecek putaran rotor pada mesin uap di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya, Cilegon, Banten. Dok Tempo/Dasril Roszandi

Mitigasi Krisis Iklim Harus Jadi Acuan

Sementara itu, Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menilai skenario transisi energi yang dirancang pemerintah belum sejalan dengan upaya mitigasi krisis iklim. Alih-alih berpihak pada percepatan penutupan total PLTU batu bara, sejumlah kebijakan dan aturan yang dirancang pemerintah justru masih mengakomodasi sumber energi fosil dalam strategi transisi energi.

“Misalnya, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang masih memasukkan batu bara sebagai salah satu sumber energi baru lewat gasifikasi dan co-firing pembangkit listrik tenaga uap,” ujar Leonard dalam lokakarya Climate Journalist Network yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia, Senin, 17 April 2023.

Ia juga menyoroti skema JETP sebagai salah satu platform pembiayaan transisi energi Indonesia bersama sejumlah negara donor. Skema ini, kata dia, seharusnya bertujuan untuk mengembangkan rencana investasi untuk mencapai target transisi energi, terutama di sektor ketenagalistrikan untuk keperluan industri. Dalam kesepakatan JETP, ada klausul pembatasan pengembangan PLTU batu bara captive, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. “Tapi perpres tersebut problematik karena pengembangan PLTU batu bara captive masih diperbolehkan.”

Dalam Pasal 3 Perpres 112 Tahun 2022 disebutkan bahwa pengembangan PLTU baru dilarang, kecuali untuk PLTU yang memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya adalah terintegrasi dengan industri yang dibangun untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam proyek strategis nasional. Kemudian ada syarat pengelola PLTU berkomitmen melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam waktu 10 tahun setelah beroperasi, serta beroperasi paling lama sampai 2050.

Menurut Leonard, skema JETP kian problematik karena pembiayaan dalam kemitraan ini juga dimungkinkan untuk proyek energi baru, seperti yang tercantum dalam RUU EBET: pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir, co-firing PLTU, dan penghiliran batu bara. “Ini semua adalah contoh solusi palsu transisi energi dalam skema JETP yang sebagian besar pendanaannya berbentuk utang.”

Tempo telah berupaya meminta konfirmasi soal kemajuan pensiun PLTU tersebut kepada PT PLN (Persero). Perseroan menyatakan akan memberi jawaban. "Kami coba follow-up jawabannya," ujar Manajer Media PLN Pusat, Leonardo Salomo Manurung. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan tersebut belum juga dijawab.

Sebelumnya, PLN menggandeng International Energy Agency (IEA) untuk mematangkan Just Energy Transition Partnership Investment and Policy Plan (JETP IPP) dalam mengakselerasi transisi energi Indonesia. Kerja sama dengan IEA ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman di antara kedua belah pihak. 

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, proyek transisi energi menghadapi banyak tantangan, salah satunya proyeksi pertumbuhan permintaan listrik dan kondisi permintaan di Indonesia yang dinamis. Karena itu, ia berharap tantangan tersebut bisa diselesaikan dengan menggandeng IEA. "PLN dan IEA akan menjadi pionir, menunjukkan kepada dunia bahwa peta jalan transisi energi dapat dibangun melalui kolaborasi dan secara komprehensif dari hulu ke hilir," kata Darmawan.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, mengatakan bahwa rencana pensiun dini PLTU sangat berkaitan dengan peta jalan transisi energi PLN. "Tentunya masih dalam proses yang panjang. Hal yang bisa dioptimalkan adalah program co-firing dalam mengurangi emisi yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara," ujar dia. Walau demikian, ia sepakat skema co-firing tidak efektif dalam mengejar target transisi energi karena hanya memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada.

CAESAR AKBAR | PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus