SEBAGAI arsitek & perencana gedung dan perumahan, PT Perentjana Djaja cukup disegani di kalangan orang konstruksi. Lihat saja hasil karyanya, seperti Wisma Metropolitan I dan II, Wisma Nusantara, dan Pondok Indah di Jakarta. Tentu cukup mengejutkan bila biro arsitek tangguh itu, yang April mendatang genap 25 tahun, mendadak menganjurkan ratusan karyawan dan puluhan pekerja kontrakannya ramai-ramai mengundurkan diri. PHK? Presiden Direktur PD, Ir. Nizar Nasir, kelihatan agak keberatan menggunakan sebutan kurang populer itu. Apa pun sebutannya, dari 200 karyawan tetap (50 di antaranya insinyur) dan 60 pekerja kontrak, sebagian dianjurkan mengundurkan diri secara sukarela. Yang terkena paling depan, tentu, semua pekerja kontrak, sesudah itu baru karyawan tetap. "Dalam keadaan sulit, kami rasakan terlalu berat bila harus menanggung hidup 200 karyawan," kata Nizar Nasir. Sejak anjuran itu disebarkan, dua bulan lalu, baru enam karyawan tetap (beberapa d antaranya insinyur arsitek) yang menyatakan bersedia mundur -- konon, mereka mendapat pesangon enam bulan gaji. Tapi, karena perusahaan masih ingin tetap mendapat kesibukan menggambar, tidak semua yang minta mundur dikabulkan. Karyawan yang dianggap potensial, "Akan dipertimbangkan untuk dipertahankan," kata Nizar. Usaha menghemat biaya -- dengan mengurangi karyawan -- itu tampaknya dianggap pilihan terbaik untuk menyesuaikan diri dengan menciutnya skala usaha. Masa kering memang sedang menyelimuti sektor industri konstruksi, sejak harga minyak jatuh tinggi tahun lalu, dan pemerintah mulai mengerem ekspansi pembangunan proyek-proyek vitalnya. Karena itu, tidak seperti masa-masa sebelumnya, tahun ini omset penjualan jasa PD ditaksir akan kurang dari Rp 3 milyar, atau lebih rendah dari tahun lalu. "Kami ini seperti tukang jahit, kalau pesanan sedang banyak, kami membutuhkan banyak mesin," kata Presdir Nizar. Mesin bagi perusahaan jasa seperti itu, apa lagi kalau bukan, para arsitek dan perencana. Di tahun 1965, PD sesungguhnya juga pernah melego beberapa "mesin jahit" itu, ketika perusahaan dilanda kesulitan hebat. Karyawannya waktu itu baru 30 orang. Penghematan dilakukan dengan meminta berhenti lima karyawan tetapnya. Ketika kemudian ekonomi mulai bergerak, perusahaan secara berangsur merekrut tenaga baru, yang di masa pasang bisa dianggap sebagai kekayaan. Tapi tidak semua perusahaan perencana dan arsitek mengambil langkah kurang populer seperti yang dilakukan PD. Atelier 6, misalnya, tak ingin mengundurkan satu pun dari 260 karyawan tetapnya -- meskipun hasil menjual jasanya tahun ini akan turun 10% dari Rp 4 milyar. Memang diakui Darmawan Prawirodihardjo, Presiden Direktur AT 6, tiga tahun terakhir ini persaingan di antara perusahaan perencana dan arsitek terasa sangat ketat. "Kini kami tidak bisa lagi hidup bila hanya mengandalkan proyek pemerintah," katanya. AT 6, yang didirikan 17 tahun lalu oleh enam arsitek ITB 17 itu, memang tidak sampai merasa perlu melakukan banyak penghematan. Pertama, karena mungkin cara pemegang sahamnya tidak mempunyai banyak usaha, yang bila salah satu di antaranya terpukul tidak akan memaksa mereka mengurangi atau mematikan usaha lainnya. Kedua, ketika sektor industri kontruksi tengah menghadapi masa pasang, AT 6 kelihatan sudah menyiapkan desain penangkis menghadapi keadaan buruk. Waktu itu manajemen dihadapkan pada pilihan apakah usaha mereka akan diciutkan atau dibesarkan. Yang dipilih akhirnya membesarkan usaha, dengan menumbuhkan divisi listrik, mekanik, struktur, dan desain interior. Dan, sangat kebetulan, AT 6 kemudian memperoleh proyek perluasan PT PAL di Surabaya hingga divisi-divisi itu bisa segera dimanfaatkan. Langkah menghadapi masa sulit seperti itu juga dilakukan Arkonin yang, dua tahun lalu, membentuk Arkonin Engineering. "Dengan melakukan diversifikasi, kami berharap kelak bisa mengantungi proyek-proyek yang dibiayai Bank Perkemangan Asia dan Bank Dunia," kata Ir. Habis Sungkowo, Direktur Arkonin. Singkat kata, Arkonin, anak perusahaan Pembangunan Jaya yang didirikan 26 tahun lalu itu, tidak ingin menggantungkan hidupnya dari hanya menjual jasa merencanakan bangunan dan memberikan konsultasi untuk menghidupi 11 arsitek, 150 karyawan tetap dan 17 sarjana kontrakannya. Apalagi sesudah dilihatnya, ditengah menciutnya proyek pemerintah, jumlah perusahaan perencana dan konsultan dari hari ke hari makin bertambah banyak saja. "Setiap orang yang pensiun sasarannya kebanyakan menjadi konsultan," kata Habis tak habis pikir. "Padahal, yang namanya konsultan itu tidak ada yang kaya." Anggapan itu tampaknya sebagian ada benarnya. Sebab, dari hasil menjual jasa itu, pukul rata mereka mendapatkan semacam upah yang besarnya kurang dari 10%. Untuk proyek pemerintah, misalnya, upah mereka ditetapkan rata-rata 3,5%. Sedang bagi proyek swasta, upah tertinggi ditetapkan 7% dari nilai proyek. Tapi, jika sebuah perusahaan bisa efisien dalam menyelesaikan sebuah rancangan, tetap terbuka kemungkinan mereka menawarkan upah jasa lebih rendah. Juga terbuka kemungkinan pemberi kerja akan memberikan proyeknya kepada sebuah usaha, kendati upah yang dimintanya tinggi. Yang penting, demikian Presdir AT 6 Darmawan, di dalam memasarkan jasa itu perusahaan harus bersikap luwes. Artinya kalau pemberi kerja minta agar desain suatu proyek diubah dengan menampung sebagian aspirasinya, perusahaan tidak boleh keberatan melakukannya. Menurut dia, lebih baik mengubah gambar sampai 10 kali daripada melihat pemilik proyek menggerutu tak bisa memakai bangunannya. "Menganggap desainnya paling keramat itu menghambat pemasaran, kata Darmawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini