BAYANGKAN bila dari seluruh Indonesia bisa dikumpulkan dana Porkas Rp 1,2 milyar setiap bulan. Apakah prestasi olah raga menjadi baik? Orang tentu bisa berdebat panjang mengenai hubungan prestasi olah raga, seperti merosotnya mutu sepak bola, dengan tersedianya dana. Tapi banyak orang cukup paham, sejak diperkenalkan setahun lalu, Porkas memang sudah banyak makan korban penggemarnya, dan dianggap punya andil dalam menciutkan peredaran uang di pelbagai daerah. Menurut catatan Hediyanto, Ketua Tim Pengelola Dana Porkas Sepak Bola, sampai awal pekan ini jumlah dana yang bisa disedot Porkas sekitar Rp 12,7 milyar. Dan bisa dipastikan, angka Rp 13 milyar seperti disasarkan para pengelolanya akan bisa dicapai pekan ini, bertepatan dengan ulang tahun pertama kupon berhadiah itu. Dari jumlah dana sebesar itu, yang sudah dibagikan ke pelbagai lembaga dan dipakai kegiatan olah raga sekitar Rp 7,5 milyar. Sisanya bakal didepositokan. "Tahun ini dana yang akan disimpan di bank rencananya sekitar Rp 4 milyar, tapi kalau bisa, sih, Rp 4,5 milyar," kata Hediyanto. Bila rencana itu bisa dengan mulus diwujudkan, berarti ada sejumlah uang dari pelbagai daerah yang tidak didistribusikan kembali. Tidak jelas benar bagaimana pengaruh menciutnya jumlah uang yang beredar di pelbagai daerah itu terhadap daya beli masyarakat setempat. Yang sudah pasti, menurut Dr. Anwar Nasution, perdagangan Porkas itu sebenarnya bisa dianggap tidak produktif. "Sebab, yang dijual 'kan hanya kertas," kata ahli moneter dari UI itu. "Dan, kalau kebanyakan orang kemudian membeli Porkas, peluang masyarakat membeli tempe jadi berkurang." Jadi, bisa dikatakan, selain menyebabkan kegiatan perdagangan sejumlah komoditi menurun, Anwar Nasution juga beranggapan, kegiatan penjualan Porkas hakikatnya kurang produktif. Dari segi ekonomi Porkas dinilainya tidak banyak bermanfaat. "Kalau pemerintah mau membiayai kegiatan olah raga, ada jalan lain," katanya. "Misalnya, coba kelola dengan baik sarana olah raga seperti Senayan, yang bisa mendatangkan uang. Porkas itu 'kan jalan pintas." Sebagai pengelola, Hediyanto mengaku tak tahu bahwa perdagangan Porkas sampai mengganggu ekspansi moneter ke daerah, dan menurunkan kegiatan perdagangan di sana. "Saya 'kan hanya pengelola dana," katanya. Tapi anggota DPR Yulidin Away, Wakil Ketua Komisi VIII, beranggapan pengaruh buruk Porkas terhitung sedikit bagi perkembangan daerah. Dia melihat Porkas justru berhasil mengurangi kegiatan judi buntut. Dan ingat, "Setiap tahun kita membutuhkan dana untuk pengembangan olah raga tidak kurang dari Rp 24 milyar, tapi pemerintah hanya bisa memenuhi separuhnya," katanya. "Nah, dari Porkas itulah sebagian kebutuhan tadi dipenuhi." Satu-satunya kritik yang keluar dari DPR adalah mengenai tempat menjajakan Porkas. Menurut ketentuan, kupon itu hanya boleh dijual sampai tingkat kecamatan. Tapi, nyatanya, karena mekanisme pengawasan di pelbagai daerah tak jalan, penjualannya sudah masuk sampai ke tingkat desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini