DEVISA US$ 10,7 milyar, ditambah lagi dengan celengan siaga US$ 2,1 milyar, rupanya dianggap masih belum cukup aman untuk menangkal goyangnya harga minyak. Siapa berani menduga, harga minyak, yang kini US$ 14,50 per barel itu, akan bergerak naik meninggalkan dasar sumur di saat belahan bumi utara dijauhi cuaca musim dingin. Tentu bukan karena alasan itu saja bila pemerintah kemudian merasa perlu terjun ke pasar uang untuk mencari pinjaman komersial US$ 350 juta. Makin kuatnya mata uang yen, yang menyebabkan biaya impor dalam dolar naik lebih dari 30% setahun terakhir ini, jelas juga ikut membikin waswas. Menurut Gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar di DPR, pekan lalu, bila segalanya berjalan mulus, penandatanganan persetujuan pinjaman sindikasi itu akan dilakukan di Tokyo akhir bulan ini. Tapi tidak seperti kredit indikasi sebelumnya, sekali ini, harga uang yang diperoleh pemerintah itu jauh lebih mahal, dan dengan jangka waktu pengembalian lebih ketat. Jangka pengembalian kredit US$ 350 juta itu, misalnya, ditetapkan delapan tahun -- padahal sebelumnya rata-rata 10 tahun. Sedang tingkat suku bunganya 0,625% di atas LIBOR (tingkat suku bunga antarbank di London) untuk masa enam tahun pertama dan 0,75% di atas LIBOR (kini 6,7%) untuk masa dua tahun berikutnya. Di tahun-tahun lalu, ketika Indonesia masih dengan mudah menjual minyak dengan harga US$ 29 per barel, tingkat suku bunga yang dikenakan maksimum 0,5% di atas LIBOR. Dan saat itu bank berebut untuk menyediakan dana bagi pinjaman sindikasi. Tapi kini keadaan sudah berubah. Pertamina harus dengan susah payah menjual gas alam cair dan minyaknya ke pasar ekspor. Untuk memupuk cadangan devisa dengan ekspor komoditi nonmigas, bahkan pemerintah sampai merasa perlu mendevaluasikan rupiah. Keadaan Indonesia memang tidak semujur Muangthai yang bisa memperoleh pinjaman sekitar US$ 300 juta dengan bunga 0,125% di atas LIBOR untuk tiga tahun pertama dan 0,250% untuk tujuh tahun berikutnya, dengan jangka pengembalian 10 tahun. Sebagai negeri yang tidak mengandalkan hasil ekspornya hanya dari sumber alam Muangthai bisa memperoleh banyak dolar dari ekspor komoditi pertanian dan hasil laut. Tingkat utangnya sendiri baru US$ 15,5 milyar, sementara Indonesia, sampai Desember 1985 lalu, tingkat utang berjalannya tercatat sudah US$ 28,3 milyar. Yang akan merepotkan adalah bila kecenderungan penguatan yen Jepang dan mark Jerman tidak bisa direm: tambahan pinjaman US$ 350 juta itu jadi kecil artinya. Penguatan yen yang terjadi sejak September 1985 lalu, misalnya, diduga akan menyebabkan Indonesia kehilangan peluang untuk mengimpor barang seharga US$ 700 juta untuk tahun anggaran berjalan. Tapi belakangan ini, karena penerimaan rupiah dari dalam negeri menciut, pinjaman komersial seperti itu biasanya kemudian dirupiahkan untuk membiayai proyek yang sedang berjalan. Tapi pemakaiannya, "Sangat dibatasi untuk pembiayaan beberapa proyek vital saja, yang akan menimbulkan kerugian besar bila dihentikan," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro di DPR, awal pekan ini. Mengapa tidak mencari rupiah dari dalam negeri -- seperti Jasa Marga dengan menerbitkan obligasi? Langkah memobilisasikan dana dari dalam negeri itu memang bisa saja dengan gampang dilakukan -- misalnya menerbitkan obligasi dengan bunga 16% untuk mencari uang Rp 100 milyar. Tapi bagaimana bila dana yang akan ditarik Rp 1 trilyun ? Seluruh potensi dana yang ada di pasar uang niscaya akan tersedot semua ke sana, apalagi bila tingkat suku bunga yang ditawarkannya cukup menarik. Karena rupiah kemudian terasa sulit dicari, bukan tak mungkin, situasi itu akan menendang kembali tingkat suku bunga pinjaman yang kini sedang bergerak turun. "Di samping itu, pinjaman dalam negeri tidak akan menolong kemerosotan neraca pembayaran," kata Menteri Radius. Memang bukan hanya dari kredit sindikasi pemerintah berusaha membiayai sejumlah proyek vitalnya. Fasilitas kredit ekspor pun bila syaratnya cukup menarik, belakangan sering pula dimanfaatkan. Untuk membiayai pembangunan Industri Pesawat Terbang Nusantara di Bandung, misalnya, pemerintah banyak memanfaatkan kredit ekspor dari Bank Eksim Amerika. Karena sifatnya mengikat, penerima lazimnya diharuskan mengambil barang modal dari negeri pemberi sebesar nilai kredit -- seperti mesin pemotong logam bikinan Cicinanti Milacron. Bagi negeri pemberi kredit seperti Amerika, fasilitas kredit ekspor itu jelas bisa digunakan sebagai pintu terbaik untuk mendorong ekspor hasil industrinya. Karena itu tak heran bila Bank Eksim Amerika datang lagi menawarkan kredit ekspor US$ 100 juta dengan syarat lebih lunak. Apa pun kondisinya, bagi negeri penerima, fasilitas seperti ini agak kurang disukai, karena tidak memberi nilai tambah pada industri lokal. Tentu sudah matang dipertimbangkan. E.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini