Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mendulang Rupiah dari Pulau-Pulau Kosong

Kembali dijajaki, rencana menyewakan beberapa pulau tak berpenghuni. Motivasi bisnisnya tak jadi masalah, tapi lingkungan bisa terancam.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernah dengar rencana pemerintah memberdayakan pulau-pulau kosong? Heboh seputar gagasan itu merebak di tahun 1999, ketika Sarwono Kusumaatmadja menjabat Menteri Eksplorasi dan Perikanan. Entah gagasan Sarwono itu tidak disosialisasi dengan baik, entah rencana tersebut lahir prematur untuk masyarakat yang sedang mabuk reformasi, wallahualam. Kala itu silang pendapat meruncing dan gagasan Sarwono pun tak sempat berkembang.

Kalau ditimbang-timbang, jangankan memberdayakan (baca: menyewakan) pulau, memberdayakan masyarakat saja kita tidak becus. Atas dasar itu, barangkali, banyak pihak menentang gagasan Sarwono. Kini, empat tahun kemudian, tercetus lagi berita tentang penyewaan pulau. Bahkan rencananya sudah lebih matang.

Alkisah, beberapa surat kabar memuat rencana penyewaan Pulau Tinjil dan Pulau Deli untuk tempat penyimpanan minyak. Niat ini dikemukakan Ketua Kadin Komite Timur Tengah, Muhrim Hakim, saat menghadap Wakil Presiden Hamzah Haz, awal September silam. Konon, Iran, Kuwait, dan Oman sudah melirik peluang itu. Tanggapan Hamzah? "Beliau hanya manggut-manggut. Waktu itu kami berpikir, 'wah benar juga ya'," tutur staf khusus wakil presiden, La Ode Kamaluddin.

Ketika rencana itu sampai ke telinga para pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mereka terperanjat. Pasalnya, kedua pulau itu telah menjadi tempat penangkaran hewan liar—monyet ekor panjang—sekaligus tempat riset ilmiah IPB. "Wah, pemerintah semangatnya luar biasa," gumam Kepala Humas Promosi dan Hubungan Alumni IPB, Agus Lelana. Ia hanya terheran-heran, mengapa begitu bersemangat hingga harus mengorbankan konservasi alam yang dirintis lebih dari sepuluh tahun lalu.

Ternyata, menurut Sarwono, rencana pemanfaatan pulau dilanjutkan, sedangkan konsep "sewa-menyewa" yang diributkan itu sebenarnya adalah joint operation. Bertolak dari sini, penyewaan pulau akan dilakukan tanpa melupakan kepentingan masyarakat dan lingkungan.

Dalam kaitan itu, dua pekan lalu tim di Departemen Kelautan dan Perikanan baru selesai merumuskan proposal "Program Mendesak Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Terluar". Proposal ini diprakarsai oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, di bawah pemantauan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

Menurut Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Alex Retraubun, program ini bertujuan memanfaatkan 88 pulau kecil yang berada di perbatasan. Sebagian besar di Kepulauan Riau (20 pulau) dan Kepulauan Maluku (16 pulau). "Departemen Kelautan dan Perikanan akan menjadi koordinator untuk mendorong komitmen departemen lain supaya lebih memperhatikan pulau-pulau itu," tuturnya melalui telepon genggam.

Alex menerangkan, niat pemerintah didorong pengalaman pahit ketika terpaksa melepas Pulau Sipadan dan Ligitan. Selama bertahun-tahun, kedua pulau itu menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Semula Indonesia optimistis karena secara geografis Sipadan dan Ligitan memang milik Indonesia. Sial, akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan Malaysia-lah yang paling berhak atas pulau itu.

Mahkamah Internasional berpegang pada bukti penguasaan efektif terhadap Sipadan dan Ligitan. Untuk itu, ada tiga aspek yang harus dipenuhi, yaitu keberadaan secara terus-menerus di pulau itu, penguasaan yang efektif (effective occupation)—termasuk aspek administrasi—serta perlindungan dan pelestarian ekologis (maintenance and ecology preservation). Malaysia dianggap memenuhi semua kriteria itu.

Tentu saja pemerintah tidak mau kecolongan dua kali. Pemerintah juga menyadari bahwa selama ini lalai mengawasi pulau-pulau kecil di perbatasan. "Bahkan camat saja pun belum tentu hafal pulau-pulau kecil di wilayahnya. Apalagi mengunjungi," kata Sarwono, yang kini menjadi penasihat di Dewan Maritim Indonesia.

Akibatnya, pulau-pulau itu menjadi lebih dekat dengan tetangga dibanding dengan "ibunya sendiri". Di Pulau Miangas di Sulawesi Utara, penduduk fasih berbahasa Filipina, yakni Tagalog. Selain pulau itu sangat dekat ke Filipina, interaksi antar-penduduk dua negara juga baik sekali. Jika abai, bisa saja Indonesia kecolongan lagi.

Menurut Alex, penentuan status ke-88 pulau kecil itu tak sembarangan. Langkah pertama adalah menentukan titik dasar. Ada 183 titik dasar yang menjadi acuan untuk menentukan perbatasan. Ternyata, sebagian titik dasar terletak di pulau-pulau tersebut. "Pulau-pulau itu berfungsi mengukur batas negara kita dengan negara tetangga. Jadi, harus pulau yang terdekat dengan negara tetangga," Alex melanjutkan.

Jelaslah, posisi pulau-pulau itu sangat strategis. Jika pulau-pulau itu maju, tak hanya kedaulatan kita semakin kukuh, perekonomian di kawasan itu juga terimbas oleh dampak positifnya. Sayang, pulau-pulau itu sulit dijangkau. Hanya 50 persen berpenghuni. Sisanya berupa pulau batu atau karang. "Kalaupun berpenghuni, masyarakatnya miskin sekali," kata direktur kelahiran Pulau Kei itu.

Kini dirancanglah rentetan kegiatan untuk merangsang kegiatan ekonomi di sana. Survei lapangan dan identifikasi pulau-pulau akan dimulai pada 2004. Setelah itu, hingga 2008, pemerintah akan mengembangkan perikanan, memperkuat pertahanan, membangun sarana wisata bahari, mengembangkan jalan dan jembatan, serta menjadikan pulau sebagai daerah persinggahan. Untuk jangka panjang (sampai 2014), pemerintah akan mengembangkan pelabuhan, kawasan konservasi, dan kilang minyak.

Dana yang diperlukan bisa mencapai Rp 100 miliar. Alex menilai, jumlahnya tak akan terlalu membebani APBN. Lagi pula, "Pemerintah juga akan mengundang investor …" Nelayan pun didorong supaya menangkap ikan. Bahkan beberapa pulau kosong diproyeksikan menjadi tempat relokasi nelayan.

Contoh pulau kecil yang telah bisa dikelola berdasar kajian yang serius, ya, Pulau Tinjil. Awalnya, pulau seluas 600 hektare ini milik Perum Perhutani, yang digunakan sebagai sentra produksi kayu. Namun, sejak 1970, kegiatan itu dihentikan. "Untuk ke sana, terlalu riskan karena ombaknya cukup ganas," tutur Agus Lelana. Akhirnya, selama 1983-1984, Perhutani bekerja sama dengan IPB dan Kementerian Lingkungan Hidup merintis usaha non-kayu di Tinjil.

Setelah studi dampak lingkungan, Tinjil diputuskan menjadi tempat penangkaran hewan exitu. Artinya, hewan-hewan liar akan "ditanam" di sana. Mulai 1988, tempat ini dikelola oleh Pusat Penelitian Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian IPB. Pada tahap pertama, 520 ekor monyet liar jenis ekor panjang (Macaca fascicularis) didatangkan dari Lampung, Palembang, dan Jawa Barat.

Pulau itu lalu dinyatakan steril dan tak sembarang orang bebas masuk tanpa izin. "Ini hanya untuk menghindari virus dari para pendatang, karena monyet-monyet di tempat ini bebas dari segala penyakit," kata penanggung jawab pengelola Tinjil, Tito Sutristianto. Daerah ini juga dikembangkan menjadi tempat konservasi alam.

Alhasil, Tinjil yang terkucil kini memiliki terumbu karang dan taman laut yang indah. Berbagai jenis fauna—biawak, ular sanca, kera, dan berbagai jenis burung— juga menghuni pulau itu. Dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, pulau ini juga dijadikan obyek penelitian, termasuk penelitian vaksin AIDS. Hal serupa juga ditemui di Pulau Deli, yang dikelola pihak swasta.

Lalu, kenapa mau disewakan untuk penyimpanan minyak? Menurut La Ode Kamaluddin, Kadin Timur Tengah mengatakan bahwa itu gagasan Departemen Kelautan. Tapi, Alex membantahnya. "Kami tak pernah mengusulkan pulau-pulau kecil itu sebagai tempat penyimpanan minyak," sergahnya. Lagi pula, Pulau Tinjil tidak termasuk program pengembangan pulau-pulau kecil. Sedangkan Pulau Deli memang dikembangkan karena berada di titik dasar.

Ia juga tak setuju bila konservasi alam dialihkan menjadi tempat penyimpanan minyak. "Jangan mengganggulah. Itu hal-hal yang sangat peka," Alex menegaskan. Kekhawatiran ini wajar karena penyimpanan minyak mentah berpotensi mencemari lingkungan. Esa, 35 tahun, nelayan Desa Muara Binuangen, juga keberatan jika Tinjil dijadikan persinggahan minyak mentah. "Selain ikan-ikannya akan hilang, pulau ini juga sering kami gunakan sebagai tempat berteduh bila musim badai. Kami tidak ingin laut ini tercemar," tuturnya.

Senada dengan itu, guru besar bidang kebijakan ekonomi kelautan IPB, Tridoyo Kusumastanto, mengingatkan agar pemerintah memutuskan kebijakan melalui kajian ilmiah yang matang. "Harus dihitung benar, berapa sih margin keuntungan yang diperoleh dari tambahan aktivitas ekonomi dibanding kerusakan ekosistem yang ada," ujarnya serius. Jangan sampai, demi satu-dua perak, lalu ekosistem diabaikan.

Dara Meutia Uning, Faidil Akbar (Pulau Tinjil)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus