Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah Hidup Sang 'Pengkhianat'

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si Jalak Harupat, Biografi R. Oto Iskandar Di Nata Penulis : Nina H. Lubis Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Kisah-kisah sedih zaman revolusi sudah waktunya dibuka kembali. Termasuk di dalamnya kisah yang menimpa pahlawan nasional Oto Iskandar Di Nata. Sebagai Menteri Negara Pertahanan pada awal Republik berdiri, Oto menjadi korban ketidaksenangan sekelompok pemuda yang mencurigainya sebagai "mata-mata musuh". Padahal, Oto menganut jalan diplomasi dan bukan mengedepankan senjata dalam transisi kekuasaan.

Begitulah. Suatu hari pada Desember 1945, Oto dibunuh oleh seorang polisi bernama Mujitaba, suruhan kalangan pemuda anggota laskar yang membenci Oto. Fakta ini terangkat ke permukaan dalam pengadilan yang baru digelar pada 1959—14 tahun setelah Oto tewas.

Dalam kategori pemuda zaman itu, Oto dinilai terlalu kooperatif terhadap Belanda. Ia anggota Volksraad, masuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Chuo-Sangi-in, dan aktif di dalam BPUPKI serta PPKI. Buat kalangan pemuda, peran Oto itu dilihat sebagai bentuk ketidaksetiaan pada bangsa. Sempat ada kecurigaan kematian Oto disebabkan oleh ketidaksukaan pihak lain terhadap orang Sunda semacam Oto dalam pemerintahan.

Sampai tahap tertentu, nasib Oto Iskandar Di Nata sama tragisnya dengan sastrawan Amir Hamzah, yang dieksekusi para pemuda di wilayah Sumatera pada masa pergantian kekuasaan kolonial ke Republik. Juga Tan Malaka, tokoh misterius yang pernah menjadi buron pemerintah Belanda dan Republik.

Buku ini ditulis dengan lancar oleh Nina H. Lubis, sejarawan asal Universitas Padjadjaran. Yang lebih memukau lagi adalah kata pengantar yang ditulis sejarawan senior Taufik Abdullah, yang memberikan konteks historis yang luar biasa atas berbagai kejadian tragis yang dialami Oto, Amir Hamzah, dan Tan Malaka. Juga para penduduk dalam peristiwa Tiga Daerah tahun 1945, dan penduduk Kota Malang tahun 1946. Taufik lalu teringat akan Trotzky, yang berkata, "Tidak ada revolusi yang berjalan sesuai dengan keinginan para pembuatnya."

Ignatius Haryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus