Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompleks Perumahan Cijahe Legacy, Bogor, Jawa Barat, belum seluruhnya selesai dibangun. Rumah di blok paling depan sudah tampak berpenghuni, tapi di seberangnya masih ada lahan kosong. Tumpukan pasir dan batu bata terlihat di sana. Di tembok bangunan terdepan ada spanduk bertulisan "Go… Setengah Setengah Punya Rumah. Booking Rp 1,5 juta".
Cijahe Legacy bukan satu-satunya pengembang yang menawarkan kemudahan memiliki rumah di Bogor. Selebaran Rancamaya Legacy bahkan menawarkan kesempatan memiliki rumah idaman dengan harga di atas Rp 300 juta tanpa uang muka.
Anis Juharia masih menimbang berbagai tawaran menarik dari para pengembang itu. Bersama suaminya, wanita berusia 27 tahun itu tergiur mengambil salah satu rumah di Bogor. Dia hanya perlu merogoh kocek untuk uang muka 10 persen, dari harga rumah yang sekitar Rp 350 juta. Tapi tabungannya masih kurang. "Mungkin enam bulan lagi baru bisa cukup," kata Anis, Kamis pekan lalu.
Anis tak tahu, enam bulan mendatang ia sudah akan terlambat. Soalnya Bank Indonesia telah mengatur rasio loan-to-value kredit pemilikan rumah maksimal 70 persen. Artinya, uang muka KPR minimal harus 30 persen. Kebijakan ini berlaku untuk rumah dengan ukuran lebih dari 70 meter persegi—seperti yang diincarnya—dan akan mulai berlaku pada awal Juni nanti.
Bukan hanya urusan rumah, bank sentral mengatur pula besar minimal uang muka kredit kendaraan bermotor. Untuk kendaraan roda dua, uang muka minimal 25 persen. Sedangkan buat kendaraan roda empat, uang muka paling sedikit 30 persen. Adapun kendaraan untuk keperluan produktif minimal 20 persen. Aturan itu dibuat untuk mengendalikan gelembung harga properti dan kendaraan bermotor.
Bukan pengusaha namanya jika tak menyiasati aturan semacam itu. Para pengembang perumahan sudah punya strategi jitu. Redy Hendra Gunawan, Managing Director Sanusa Group, yang memasarkan rumah di Taman Darmaga Hijau, Bogor, adalah salah satunya. Ia menawarkan skema pembayaran uang muka yang bisa dicicil sampai 10 bulan. Jadi, uang muka yang dibayar tetap sesuai dengan aturan, tapi konsumen tak merasa dibebani terlalu berat pada awal pembelian.
Alhasil, Redy yakin, aturan ini tidak akan berdampak besar. Pengembang hanya akan kehilangan 5-10 persen konsumen perumahan. "Itu pun hanya akan berlangsung selama dua bulan. Setelah konsumen datang dan kami jelaskan, pasti mereka akan ikut strategi developer," ujarnya.
Direktur Utama Bank Tabungan Negara Iqbal Latanro punya pendapat serupa. Meski begitu, ia menilai besaran uang muka yang ditetapkan BI itu terlalu tinggi. "Padahal, jika 20-25 persen saja, sudah akan memberi efek kehati-hatian pada bank dan pembeli rumah," katanya.
Dampak aturan itu mungkin akan lebih terasa di pasar kendaraan bermotor. Presiden Direktur BCA Finance Roni Haslim memprediksi koreksi penjualan mobil bisa mencapai 30 persen, dari total pembiayaan mereka yang biasanya berkisar Rp 1,8 triliun sebulan. "Karena itu awalnya Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia mengusulkan agar uang muka diatur minimal 20 persen saja."
Direktur Marketing Mega Finance Bambang Supriyadi juga mengakui aturan BI ini menurunkan daya beli konsumen sepeda motor 30-50 persen. "Tapi kami sudah menyiapkan strategi," ujarnya. Seperti halnya Roni Haslim, Bambang yakin masih bisa menggaet konsumen baru lewat iming-iming lain. Salah satunya dengan menurunkan bunga.
Untuk menerapakan strategi itu, perusahaan pembiayaan niscaya tak akan merugi. Selama ini mereka memang mematok bunga kredit kelewat tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga BI yang terus menurun hingga di bawah 6 persen.
Eka Utami Aprilia, Martha Thertina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo