Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat dua pekan lalu di kantor Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa itu berlangsung relatif mulus. Di akhir rapat, sebuah keputusan penting diambil: mengundurkan batas akhir pelaksanaan perjanjian restrukturisasi utang belasan triliun rupiah PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) selama sebulan. "Ada beberapa hal yang harus diselesaikan," kata Hatta seusai rapat.
Keputusan tersebut memperpanjang masa restrukturisasi TPPI yang sudah berlarut-larut lebih dari satu dekade tanpa hasil. Sejak utang yang bermula dari kredit macet PT Tirtamas Majutama—induk dan pendiri awal TPPI yang dimiliki bersama oleh Honggo Wendratno, Hashim Djojohadikusumo, dan Njoo Kok Kiong—ini masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada pertengahan 2000, jumlah tagihan dari para kreditor bukannya berkurang, malah menggunung. Sebagian besar di antaranya piutang PT Pertamina, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), serta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Tanda-tanda penyelesaian utang TPPI bakal molor lagi sudah terlihat empat jam sebelum rapat di kantor Hatta dimulai. Siang itu, untuk terakhir kalinya Honggo bertemu dengan tim Pertamina, BP Migas, dan PPA. Hari itu memang menjadi batas akhir masa 75 hari finalisasi program restrukturisasi utang TPPI kepada Pertamina, BP Migas, dan PPA, yang telah diteken dalam master of restructuring agreement (MRA) akhir Desember tahun lalu.
Seharusnya, selama masa dua setengah bulan itu, tim Honggo dan para kreditor pemerintah merampungkan beberapa perincian yang menjadi syarat berlakunya perjanjian tersebut. Di antaranya yang terpenting adalah penyusunan kontrak pembelian elpiji dan motor gasoline (mogas) alias bensin buatan TPPI oleh Pertamina. Tapi, seperti rapat-rapat sebelumnya yang digelar hampir sepekan sekali, dua jam pertemuan terakhir di kantor PPA tadi pun berakhir buntu. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan sekali lagi menegaskan penolakannya terhadap proposal jual-beli yang disodorkan Honggo.
Pada perjanjian restrukturisasi Desember tahun lalu, Honggo menjanjikan pelunasan seluruh utangnya selama 10 tahun. Sebagai syaratnya, selama itu pula Pertamina akan membeli mogas dan elpiji dari kilang TPPI di Tanjung Awar-Awar, Tuban, Jawa Timur. Jaminan pembelian produk ini diperlukan Honggo untuk mencairkan komitmen pembiayaan sebesar US$ 1 miliar dari Deutsche Bank. Bank multinasional dari Jerman ini baru mau menggelontorkan dana jika kesepakatan restrukturisasi rampung dan TPPI dipastikan beroperasi kembali.
Masalahnya, sumber Tempo yang mengikuti negosiasi ini mengungkapkan, semakin hari TPPI ingin menang sendiri. "Banyak usul baru dari mereka yang tak ada dalam MRA," katanya. Pertamina, yang sedari awal kurang sreg dengan skema restrukturisasi lewat jual-beli produk tersebut, dibikin geregetan dengan usul harga mogas dan elpiji dari TPPI yang terlalu tinggi dan hanya menguntungkan debitor. Pertamina merasa TPPI ingin mengeruk duit sebesar-besarnya dari restrukturisasi ini. "Sehingga mereka tak mengeluarkan duit sepeser pun, tapi justru membayar utang dari uang Pertamina sendiri."
Semula TPPI menawarkan bensin buatannya dihargai sama dengan produk impor dari Singapura. Pertamina menolak karena kondensat yang menjadi bahan baku mogas TPPI berasal dari Senipah, terminal pengolahan minyak dan kondensat di wilayah delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Bahkan kilang pencampurannya pun di Tuban. Takut dianggap merugikan negara, sedari awal Pertamina mengirim surat kepada Kejaksaan Agung untuk meminta pendapat hukum.
Belakangan Pertamina akhirnya mau membeli mogas TPPI setara impor dengan persyaratan harus mengacu pada harga impor Petral (Pertamina Energy Trading Ltd, anak perusahaan Pertamina di Singapura), yang mengurus impor minyak. Tim Honggo dan Deutsche Bank balik menolaknya. Mereka mempersoalkan harga impor Petral yang hanya bisa diakses Pertamina. "Apalagi Petral bukan lembaga penentu harga," kata Presiden Direktur PT Tuban Petrochemical Industries Amir Sambodo. Tuban Petrochemical merupakan perusahaan induk baru yang didirikan pada masa TPPI masih menjadi pasien BPPN.
Terakhir kali, Honggo dan tim dari Deutsche Bank meminta harga mogas mengacu pada formula Mid Oil Platts Singapore (MOPS) oktan 92 ditambah alfa alias keuntungan dan biaya pengangkutan dari Singapura ke Tuban. Tak cukup di situ, mereka ingin besaran alfa ditetapkan minimal nol. Lagi-lagi Pertamina menolaknya karena, jika merujuk pada Petral, alfa dalam harga impor Premium bisa mendapat diskon.
Kebuntuan juga terjadi dalam pembahasan jual-beli elpiji. Pertamina menilai harga yang ditawarkan TPPI, yakni Aramco ditambah US$ 140 per ton, kelewat mahal jika dibandingkan dengan impor elpiji selama ini. Karena ditolak, Honggo pun meminta pemerintah membuka keran ekspor elpiji untuk mereka selama 10 tahun. Selama ini peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang penyediaan dan pendistribusian elpiji melarang ekspor selama kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.
Pertamina semakin kesal karena, sekitar Februari lalu, Honggo dan timnya meminta jangka waktu standstill agreement diperpanjang menjadi 10 tahun. Standstill agreement mengatur kesepakatan kedua pihak untuk tak melakukan tindakan apa pun, termasuk mempailitkan TPPI, selama jangka waktu tertentu. Pertamina menolak usul ini karena berpegang pada rapat-rapat pasca-perjanjian restrukturisasi yang menyepakati standstill agreement selama lima tahun. "Karen akhirnya menyerah dan menyerahkan semua keputusan kepada pemerintah," kata sumber tadi.
Vice President Corporate Communication Pertamina M. Harun menolak berkomentar mengenai molornya realisasi MRA. "Ini sudah di tangan pemerintah," katanya.
Jika merujuk pada notulen rapat yang dipimpin Menteri Hatta dua pekan lalu, agaknya memang sulit untuk tak menilai keberpihakan pemerintah kepada Honggo. Meski keputusan belum dikeluarkan, dalam rapat tersebut muncul arahan agar pemerintah membeli mogas TPPI dengan harga MOPS ditambah Rp 500 per liter. Bensin tersebut akan disimpan dan didistribusikan Pertamina dengan biaya ditanggung pemerintah sebesar Rp 163 per liter.
Pemerintah juga merasa perlu menyempurnakan ketentuan distribusi elpiji dengan memberikan izin kepada Tuban Petro untuk menjualnya ke luar negeri dengan syarat Pertamina mendapat prioritas pembelian jika harga mereka lebih murah ketimbang produk impor. Begitu pula soal standstill agreement, pemerintah mengusulkan diperpanjang menjadi tujuh tahun. "Hasil keputusan interim rapat akan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan pada rapat berikutnya," tulis notulen tersebut.
Amir Sambodo menolak jika keputusan tersebut dianggap mengistimewakan Honggo. "Ini murni internal pemerintah," katanya. Akhir dari restrukturisasi TPPI ini pun semakin tak mudah ditebak. "Selama para pihak bersepakat, (perjanjian) ini bisa diperpanjang lagi."
Agoeng Wijaya
Gunung Utang TPPI*
KREDITOR | JAMINAN | JUMLAH |
UOB (trade finance facility) | Peringkat pertama atas kas dan bank | US$ 94 juta |
JGC Corporation: | ||
- Mezzanine loan | - Peringkat kedua atas aset fisik | US$ 17,5 juta |
- Deferred EPC payment | - Peringkat pertama atas aset fisik | US$ 186,4 juta |
Pertamina** | ||
- Product delivery instrument | - Tidak ada | US$ 406,2 juta |
- Open account receivable | - Tidak ada | US$ 232,9 juta |
BP Migas | - Tidak ada | US$ 183 juta |
Vitol: | ||
- Tranche B working capital loan | - Tidak ada | US$ 47,9 juta |
- Unsecured liquidity support loan | - Tidak ada | US$ 26,9 juta |
- Mezzanine loan | - Tidak ada | US$ 22,3 juta |
Argo: | ||
- Tranche B working capital loan | - Tidak ada | US$ 30 juta |
- Unsecured liquidity support loan | - Tidak ada | US$ 110,2 juta |
- Mezzanine loan | - Peringkat kedua atas aset fisik | US$ 20,9 juta |
Lain-lain | - Utang berjaminan | US$ 83,8 juta |
  | - Utang tanpa jaminan | US$ 265,7 juta |
Total | US$ 1,73 miliar | |
Sumber: Laporan Keuangan TPPI per 30 April 2011
*Belum termasuk utang multiyear bond Rp 3,2 triliun Tuban Petro kepada PPA. ** Versi Pertamina per 30 September 2011.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo