Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan Paul Graus untuk segera menambang batu bara di Kutai Timur masih melayang jauh di awan. Hari-hari Chief Operation Officer Churchill Plc untuk proyek di Kalimantan Timur itu kini lebih banyak dihabiskan untuk urusan jauh dari lokasi tambang. "Kami hanya bisa menunggu proses di Mahkamah Agung. Banyak sekali waktu terbuang percuma untuk hal-hal yang mestinya tak perlu terjadi," katanya saat ditemui di kantornya di Wisma Kosgoro, Jalan Thamrin, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Sambil menunggu putusan MA, perusahaan asal Inggris yang juga mengoperasikan tambang mangaan di Australia ini mulai menyiapkan gugatan mereka di badan arbitrase internasional. Langkah itu diambil sebagai antisipasi bila nanti mereka kalah di tingkat kasasi. Dalam dua pengadilan tata usaha negara sebelumnya, gugatan mereka terhadap kebijakan Bupati Kutai Timur dikalahkan. "Sudah 57 halaman paparan materi perkara yang disusun untuk ke arbitrase," Graus menambahkan.
Mulai menanam modal sejak November 2007, hingga awal Maret ini Churchill sudah menghabiskan lebih dari US$ 70 juta untuk proyek di Kutai Timur. Duit sebanyak itu habis untuk mengambil alih 75 persen saham PT Ridlatama untuk empat izin usaha pertambangan di area seluas lebih dari 35 ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong di Kutai Timur. Selebihnya buat membiayai eksplorasi, mengurus macam-macam perizinan, dan beperkara di pengadilan.
Bara perkara mulai menyala ketika PT Nusantara Energi, yang dimiliki oleh mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto, mengajukan perpanjangan enam izin pertambangan mereka ke Bupati Kutai Timur. Izin-izin itu sebelumnya mati pada Maret 2006 dan 2007. Perpanjangan izin Nusantara itu dikabulkan pada Juli 2008.
Masalahnya, di atas area yang sama sudah terdapat pemegang izin baru, yakni PT Ridlatama, yang kemudian mengalihkan sebagian kepemilikannya ke Churchill. Dan di lokasi itulah Churchill menemukan cadangan batu bara dalam jumlah yang fantastis, yakni di atas 2,8 miliar ton.
Sejak itu berbagai serangan bertubi-tubi mengarah kepada Ridlatama-Churchill, dari tuduhan pemalsuan tanda tangan Bupati Kutai Timur Awang Faroek hingga dugaan adanya perambahan hutan secara ilegal selama aktivitas eksplorasi mereka. Beberapa tuduhan itu dimentahkan oleh Kepolisian Resor Kutai Timur, yang menyatakan sebaliknya dan sempat menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
Tapi rupanya penjabat bupati pengganti Awang Faroek, yakni Isran Noor, tak peduli. Berbekal dugaan pemalsuan dan laporan perusakan hutan oleh Ridlatama, Isran mengirim surat ke otoritas London Stock Exchange di Inggris, tempat Churchill terdaftar. Ia memastikan pemerintahnya tidak pernah sekali pun memberikan izin penambangan kepada Churchill. Lisensi atas nama Ridlatama, yang diklaim dikuasai Churchill, pun disebutnya penuh masalah. "Kami tidak pernah mengenal Churchill di Kutai Timur," kata Isran Noor kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Awal Mei 2010, puncak serangan datang langsung melalui tangan Bupati Isran Noor. Sang bupati meneken surat keputusan berisi pencabutan empat izin eksploitasi yang dikantongi Ridlatama-Churchill.
Dalam penjelasannya kepada Tempo, Isran Noor menegaskan posisinya tak akan goyah oleh ancaman gugatan di pengadilan maupun arbitrase internasional. "Silakan saja menggugat ke mana pun. Saya akan menghadapi," katanya.
Bupati juga berkukuh bahwa keputusannya mencabut izin pertambangan Ridlatama itu punya dasar rujukan kuat. Ia kemudian menunjuk pada surat Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 21 April 2010.
Dalam surat itu Menteri Zulkifli mengungkapkan hasil temuan khusus Inspektorat Jenderal Kementerian Kehutanan terhadap kegiatan eksplorasi dan penyelidikan umum oleh Ridlatama, yang dilakukan sebelum ada izin Menteri Kehutanan. "Diperoleh informasi bahwa izin-izin itu terindikasi palsu, di samping bahwa area tambang yang diberikan tumpang-tindih dengan areal izin lainnya," tulis Menteri dalam suratnya.
Berpegang pada beragam tudingan itu, Menteri Zulkifli meminta Bupati Isran Noor melakukan empat hal. Pertama, menghentikan semua kegiatan eksplorasi dan penyelidikan umum oleh Ridlatama. Membatalkan perizinan tambang atas nama perusahaan-perusahaan yang diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan, lalu mengadukannya ke penegak hukum.
Menteri Zulkifli juga minta Bupati Kutai Timur menyelidiki dan menuntut dugaan pemalsuan dokumen izin oleh Ridlatama, lalu membawanya ke penegak hukum. Yang terakhir, Bupati diminta menertibkan persyaratan izin pinjam pakai hutan untuk semua kegiatan di area hutan negara.
Selang dua pekan setelah menerima surat itu, Isran Noor menandatangani pembatalan izin pertambangan Ridlatama. "Tapi, anehnya, kalau memang benar ada pemalsuan dan pelanggaran undang-undang, kenapa mereka tak pernah mengadukan kami secara pidana?" Paul Graus balik bertanya. "Kami sangat siap beradu data dan dokumen di pengadilan, bila mereka serius dengan tuduhan pemalsuan itu. Silakan buktikan."
Churchill juga melihat banyak kejanggalan dalam surat Menteri Kehutanan itu. Menurut Paul Benyamin, Direktur Utama PT Indonesia Coal Development, yang membantu manajemen proyek Churchill di Kutai Timur, salah satu keanehan itu tampak ketika Zulkifli mengatakan adanya aktivitas ilegal dan melanggar Undang-Undang Kehutanan di empat area pertambangan Ridlatama.
"Bagaimana mungkin itu terjadi? Sedangkan kami baru melakukan kegiatan eksplorasi di dua area pertambangan, yakni atas nama PT Investama Resources dan PT Ridlatama Tambang Mineral," kata Paul Benyamin. "Untuk dua area lainnya, yakni atas nama PT Ridlatama Trade Powerindo dan PT Investmina Nusa Persada, kami sama sekali belum melakukan apa pun."
Atas dasar itu, pada 17 Februari tahun ini mereka berkirim surat kepada Menteri Kehutanan untuk meminta klarifikasi. Di luar dugaan, balasan dari Zulkifli Hasan datang tak terlalu lama. Awalnya, Menteri menghubungi Rachmat Gobel, sebagai pemilik 16,5 persen saham Churchill Plc, pada awal Maret lalu. Dan disusul dengan surat tanggapan resmi yang keluar pada 5 Maret.
Isi surat kedua ini mengejutkan, karena sebagian justru melemahkan poin-poin yang tercantum dalam surat sebelumnya. Zulkifli menjelaskan bahwa suratnya terdahulu hanya merupakan informasi awal bagi Bupati Kutai Timur. "Sejalan dengan hal-hal tersebut, keputusan pencabutan izin usaha pertambangan oleh Bupati Kutai Timur yang didasarkan hanya pada surat Menteri Kehutanan adalah tidak tepat," Menteri Zulkifli menulis.
Dihubungi pada Rabu pekan lalu, Zulkifli menjelaskan kembali isi suratnya yang kedua itu. "Bupati tidak bisa membuat keputusan hanya berdasarkan surat saya dulu. Karena kami hanya berkepentingan dengan pengelolaan hutan. Soal pertambangan dan izin lain, itu sepenuhnya urusan bupati," katanya.
Ia juga membantah bahwa surat itu ia keluarkan karena desakan atau lobi dari pihak-pihak yang bersengketa. "Kami tidak masuk ke wilayah sengketa. Urusan kami hanya soal hutan dan aktivitas di dalamnya," Zulkifli menegaskan.
Bupati Isran Noor belum mau memberikan tanggapan atas surat kedua Menteri Kehutanan itu. Ia mengaku belum mengetahui isinya. "Surat apa itu? Saya tidak tahu," katanya.
Sebaliknya, bagi Churchill, surat Zulkifli itu jadi semacam bukti baru. "Semakin jelas terlihat ada yang tak beres," ujar Paul Graus. "Mereka melakukan semua cara untuk mencabut izin pertambangan kami. Proses sebelum dan setelah itu banyak yang tak masuk akal."
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo