Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank menyediakan layanan pay later untuk nasabahnya.
Pertumbuhan layanan pay later berbanding terbalik dengan kartu kredit.
OJK mengingatkan nasabah pay later untuk berhati-hati dengan kemudahan kredit tersebut.
DI hadapan enam ribu orang yang memenuhi area Istora Senayan, Jakarta, Jumat malam, 20 Mei lalu, Chairman CT Corp Chairul Tanjung meluncurkan aplikasi bank digital Allo Bank. Allo—akronim All for One—menurut Chairul, bukan bank digital biasa. Tak hanya menyediakan tabungan dan pinjaman alias kredit, aplikasi digital Allo Bank juga menawarkan fitur paylater.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mau ketinggalan dari perusahaan teknologi finansial atau fintech, Allo Bank menyediakan layanan paylater alias skema kredit “beli sekarang bayar belakangan” untuk membeli tiket, makanan, juga transportasi. “Allo Bank masuk ekosistem bisnis terbesar di Tanah Air," ucap CT—sapaan akrab Chairul Tanjung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Allo Bank bakal mengintegrasikan semua ekosistem bisnis CT Corp. Nasabahnya bisa menggunakan aplikasi Allo Bank untuk bertransaksi di Transmart, Allo Fresh, dan Bukalapak. Juga di Indomaret dan Indogrosir, yang bermitra dengan CT Corp.
Fitur paylater Allo Bank pun berbeda dengan yang disediakan e-commerce atau aplikasi fintech lain. Batas maksimal kredit atau limit paylater Allo Bank Rp 100 juta untuk setiap nasabah. Fitur ini juga memungkinkan nasabah menarik dana tunai melalui anjungan tunai mandiri, kantor cabang, atau toko mitra. "Ini fitur unik yang tidak dimiliki bank digital lain," kata CT.
Dengan layanan ini, CT yakin aplikasi Allo Bank bisa menarik satu juta pengguna pada pekan pertama setelah dirilis. Dia menargetkan Allo Bank menyalurkan kredit hingga Rp 10 triliun pada akhir tahun ini, melonjak jika dibanding jumlah penyaluran pada 2019 yang sebesar Rp 4,7 triliun. Hingga Maret lalu, Allo Bank sudah menyalurkan kredit Rp 4,77 triliun, naik dari Maret 2021 yang mencapai Rp 2,17 triliun.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk juga menyediakan fitur paylater dengan penarikan tunai melalui aplikasi BRI Ceria. Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto menyebut Ceria sebagai salah satu hasil transformasi digital dalam program New Digital Proposition. Menurut dia, bisnis paylater memiliki prospek cerah karena jumlah penggunanya naik 31 persen per tahun. "Kami optimis tahun ini jumlah pengguna paylater BRI bisa tumbuh dua digit,” ujarnya, Selasa, 17 Mei lalu. Pada Ramadan dan Idul Fitri lalu, jumlah transaksi paylater BRI Ceria tumbuh 12 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Aestika mengklaim aplikasi paylater Ceria, yang meluncur pada 12 Desember 2019, memiliki tata kelola yang mengacu pada standar internasional. Selain mengembangkan Ceria, pada September tahun lalu BRI bekerja sama dengan Traveloka menjalankan bisnis paylater. Lewat kolaborasi ini, BRI menyalurkan kredit Rp 200 miliar. Pengguna layanan ini bisa menikmati bunga yang sama dengan kartu kredit reguler.
BRI menjadi bank pelat merah pertama yang memiliki aplikasi paylater. Ceria menyediakan limit pinjaman Rp 20 juta dengan suku bunga flat 1,42 persen per bulan.
Salah satu pengguna Ceria, Tomi Wijayanto, merasa aplikasi tersebut bisa memecahkan persoalannya. Pria 29 tahun itu menjelaskan, dia bisa cepat mencairkan dana tanpa harus pergi ke bank. Tomi, yang bekerja di salah satu perusahaan milik negara, awalnya kurang tertarik pada aplikasi pinjaman online, termasuk paylater yang ditawarkan e-commerce. Tapi, saat Ceria meluncur, dia penasaran karena syaratnya ringan. “Cuma perlu kartu tanda penduduk dan foto dengan KTP. Beda jika saat mengajukan kartu kredit," katanya.
Tomi mencoba Ceria dengan membeli crank atau poros engkol sepeda di suatu e-commerce. Untuk membayar barang seharga Rp 1,2 juta itu, Tomi mencicil selama 12 bulan. BRI memotong uang cicilan dari rekening tabungannya. "Cicilan setahun dengan bunga yang kecil dan sudah ditetapkan di awal, jadi tidak berasa," tuturnya. Tomi juga pernah mencoba menarik uang tunai lewat Ceria, meski tidak boleh lebih dari 30 persen saldo limit pinjaman atau sebesar Rp 3 juta.
Ilustrasi penggunaan aplikasi BRI Ceria. Foto: Dokumentasi BRI
Kemudahan-kemudahan semacam ini membuat aplikasi paylater populer, terutama bagi generasi milenial. Karena potensi pertumbuhan penggunanya besar, bank pun tergiur menyediakan layanan yang awalnya dioperasikan e-commerce ini. Bank juga menjalankan skema kerja sama pembiayaan atau partnership lending dengan sejumlah perusahaan digital.
Cara ini yang menjadi strategi PT Bank Jago Tbk. Tak hanya untuk kredit konsumsi, bank yang dulu bernama PT Bank Artos Tbk ini menjalankan partnership lending buat kredit usaha mikro, kecil, dan menengah. Sampai Maret lalu, Bank Jago bekerja sama dengan 26 institusi untuk mendukung skema paylater. "Kami tidak berkompetisi, berkolaborasi dengan fintech dan lembaga keuangan digital lain," kata Direktur Kepatuhan Bank Jago Tjit Siat Fun, Jumat, 20 Mei lalu.
Menurut Tjit, strategi ini bisa mendorong pertumbuhan kredit dan pembiayaan syariah Bank Jago hingga 376 persen dalam setahun. Pada kuartal I lalu, jumlah kredit dan pembiayaan syariah Bank Jago mencapai Rp 6,14 triliun. Rasio kredit bermasalah atau gross non-performing loan Bank Jago mencapai 1,5 persen. "Pola partnership lending membuat kami ekspansif dengan risiko yang terkendali," ucapnya.
Executive Vice President Secretariat and Corporate Communication PT Bank Central Asia Tbk Hera F. Haryn mengatakan BCA sedang menggodok layanan paylater. “Masih dalam pembahasan, bersamaan dengan pengembangan fitur digital banking lain."
Pertumbuhan layanan paylater berbanding terbalik dengan transaksi kartu kredit. Berdasarkan data Bank Indonesia, volume transaksi kartu kredit pada 2020 mencapai 275 juta dan pada 2021 sebanyak 282 juta. Raihan selama dua tahun ini masih di bawah capaian 2019 yang sebanyak 349,2 juta transaksi.
Meskipun demikian, Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia Steve Marta tak melihat paylater sebagai pemicu penurunan volume transaksi kartu kredit. “Target pasar pengguna kartu kredit berbeda dengan paylater," ujarnya. Menurut Steve, kartu kredit lebih terpengaruh keberadaan fitur pembayaran digital lain, seperti kode respons cepat (QR code) atau dompet digital (e-wallet).
Steve mengakui jumlah penggunaan kartu kredit selama masa pandemi Covid-19 turun sampai 50 persen. Namun, menurut dia, kondisi saat ini sudah membaik. “Hampir kembali ke titik sebelum masa pandemi," katanya.
Juru bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sekar Putih Djarot, mengimbau masyarakat cermat di tengah banyaknya kemudahan kredit dengan cicilan yang terlihat ringan. Menurut dia, nasabah harus benar-benar mencermati biaya yang dikenakan serta kemampuan mereka membayar pinjaman.
Sekar mengingatkan bahwa paylater sejatinya adalah utang yang wajib dibayar, sama dengan tagihan kartu kredit. Hal lain yang harus diperhatikan, dia menambahkan, adalah penyedia layanan “beli sekarang bayar nanti” tersebut. "Penyedia paylater harus lembaga jasa keuangan atau perusahaan yang bekerja sama dengan lembaga jasa keuangan yang memiliki izin dari OJK,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo