Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemakaian bus listrik dianggap bakal memberatkan keuangan operator.
Kontrak pemerintah menentukan minat pengadaan bus listrik.
Subsidi bus listrik tetap disambung hingga 2024.
JAKARTA – Para operator angkutan umum belum berminat memakai bus listrik untuk armada mereka. Direktur Komersial dan Pengembangan Bisnis Perusahaan Umum (Perum) Damri Dadan Rudiansyah mengatakan, meski sudah mengadopsi bus listrik, manajemen tak bisa sembarangan berinvestasi menambah jumlah moda transportasi tersebut karena berisiko membebani keuangan. “Kapasitas keuangan operator yang tidak kuat bisa menjadi penghalang proses percepatan penggunaan bus listrik,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantaran berat ditangani dengan kas internal, studi kelayakan ataupun operasional bus listrik Damri hanya bisa diakomodasi dengan kontrak kemitraan, baik dengan pemerintah daerah maupun entitas swasta. Skema kontrak pengoperasian angkutan umum itu umumnya memakai hitungan rupiah per kilometer. Skema ini sudah diterapkan pemerintah DKI Jakarta melalui PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta untuk meluncurkan puluhan bus listrik ke jalanan Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingginya harga pasaran bus setrum listrik—ditaksir mencapai Rp 5 miliar per unit—menjadi ganjalan pertama bagi operator. Menurut Dadan, operator harus membawa bukti kontrak kemitraan kepada perbankan jika ingin mengantongi modal investasi dan operasional untuk armada listrik. Harga yang sebanding dengan pengadaan 3 atau 4 bus berbahan bakar minyak itu pun sering menghalangi niat operator untuk beralih ke moda setrum. “Jadi kebutuhan investasinya cenderung meningkat drastis, sedangkan skema pengadaannya terbatas.”
Saat ini Perum Damri mengoperasikan 52 unit bus listrik, yang terdiri atas 25 unit buatan PT Industri Kereta Api (Persero) atau Inka, 26 unit bus buatan Grup Skywell dari Cina, serta satu unit lainnya dari Edison Motors. Dadan menolak membeberkan besaran investasi yang dikucurkan perusahaannya. Namun dia menyebutkan salah satu penyokong segmen bus elektrik Damri adalah kontrak penguatan layanan angkutan umum yang ditawarkan pemerintah DKI Jakarta.
Calon penumpang bersiap menaiki bus listrik Transjakarta rute Blok M - Pondok Labu di Terminal Transjakarta Blok M, Jakarta, 21 Agustus 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Pengelola bus pelat merah ini terikat kontrak pemenuhan 44 unit bus besar untuk Transjakarta. Sebanyak 22 unit dari jumlah itu merupakan bus listrik yang akan diluncurkan dalam waktu dekat. Satu armada setrum Damri pun dipakai untuk layanan buy the service (BTS) rute Terminal Leuwipanjang-Dago di Bandung, Jawa Barat.
Program BTS digagas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan untuk memancing migrasi pengguna kendaraan pribadi ke moda angkutan massal. Asalkan ada kontrak baru dari pemerintah, Dadan membuka peluang pengadaan bus listrik buatan produsen dan pemegang merek lainnya. “Kami bisa saja memakai produk lain jika ada proyek baru,” tuturnya.
Hal yang sama diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur Nyono. Ia mengatakan pemerintah daerah masih memilih bus BBM untuk program BTS di kawasannya. Selain karena harga investasi bus listrik medium yang mencapai Rp 3-4 miliar, dia menyebutkan pemakaian armada setrum belum efektif. Dinas Perhubungan Jawa Timur sempat memakai bus listrik Inka yang berkonfigurasi 20 kursi. “Ternyata (kemampuan operasinya) tidak bisa bertahan lama,” ucapnya, kemarin.
Nyono mengimbuhkan, lembaganya pun mendapat tawaran bus listrik dari pesaing BYD, yaitu Zhongtong Bus Holding Co Ltd, tapi hanya berakhir untuk uji coba. “Mereka menggratiskan biaya uji coba produk di Surabaya, berharap pemerintah kota mau membeli produk tersebut.”
Jumlah Produsen Terbatas
Sejauh ini baru segelintir model bus listrik yang dipasarkan di Indonesia. Lini usaha kendaraan listrik Grup Bakrie, PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk, sudah memboyong 52 bus buatan BYD Auto Co Ltd, produsen kendaraan asal Cina, ke Indonesia. Bus BYD itu dibeli oleh PT Mayasari Bakti yang terikat kontrak operasional dengan Transjakarta. Dengan kontrak sejenis, PT Bianglala Metropolitan (BMP) juga akan mendatangkan 26 unit Golden Dragon, merek bus listrik yang dipasarkan PT Sinar Armada Globalindo (SAG).
Produk bus listrik yang digadang-gadang akan muncul pada tahun depan adalah Elec City dan County EV buatan Hyundai. Bila sesuai dengan rencana, Grup Hyundai akan memasok dua jenis armada listrik itu melalui INVI, anak usaha PT Indika Energy Tbk (INDY) yang juga aktif mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
Sebelumnya, Direktur Utama PT VKTR Teknologi Mobilitas, Gilarsi Wahyu Setijono, mengatakan pasar bus listrik tidak ditentukan konsumen individu, melainkan bergantung pada kebijakan pemerintah. Karena mahal untuk dibiayai sendiri, rencana pengadaan bus listrik oleh operator umumnya harus mengikuti peta jalan kendaraan listrik yang disusun regulator. Hal itu jugalah yang membuat tawaran insentif bus listrik dari pemerintah belum disambar produsen mana pun. “Kami yang sudah lama berpromosi saja baru bisa menjual 52 unit,” ujarnya.
Kementerian Perindustrian menyiapkan insentif kendaraan listrik hingga Rp 12,3 triliun untuk 2023-2024. Besaran subsidi itu diklaim sudah didasari tren penjualan kendaraan listrik serta perkiraan jumlah kendaraan yang dianggap memenuhi ketentuan tingkat komponen dalam negeri. Pada tahun ini bus listrik mendapat subsidi Rp 198 miliar untuk dua tahun, masing-masing untuk 138 unit hingga akhir tahun ini dan 414 unit pada 2024.
Beberapa waktu lalu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengatakan rencana subsidi bus listrik itu masih berlanjut meski belum terserap pasar. Namun dia tidak menjawab pertanyaan soal langkah pemerintah selanjutnya bila dana subsidi bus listrik itu tersisa. “Nanti itu kebijakan pemerintah selanjutnya. Harapan kami berlanjut.”
Direktur Utama Perusahaan Otobus Sumber Alam, Anthony Steven Hambali, menganggap insentif bus listrik tersebut dianggap masih multitafsir. “Subsidinya itu bantuan biaya operasional atau biaya investasi? Sebab, sampai sekarang belum jelas, tidak ada yang mengambil.”
YOHANES PASKALIS | SAVERO ARISTIA WIENANTO | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo