Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Molornya pengoperasian kereta layang ringan Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi atau LRT Jabodebek berpotensi mengubah rencana subsidi tarif penumpang yang akan disalurkan Kementerian Perhubungan. Kepala Divisi LRT Jabodebek dari PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, Mochamad Purnomosidi, mengatakan subsidi itu rencananya disalurkan selama 13 tahun pertama pengoperasian kereta tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mundurnya commercial operation date (COD) dari Agustus 2022 ke pertengahan tahun depan membuat perseroan mengusulkan ulang besaran tarif perdana. "Ada sejumlah opsi dan masih dipertimbangkan (oleh Kementerian Perhubungan) akan memakai yang mana. Nantinya mempengaruhi besaran subsidi juga," ucapnya kepada Tempo, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2017, PT KAI akan memegang konsesi pengoperasian LRT Jabodebek selama 50 tahun. Penugasan operator kereta api pelat merah ini mencakup pengadaan dan pengoperasian sarana, termasuk penyelenggaraan sistem tiket otomatis (automatic fare collection) angkutan tersebut.
Menurut Purnomosidi, pemerintah akan mensubsidi selisih besaran pengeluaran entitasnya dengan pendapatan dari tiket. "Skemanya cash flow gap," tutur dia. "Awalnya dihitung bahwa tidak ada gap (selisih) lagi setelah 13 tahun sejak COD, tapi COD kembali berubah."
Rangkaian kereta light rail transit Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (LRT Jabodebek) parkir di Stasiun LRT Jabodebek di Cibubur, Jakarta, 18 September 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Pengoperasian kereta layang ini tertunda beberapa kali. Saat kereta sempat akan meluncur pada Juli 2019, KAI mengajukan tarif dasar jauh-dekat sebesar Rp 12 ribu. Ketika COD ditunda ke Agustus 2023, perkiraan tarif turut diubah karena pengaruh proyeksi pengembalian investasi—tanpa mengabaikan daya beli calon penumpang. Pembengkakan biaya LRT Jabodebek tercatat mencapai Rp 2,6 triliun, dari hitungan awal Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun.
Usulan tarif kemudian naik menjadi Rp 15 ribu per penumpang. Dengan 31 rangkaian kereta, sepur ringan itu ditargetkan mengangkut 115 ribu penumpang per hari selama dua tahun pertama. Setiap rangkaian kereta modern itu bisa menampung total 740 penumpang sekali jalan. Belakangan, COD kembali ditunda. Mundurnya COD ini pun membuat KAI kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 587,7 miliar—dihitung dari rencana operasi sejak Agustus 2022 hingga Juni 2023.
"Potensi pendapatan LRT Jabodebek pada Agustus-Desember 2022 sekitar Rp 212,7 miliar," kata Purnomosidi. Adapun sejak Januari hingga Juni 2023, peluang penghasilan KAI yang hilang dari penundaan operasi kereta ringan tersebut diperkirakan Rp 375 miliar.
Purnomosidi tak ingin membeberkan opsi tarif yang diusulkan kepada Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Yang pasti, usulan itu pun mencakup opsi tarif progresif alias patokan harga berdasarkan jarak. Semua usulan perseroan pun sudah didasari pengkajian konsumen. "Kalau hitungan progresif, mirip dengan KRL Commuter yang ada tarif 5 kilometer pertama dan seterusnya," ujar dia.
Hingga berita ini ditulis, pertanyaan Tempo kepada juru bicara Kementerian Perhubungan perihal pertimbangan subsidi tiket LRT Jabodebek tidak bersahut. Sebelumnya, Pejabat Pembuat Komitmen Urban Transport LRT Jabodebek dari Kementerian Perhubungan, Ferdian Suryo Adhi Pramono, pun mengaku belum bisa menyampaikan informasi ihwal tarif perdana kereta layang itu. "Silakan ditanyakan kepada KAI."
Guru besar bidang transportasi Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, menyebutkan harga tiket penumpang kereta api umumnya didasari tiga hal, yakni biaya investasi, biaya pengoperasian, serta perawatan. Dalam kondisi inflasi, dia melanjutkan, tak tertutup kemungkinan bahwa rencana tarif tiket LRT Jabodebek bisa meningkat dibanding hasil kalkulasi sebelumnya. Namun hal itu masih ditentukan kemampuan subsidi pemerintah.
"Jika subsidi pemerintahnya makin besar, barangkali hitungan tarifnya tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya," ucap dia, kemarin.
Mantan Deputi Bidang Perdagangan, Perindustrian, dan Transportasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu pun mengatakan kebutuhan subsidi tiket pun masih bergantung pada minat pasar penumpang LRT, yang hingga kini belum diketahui secara pasti. "Jika jumlah penumpang tidak mencukupi (ekspektasi), pembiayaannya akan berat dari sisi KAI sebagai operator."
Menurut Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim, penundaan operasi LRT Jabodebek pada Agustus lalu mengecewakan sebagian calon konsumen. Namun dia optimistis proyek ini masih bisa diminati bila strategi pemasaran dan penentuan tarifnya tepat. "Pasti nanti ada skenario entry the market dari operator."
ERLITA NOVITANIA AWALIANDA (MAGANG) | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo