Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terpaksa Impor Sapi

Populasi sapi ternak belum memenuhi kebutuhan, sehingga masih mengandalkan impor sapi. Defisit sapi indukan capai 1,6 juta ekor.

18 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pedagang menawarkan sapi untuk hewan kurban di Pasar Hewan Ambarawa, 26 Mei 2024. Tempo/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Isu penyakit membuat penjualan hewan ternak makin sulit, termasuk menjelang Idul Adha. Padahal, tanpa penyakit, bisnis peternakan sapi sudah sulit berkembang.

  • Bisnis ini didominasi peternak berskala kecil yang kesulitan menambah populasi sapi. Selain itu, lahan peternakan yang semakin terbatas beradu dengan permukiman dan industri lain.

  • Pemerintah sedang menyiapkan sejumlah langkah untuk meningkatkan angka kebuntingan sapi dan mencegah penyakit pada ternak lebih dini.

IDUL Adha tahun ini tak begitu menggembirakan bagi Romadiansyah, penjual sapi di Gresik, Jawa Timur. Alasannya, serangan penyakit seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), penyakit kulit berbenjol atau lumpy skin disease (LSD), membuat penjualan pria 37 tahun itu kian tersendat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena penyakit-penyakit tersebut, Romadiansyah tak berani mengiyakan tawaran pembelian sapi jauh-jauh hari. Sejak mulai berjualan sapi pada 2019, biasanya, tiga bulan sebelum Idul Adha, Romadiansyah sudah menerima pesanan pembelian sapi untuk kurban. Setelah mendapat setoran dana dari pembeli, dia segera mencari sapi bakalan di pasar dan membesarkannya sampai siap disembelih saat hari kurban tiba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali ini, sebaran penyakit membuat peternak di Jawa Timur itu waswas menjanjikan sapi sehat. "Takutnya kena penyakit dan malah mengecewakan," kata Romadiansyah kepada Tempo, Jumat, 14 Juni lalu. Dengan demikian, tahun ini, dia hanya berani membeli sapi ternak siap potong beberapa pekan sebelum Idul Adha untuk dijual lagi.

Saat PMK kembali merebak pada 2022, Romadiansyah termasuk yang merugi karena sapi-sapinya mati. Bahkan, sampai saat ini, ia masih kesulitan mengembangkan usahanya. Dia berharap bisa mendapat banyak pendampingan dan bantuan pengawasan kesehatan ternak agar kerugian tak terulang.

Padahal, tanpa penyakit saja, bisnis peternakan sapi sudah sulit berkembang. Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Nanang Purus Subendro menyebutkan tingginya biaya operasional sebagai salah satu faktor utama. Rata-rata ongkos pemeliharaan seekor sapi di Indonesia mencapai Rp 6 juta. Nanang membandingkan ongkos ternak sapi di Australia yang hanya berkisar Rp 2 juta per ekor. "Biaya tertinggi untuk pakan konsentrat yang sebagian harus impor," tuturnya.

Pedagang menata daging sapi di Pasar Jatinegara, Jakarta, 20 Februari 2024. TEMPO/Tony Hartawan



Perhitungan biaya itu didapat dari kebutuhan pemeliharaan intensif sapi penggemukan yang menghabiskan Rp 45-55 ribu per hari. Dengan asumsi biaya termahal, dikali lama pemeliharaan selama 120 hari, maka peternak butuh modal Rp 6,6 juta per bulan untuk mengurus satu ekor sapi.

Masalahnya, mayoritas peternak sapi di dalam negeri adalah peternak rakyat bermodal kecil. "Sekitar 63 persen sapi sekarang milik peternak rakyat," ujar Nanang. Mereka biasanya berbisnis skala rumahan dengan rata-rata kepemilikan 3-4 ekor sapi. Dengan skala semacam ini, sulit bagi mereka mengembangkan bisnis dan berkontribusi pada penambahan populasi sapi.

Menurut hitungan Nanang, idealnya tiap peternak rakyat minimal punya 20 ekor sapi. Dengan begitu, tiap bulan mereka bisa panen lima ekor sapi. Dengan estimasi keuntungan satu ekor sapi sebesar Rp 1,5 juta, peternak bisa mendapat pemasukan Rp 7,5 juta per bulan. Pendapatan ini berpeluang membantu mereka menambah ternaknya.

Untuk memiliki 20 ekor sapi, butuh biaya sekitar Rp 500 juta. Angkanya setara dengan nilai kredit usaha rakyat yang ditawarkan pemerintah. Namun, untuk mendapat pinjaman ini, membutuhkan agunan yang jarang dimiliki peternak. "Peternak itu usahanya feasible, tapi kadang mereka tidak bankable. Ini yang perlu dibantu," kata dia.

Potensi pendapatan peternak tadi sebetulnya bisa menarik minat anak muda di tengah kondisi rendahnya regenerasi peternak yang mengancam industri. "Indonesia akan semakin terpaksa memenuhi kebutuhan dengan impor daging sapi atau impor sapi bakalan," kata Nanang.

Badan Pusat Statistik lewat laporan Peternakan dalam Angka 2023 mencatat defisit daging sapi dan kerbau di dalam negeri mencapai 374,1 ribu ton. Indonesia hanya mampu memproduksi daging sebanyak 442,69 ribu ton, sementara kebutuhannya mencapai 816,79 ribu ton.

Ketua Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Didiek Purwanto menghitung defisit tahun ini lebih besar lagi. Merujuk pada data populasi sapi hasil sensus Badan Pusat Statistik 2023, tercatat ada 11,3 juta ekor sapi dan 470,9 ribu ekor kerbau. Dengan mempertimbangkan stok yang tidak semuanya siap potong, tidak produktif, hingga larangan pemotongan sapi muda dan betina, dia memperkirakan produksi lokal hanya bisa memenuhi kebutuhan daging sebanyak 281 ribu ton.

Di sisi lain, pemerintah menetapkan kebutuhan daging nasional 2024 sebanyak 720 ribu ton. Maka terjadi defisit lebih dari 400 ribu ton daging atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. "Indonesia dalam kondisi yang kritis untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumsi daging nasional,” katanya, seperti dilansir Antara.

Untuk menghindari ketergantungan impor daging, Ketua Komunitas Sapi Indonesia Provinsi Jawa Barat Irfan Arif mengatakan kuncinya ada pada impor sapi untuk pembibitan. Menggunakan estimasi Gapuspindo, Indonesia bisa menetapkan impor 6 juta ekor sapi betina. "Tempatkan mereka di NTB, NTT, atau Kalimantan yang lahannya luas untuk dikembangbiakkan," tuturnya.

Irfan mengestimasi bakal ada 5 juta ekor sapi yang lahir dari sapi hidup yang diimpor. Jika separuhnya betina, bisa menutup 2,5 juta ekor defisit daging tahun ini.

Cara ini, menurut Irfan, membutuhkan komitmen pemerintah. Karena itu, penting membentuk payung hukum khusus mengatur pengembangbiakan sapi di wilayah tertentu dengan jumlah tertentu demi memenuhi kebutuhan domestik. Pemerintah bisa menunjuk satu badan usaha khusus untuk memelihara sapi-sapi tersebut.

Penjual hewan kurban memberi makan hewan kurban di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, 17 Juni 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Tantangan lainnya adalah mengetatkan pengawasan. Salah satunya menjamin tak ada lagi pemotongan sapi betina. "Meski dilarang pemerintah, dalam setahun ada sekitar 1 juta ekor sapi betina yang dipotong. Artinya kurang pengawasan," katanya.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah mengakui pemenuhan kebutuhan daging masih harus mengandalkan impor. Penambahan populasi ternak belum sebanding dengan kebutuhan ternak yang harus dipotong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Nasrullah menyebutkan keterbatasan jumlah indukan yang tersedia menjadi faktor utamanya. "Indonesia kekurangan indukan 1,6 juta ekor," tuturnya.

Lahan peternakan yang semakin terbatas menjadi kendala dalam meningkatkan populasi sapi indukan ini. Peternakan harus beradu dengan permukiman hingga industri lain. Kementerian punya ide mengintegrasikan lahan perkebunan sawit dengan peternakan sapi untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan strategi ini, pemerintah dapat mengoptimalkan lahan yang sudah ada, mengurangi tekanan terhadap hutan primer, dan meningkatkan produksi daging sapi lokal.

Tantangan besar lainnya adalah porsi peternak rakyat. Berbeda dengan data PPSKI, pemerintah mencatat jumlahnya mencapai 90 persen. Berarti hanya 10 persen peternakan berbasis industri atau perusahaan. Padahal peternakan berskala besar tentu berpotensi meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Keuntungan lainnya, mereka bisa memanfaatkan usaha lain, seperti pemanfaatan limbah dan pengelolaan pakan, yang bisa meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan usaha.

Saat ini, menurut Nasrullah, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah langkah, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi seperti inseminasi buatan dan kawan alam untuk meningkatkan angka kebuntingan. Strategi lainnya, mengadakan program pemberian pakan berkualitas dan menjaga populasi betina produktif dan memperkuat jaringan distribusi indukan.

Untuk pengendalian penyakit, Nasrullah menjanjikan upaya vaksinasi rutin, pengawasan kesehatan ternak, dan penanganan cepat terhadap wabah. Menurut dia, strategi ini sangat membutuhkan infrastruktur veteriner yang kuat. "Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih dan fasilitas yang memadai menjadi faktor penentu dalam pengendalian penyakit ternak," tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus